Jumat, 09 November 2012

“Menggugat Politik Pencitraan Para Elit: Terkait Karut-marut Sistim Pelayanan RSUD Kupang”





Oleh: James L. Ch. Faot
Rakyat Nusa Tenggara Timur


Fenomena Sinetronisisasi Populis Para Elit

Fiktif Belaka
Publik Nusa Tenggara Timur dipertontonkan dengan fenomena karut-marutnya penyelenggaraan pelayanan kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah WZ Johannes di Kupang (RSUD Kupang). Lebih dari sepekan, publik NTT mengetahui kompleksitas masalah yang diderita RSUD Kupang. Mulai dari persolan rendahnya mutu layanan; rendahnya mutu kinerja, sampai rendahnya mutu kebijakan. Pantas saja, ada yang menamainya “Rumah Sakit yang Sedang Sakit.

Karut-marut sistim penyelenggaran pelayanan kesehatan tersebut, pada satu sisi, menampilkan rakyat sebagai pesakitan karena Hak atas Kesehatannya diabakaikan. Sekaligus, pada sisi lainnya, menampilakan elit publik sebagai pahlawan (kesingan). Namun, dalam kisah kepahlawanan itu, ada yang sekedar berjuang menyelamatkan dirinya sendiri dan ada yang berjuang mengatasnakaman penegakan dan pemenuhan Hak atas Kesehatan rakyat Nusa Tenggara Timur.

Apa yang sedang ditampilkan pada rakyat? Tak lain ialah bidang permukaan; suatu fenomena berwajah populis di mana terdapat perhatian yang benar-benar seruis dari para elit terkait isu kesehatan (isu publik). Namun, dalam pertarungan para elit, tentu saja, berperan pula aparatus konseptual untuk mengkonstruksikan opini publik yang dangkal sifatnya (banal). Opini masyarakat sedang dibangun sesuai kepentigan elit, yakni: “semua perhelatan para elit pada tingkatan elitis ini merepresentasi keprihatinan dan keberpihakan mereka pada kepentingan rakyat.

Padahal tidak demikian adanya. Fenomena ini lebih pantas disebut sebagai sinetronisasi populisme para elit publik. Sebuah tontonan populisme (humanis) yang sangat memuakan, melahirkan cercaan bahkan seharusnya dikutuk. Karenanya, ia (sinetronisisasi populis) haruslah dibaca sebagai bencana kemanusiaan karena sesungguhnya mentalitas pengabdian pejabat publik pada rakyat telah menjadi rusak-membusuk. Bagaimana tidak, jika karut-marutnya sistim dan penyelenggaran pelayanan kesehatan di RSUD Kupang ini secara tersirat atau memberikan kesan kuat tengah terjadi pertarungan elit lokal dalam memperebutkan kesempatan membangun citra politik mereka di hadapan publik NTT. 

 Bencana Kemanusiaan: Mengolah Cacat sebagai Make Up Politik 

Dandaisme Politisi
Menjadi bencana kemanusiaan kerena modus operandi pencitraan sebenarnya dilakukan dengan memanfaatkan cacat ganda elit publik. Cacat pertama ialah tidak berlajannya amanah pelayanan kepada rakyat yang diemban para elit dalam rangka pemenuhan Hak atas Kesehatan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara, cacat kedua ialah cacat pertama yang kemudian melahirkan cacat lanjutan atau akibat dari tidak berjalannya amanah pelayanan dari cacat pertama tadi, yakni ketertindasan dan penderitaan rakyat lantaran tidak terpenuhinya Hak atas Kesehtaan mereka. Akmulasi cacat ini, pada ujungnya membuat rakyat terpaksa melepaskan mimpi tentang kehidupan yang sehat dan makmur.

Jika demikian adanya, maka di sinilah titik kritisnya: para elit mengolah kembali cacat gandanya menjadi bahan baku (komoditi) politik pencitraan. Elit publik mendandani “wajah bopeng” mereka dengan meke-up pelanggaran Hak Asasi Kesehatan Rakyat Nusa Tenggara Timur.

