Oleh:
James L. Ch. Faot
Rakyat Nusa
Tenggara Timur
Fenomena
Sinetronisisasi Populis Para Elit
Fiktif Belaka |
Publik Nusa
Tenggara Timur dipertontonkan dengan fenomena karut-marutnya penyelenggaraan
pelayanan kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah WZ Johannes di Kupang
(RSUD Kupang). Lebih dari sepekan, publik NTT mengetahui kompleksitas masalah
yang diderita RSUD Kupang. Mulai dari persolan rendahnya mutu layanan;
rendahnya mutu kinerja, sampai rendahnya mutu kebijakan. Pantas saja, ada yang menamainya
“Rumah Sakit yang Sedang Sakit.”
Karut-marut
sistim penyelenggaran pelayanan kesehatan tersebut, pada satu sisi, menampilkan
rakyat sebagai pesakitan karena Hak atas Kesehatannya diabakaikan. Sekaligus, pada
sisi lainnya, menampilakan elit publik sebagai pahlawan (kesingan). Namun,
dalam kisah kepahlawanan itu, ada yang sekedar berjuang menyelamatkan dirinya
sendiri dan ada yang berjuang mengatasnakaman penegakan dan pemenuhan Hak atas Kesehatan
rakyat Nusa Tenggara Timur.
Apa
yang sedang ditampilkan pada rakyat? Tak lain ialah bidang permukaan; suatu fenomena
berwajah populis di mana terdapat perhatian yang benar-benar seruis dari para
elit terkait isu kesehatan (isu publik). Namun, dalam pertarungan para elit,
tentu saja, berperan pula aparatus konseptual untuk mengkonstruksikan opini
publik yang dangkal sifatnya (banal). Opini masyarakat sedang dibangun sesuai
kepentigan elit, yakni: “semua perhelatan para elit pada tingkatan elitis ini merepresentasi
keprihatinan dan keberpihakan mereka pada kepentingan rakyat.
Padahal
tidak demikian adanya. Fenomena ini lebih pantas disebut sebagai sinetronisasi populisme
para elit publik. Sebuah tontonan populisme (humanis) yang sangat memuakan,
melahirkan cercaan bahkan seharusnya dikutuk. Karenanya, ia (sinetronisisasi
populis) haruslah dibaca sebagai bencana
kemanusiaan karena sesungguhnya mentalitas pengabdian pejabat publik pada
rakyat telah menjadi rusak-membusuk. Bagaimana tidak, jika karut-marutnya
sistim dan penyelenggaran pelayanan kesehatan di RSUD Kupang ini secara
tersirat atau memberikan kesan kuat tengah terjadi pertarungan elit lokal dalam
memperebutkan kesempatan membangun citra politik mereka di hadapan publik NTT.
Bencana
Kemanusiaan: Mengolah Cacat sebagai Make Up Politik
Dandaisme Politisi |
Menjadi bencana
kemanusiaan kerena modus operandi pencitraan sebenarnya dilakukan dengan
memanfaatkan cacat ganda elit publik. Cacat
pertama ialah tidak berlajannya amanah pelayanan kepada rakyat yang diemban
para elit dalam rangka pemenuhan Hak atas Kesehatan sebagai Hak Asasi Manusia
(HAM). Sementara, cacat kedua ialah
cacat pertama yang kemudian melahirkan cacat lanjutan atau akibat dari tidak
berjalannya amanah pelayanan dari cacat pertama tadi, yakni ketertindasan dan
penderitaan rakyat lantaran tidak terpenuhinya Hak atas Kesehtaan mereka.
Akmulasi cacat ini, pada ujungnya membuat rakyat terpaksa melepaskan mimpi
tentang kehidupan yang sehat dan makmur.
Jika
demikian adanya, maka di sinilah titik kritisnya: para elit mengolah kembali cacat gandanya menjadi bahan baku (komoditi)
politik pencitraan. Elit publik mendandani “wajah bopeng” mereka dengan meke-up pelanggaran Hak Asasi Kesehatan
Rakyat Nusa Tenggara Timur.