Karenanya, ini bukan lagi urusan kemanusiaan. Bukan pula urusan keberpihakan politik pada rakyat. Ataupun urusan menghadirkan budaya politik yang bermartabat. Melainkan, ini adalah urusan seni berpolitik (pragmatis), seni memainkan taktik jitu dalam mendulang simpati dan dukungan rakyat dengan mempraktekan dandaisme politisi.

Sikap Reaksioner dan Politik Saling Kunci  

Saling Kunci
Nampaknya, mempercantik diri menjelang pentas elektoral di NTT, baik pada Pilgub (2013) dan Pileg (2014), seolah telah menjadi tradisi dalam politik dandaisme para elit. Para elit menjadi sedemikian kritis dan garang membantai lawan demi rakyat selalku tuan sesungguhnya dari sistim demokrasi. Namun, isi kritik mereka kosong dan tak menyentuh substansi persoalan. Ini mirip basa-basi di media massa sambil mengharapkan mahfum serta kepuasan (efek psikologis) dari rakyat atas celoteh mereka.

Mengapa demikian? Menurut hemat saya, seharusnya kritik atas problem pokok RSUD Kupang harus di arahkan pada praktek neoliberalisasi sistim kesehatan Indonesia. Berubahnya status RSUD menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah bentuk semi-privatisasi Rumah Sakit, yang membuka ruang bagi berbagai praktek komersialisasi. Termasuk di sini ialah ruang bagi pejabat negara dan swasta melakukan manuver untuk merampok anggaran kesehatan rakyat. Sistim inilah (neoliberalisme) yang telah menghancurkan sendi-sendi rasa kemanusiaan, solidritas serta budaya pengabdian, karena ujungnya selalu berurusan dengan praktek mengumpulkan profit (akumulasi modal). 

Kembali pada persoalannya. Kita bisa mengikuti seri-seri sinetronisasi elit yang rekasioner dan memang diabdikan pada pembentukan citra tertentu di hadapan publik, sekaligus menjalankan praktek politik saling kunci pada lawan (politik).

Seri pertama dibuka dengan serangan publik yang mengkritik kinerja pelayan medis serta Pejabat RSUD Kupang. “Habisnya stok obat emergensi (generik), mengakibatkan pasien Jamkesmas, Jamkesda, Jampersal harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit jumlahnya untuk membeli obat di luar formularium; pasien-pasien pengguna jaminan kesehatan ini juga diperlakukan secara diskriminatif karena diterlantarkan atau ditolak sama sekali; dokter yang mangkir dari tugas pokok kerena mementingkan proyek; kurangnya fasilitas dan tenaga dokter spesialis; bahkan kabar tentang kematian 16 pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) hanya dalam waktu sepekan karena diterlantarkan.”

Jurus-jurus “silat kampung” pejabat RSUD Kupang pun dikeluarkan. Menangkis demi mempertahankan diri dari serangan kritik publik. “Stok obat habis lantaran ada keterlambatan pada pihak distributor; banyaknya jumlah pasien dan terbatasnya ruangan; pasien datang ke IGD sudah setengah mampus.” Pihak RSUD Kupang, ngotot tidak bisa disalahkan atas situasi tersebut,” kata salah satu pejabatnya.

Seri kedua sinetronisasi, menampilkan legislatif dengan sikap yang nampaknya kritis, tapi sebenar reaksioner dan tak bernas. Anggota DPR RI, Anita Yakoba Gah dan anggota DPD, Sarah Leri Mbuik, mengkritik buruknya manajeman RSUD Kupang sebagai biang dari multi persoalan yang mencuat sat ini.  Anita Gah, yang juga merupakan salah satu calon yang akan meramaikan pentas politik pada Pilgub NTT pada 2013, berpendapat bahwa adanya indikasi memproyekkan anggaran kesehatan. Tak mau ketinggalan memanfaatkan panggung, Anggota Komisi D dan C DPRD Propinsi juga bereaksi. Mulai dari Wakil ketua, Sekretaris sampai anggota semuanya ambil bagian. Mengungkapkan penyesalan, kekecewaan, setuju dengan kritik menteri kesehatan, ditambah sedikit identifikasi masalah buruknya manajemen serta rendahnya budaya pelyanan di RSUD Kupang.  