Karenanya,
ini bukan lagi urusan kemanusiaan. Bukan pula urusan keberpihakan politik pada
rakyat. Ataupun urusan menghadirkan budaya politik yang bermartabat. Melainkan,
ini adalah urusan seni berpolitik (pragmatis), seni memainkan taktik jitu dalam
mendulang simpati dan dukungan rakyat dengan mempraktekan dandaisme politisi.
Sikap
Reaksioner dan Politik Saling Kunci
Saling Kunci |
Nampaknya,
mempercantik diri menjelang pentas elektoral di NTT, baik pada Pilgub (2013)
dan Pileg (2014), seolah telah menjadi tradisi dalam politik dandaisme para
elit. Para elit menjadi sedemikian kritis dan garang membantai lawan demi
rakyat selalku tuan sesungguhnya dari sistim demokrasi. Namun, isi kritik
mereka kosong dan tak menyentuh substansi persoalan. Ini mirip basa-basi di
media massa sambil mengharapkan mahfum serta kepuasan (efek psikologis) dari
rakyat atas celoteh mereka.
Mengapa
demikian? Menurut hemat saya, seharusnya kritik atas problem pokok RSUD Kupang harus
di arahkan pada praktek neoliberalisasi sistim kesehatan Indonesia. Berubahnya
status RSUD menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah bentuk semi-privatisasi
Rumah Sakit, yang membuka ruang bagi berbagai praktek komersialisasi. Termasuk
di sini ialah ruang bagi pejabat negara dan swasta melakukan manuver untuk merampok
anggaran kesehatan rakyat. Sistim inilah (neoliberalisme) yang telah menghancurkan
sendi-sendi rasa kemanusiaan, solidritas serta budaya pengabdian, karena ujungnya
selalu berurusan dengan praktek mengumpulkan profit (akumulasi modal).
Kembali
pada persoalannya. Kita bisa mengikuti seri-seri sinetronisasi elit yang rekasioner
dan memang diabdikan pada pembentukan citra tertentu di hadapan publik,
sekaligus menjalankan praktek politik saling
kunci pada lawan (politik).
Seri pertama dibuka dengan serangan publik yang mengkritik kinerja
pelayan medis serta Pejabat RSUD Kupang. “Habisnya stok obat emergensi
(generik), mengakibatkan pasien Jamkesmas, Jamkesda, Jampersal harus
mengeluarkan uang yang tidak sedikit jumlahnya untuk membeli obat di luar formularium;
pasien-pasien pengguna jaminan kesehatan ini juga diperlakukan secara diskriminatif
karena diterlantarkan atau ditolak sama sekali; dokter yang mangkir dari tugas pokok
kerena mementingkan proyek; kurangnya fasilitas dan tenaga dokter spesialis; bahkan
kabar tentang kematian 16 pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) hanya dalam
waktu sepekan karena diterlantarkan.”
Jurus-jurus
“silat kampung” pejabat RSUD Kupang pun dikeluarkan. Menangkis demi
mempertahankan diri dari serangan kritik publik. “Stok obat habis lantaran ada
keterlambatan pada pihak distributor; banyaknya jumlah pasien dan terbatasnya
ruangan; pasien datang ke IGD sudah setengah mampus.” Pihak RSUD Kupang, ngotot
tidak bisa disalahkan atas situasi tersebut,” kata salah satu pejabatnya.
Seri kedua sinetronisasi, menampilkan legislatif dengan sikap
yang nampaknya kritis, tapi sebenar reaksioner dan tak bernas. Anggota DPR RI,
Anita Yakoba Gah dan anggota DPD, Sarah Leri Mbuik, mengkritik buruknya
manajeman RSUD Kupang sebagai biang dari multi persoalan yang mencuat sat
ini. Anita Gah, yang juga merupakan
salah satu calon yang akan meramaikan pentas politik pada Pilgub NTT pada 2013,
berpendapat bahwa adanya indikasi memproyekkan anggaran kesehatan. Tak mau
ketinggalan memanfaatkan panggung, Anggota Komisi D dan C DPRD Propinsi juga
bereaksi. Mulai dari Wakil ketua, Sekretaris sampai anggota semuanya ambil
bagian. Mengungkapkan penyesalan, kekecewaan, setuju dengan kritik menteri
kesehatan, ditambah sedikit identifikasi masalah buruknya manajemen serta
rendahnya budaya pelyanan di RSUD Kupang.