Seri ketiga, sikap reaksioner legislatif serta desakan mencopot Direktur RSUD Kupang, dr. Alphon Anapaku, ternyata berubaha menjadi senjata efektif yang menyerang citra Gubernur NTT, Drs. Frans Liburaya. Naluri politik Liburaya pun berkerja. Dalam satu pemberitaan di media lokal, Liburaya mencurigai Ibrahim. A. Medah, Ketua DPRD NTT, yang juga merupakan pesaing politiknya dalam pertarungan Pilgub nanti, sebagai otak intelektual dari boomingnya kasus penolakan RSUD Kupang terhadap pasien dari keluarga miskin yang menderita kanker, Polce Victoria. Namun, pada akhirnya Liburaya tak mampu membendung desakan publik untuk membenahi manajemen RSUD Kupang serta mengevaluasi kinerja manajemen yang ada sekarang. Liburaya benar-benar terpojok oleh kuatnya polarisasi opini publik, di mana ia diposisikan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas amburadulnya manajemen di RSUD Kupang. Terpaksa harus sedikit mengalah, atau kehilangan simpati rakyat sama sekali. Di sini, citra populismenya hendak dipertahankan di hadapan rakyat.

Dan, seri keempat dari sineronisasi elitis ini, menghadirkan sosok pahlawan. Tak lain dan tak bukan, Ketua DPRD NTT, I. A. Medah. Dengan memafaatkan posisi lawan yang melemah, sikap heroik harus ditunjukan. Ia memebrikan statement   tegas agar manajemen RSUD Kupang dirombak total.

Tak mau kehilangan kesempatan, pahlawan lain pun muncul. Anita Gah, lincah mengambil posisi menyerang  terhadap ketidakberpihakan Gubernur NTT dan DPRD NTT terhadap persolan di RSUD Kupang. Keprihatinan dan kekecewaannya dikostruksikan sebagai elit yang lebih mememiliki hati terhadap rakyat, dari pada Liburaya dan I. A. Medah.


Pesan
 
Sebagai rakyat NTT, saya merasa jika bukan karena mendekati momentum politik, maka situasinya tak sedemikian menampilakan kegigihan-kegigihan perjuangan para elit ini. Semoga saja saya keliru, karena memang manusia berubah seringan berjalannya waktu dan perubahan kondisi sosialnya.

Rakyat NTT tentu mengharapkan agar sikap kritis dan keberpihakan itu bukan musiman, melainkan konsisten dan progress sifatnya. Jika tidak demikian, maka mungkin, gambaran perilaku elit di atas menjadi sesuai, sebagaimana jauh sebelumnya telah digambarkan dan dihujat dalam beberapa bait puisi Sang penyair materialisme-realisme, sekaligus perjuang reformasi, Wiji Tukul, dalam puisinya Pesan Sang Ibu:
 “…
Tatanan negeri ini sudah hancur anakku,
Dihancurkan oleh sang penguasa negeri ini,
Mereka hanya bisa bersolek di depan kaca,
Tapi, membiarkan punggungnya penuh dengan noda
Dan penuh lendir hitam yang baunya kema-mana.
Mereka selalu menyemprot kemaluannya dengan parfum luar negeri,
Di luar berbau wangi, di dalam penuh dengan bakteri,
Dan hebatnya, sang penguasa negeri mampu bermain akrobat,
Tubuhnya mampu dilipat-lipat,
Yang akhirnya pantat dan kemaluannya sendiri mampu dijilat-jilat
…”

Sekian!





2 komentar:

  1. sangat kritis!! terus berjuang kawan!! Semangat!!

    btw itu diralat ya namanya Wiji Tukul bukan Tuluk :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wiji tukul.....sorry, nulis dan publisx dah ngak sempat ku baca lgi....trims

      Hapus