Seri ketiga, sikap reaksioner legislatif serta desakan mencopot
Direktur RSUD Kupang, dr. Alphon Anapaku, ternyata berubaha menjadi senjata
efektif yang menyerang citra Gubernur NTT, Drs. Frans Liburaya. Naluri politik
Liburaya pun berkerja. Dalam satu pemberitaan di media lokal, Liburaya
mencurigai Ibrahim. A. Medah, Ketua DPRD NTT, yang juga merupakan pesaing
politiknya dalam pertarungan Pilgub nanti, sebagai otak intelektual dari
boomingnya kasus penolakan RSUD Kupang terhadap pasien dari keluarga miskin
yang menderita kanker, Polce Victoria. Namun, pada akhirnya Liburaya tak mampu
membendung desakan publik untuk membenahi manajemen RSUD Kupang serta
mengevaluasi kinerja manajemen yang ada sekarang. Liburaya benar-benar terpojok
oleh kuatnya polarisasi opini publik, di mana ia diposisikan sebagai pihak yang
paling bertanggung jawab atas amburadulnya manajemen di RSUD Kupang. Terpaksa
harus sedikit mengalah, atau kehilangan simpati rakyat sama sekali. Di sini,
citra populismenya hendak dipertahankan di hadapan rakyat.
Dan,
seri keempat dari sineronisasi elitis
ini, menghadirkan sosok pahlawan. Tak lain dan tak bukan, Ketua DPRD NTT, I. A.
Medah. Dengan memafaatkan posisi lawan yang melemah, sikap heroik harus
ditunjukan. Ia memebrikan statement tegas agar manajemen RSUD Kupang dirombak
total.
Tak
mau kehilangan kesempatan, pahlawan lain pun muncul. Anita Gah, lincah
mengambil posisi menyerang terhadap
ketidakberpihakan Gubernur NTT dan DPRD NTT terhadap persolan di RSUD Kupang.
Keprihatinan dan kekecewaannya dikostruksikan sebagai elit yang lebih
mememiliki hati terhadap rakyat, dari pada Liburaya dan I. A. Medah.
Pesan
Sebagai rakyat NTT, saya merasa jika bukan karena mendekati momentum politik, maka situasinya tak sedemikian menampilakan kegigihan-kegigihan perjuangan para elit ini. Semoga saja saya keliru, karena memang manusia berubah seringan berjalannya waktu dan perubahan kondisi sosialnya.
Rakyat NTT tentu mengharapkan agar sikap kritis dan keberpihakan itu bukan musiman,
melainkan konsisten dan progress sifatnya. Jika tidak demikian, maka mungkin,
gambaran perilaku elit di atas menjadi sesuai, sebagaimana jauh sebelumnya
telah digambarkan dan dihujat dalam beberapa bait puisi Sang penyair
materialisme-realisme, sekaligus perjuang reformasi, Wiji Tukul, dalam puisinya
Pesan Sang Ibu:
“…
Tatanan negeri ini sudah hancur anakku,
Dihancurkan oleh sang penguasa negeri
ini,
Mereka hanya bisa bersolek di depan
kaca,
Tapi, membiarkan punggungnya penuh
dengan noda
Dan penuh lendir hitam yang baunya
kema-mana.
Mereka selalu menyemprot kemaluannya
dengan parfum luar negeri,
Di luar berbau wangi, di dalam penuh
dengan bakteri,
Dan hebatnya, sang penguasa negeri mampu
bermain akrobat,
Tubuhnya mampu dilipat-lipat,
Yang akhirnya pantat dan kemaluannya
sendiri mampu dijilat-jilat
…”
Sekian!
sangat kritis!! terus berjuang kawan!! Semangat!!
BalasHapusbtw itu diralat ya namanya Wiji Tukul bukan Tuluk :)
wiji tukul.....sorry, nulis dan publisx dah ngak sempat ku baca lgi....trims
Hapus