Minggu, 09 September 2012

“Penyelamatan Lingkugan Pesisir Kali” (Sebuah Tawaran SOLIDARITAS kepada Pemuda Benyamin Oebufu)

4 dari 4 bagian

Oleh: James Faot
[Pemuda & Koordinator Rayon 1 – Jemaat Benyamin Oebufu]

“Jangan berpikir untuk meninggalkan warisan lain pada anak cucu kecuali satu: planet bumi yang segar bugar.”
 (Robert P. Borrong)



Pada bagian ketiga, telah dipaparkan singkat bahwa pandangan yang berat sebelah tentang hubungan manusia dengan lingkungan membuat manusia sekadar memperlakukan lingkungan sebagai objek ekonomi. Sudut pandang antroposenris serta ekonosentris yang mendorong manusia mengembangkan iptek relatif tak memberikan kebijaksaan. Justru, iptek dalam perkembangannya berfungsi sebagai alat megefektifkan keserakahan mengeksploitasi lingkungan. Karena perilaku manusia yang demikian, lingkungan alam memaksa manusia untuk segera beraksi menyelamatkan kehidupan dan penghidupannya itu, sekarang!

Seperti saya katakan pada bagian ketiga bahwa pada bagian ini akan didaratkan tawaran project solidaritas peyelamatan lingkungan pesisir kali (Kali Liliba). Pertanyaannya, mengapa Kali Liliba? Saya pikir, mungkin kawan-kawan pertama-tama akan mengajukan pertanyaan ini, mengapa isu penyelamatan lingkungan mengambil setting lokasi pada pesisir Kali Liliba? Untuk itu, sekurang-kurangnya, saya ingin memberikan 2 (dua) alasan untuk pertanyaan itu, yakni: pertama, karena alasan wilayah atau teritory Jemaat Benyamin Oebufu (JBO) dan kedua karena alasan kondisi pesir kali yang semakin kritis dan mengancam keselamatan.

Karenanya, pada bagian keempat atau terakhir dari tulisan ini, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu alasan-alasan di atas, sebelum masuk pada konsep dan teknis tawaran projeck solidaritas.

Keterikatan Manusia dengan Tanahnya: Kue harapan di antara irisan tipis kehidupan dan kematian

Bung Karno (Presiden RI Pertama), pernah menyampaikan sebuah filosofi yang melandasi asas Kebangsaan Indonesia. Filosofi itu ialah “persatuan antara manusia dengan tempatnya.” Falsafah ini menegaskan kepada kita sekalian bahwa “orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Demikian, hadirnya usulan projeck penyelamatan pesisir Kali Liliba, juga karena alasan esensial ini: tidak dapat dipisahkan jemaat dari bumi yang ada di bawah kakinya.

Pada tataran pijakan kaki pada bumi tempat tinggal, mungkin pandangan ini dapat dikritik. Misalnya, kita tidak memerlukan projeck ini lantaran orasng harus membuat pilihan bijak guna menyelamatkan diri dari ancaman bencana dengan tidak bermukim di pesisir Kali Liliba. Atau juga, tinggal menuntut relokasi dari pemerintah terhadap warga yang bermukim di sana. Akan tetapi tidak sesederhana itu kondisi yang menyebakan warga mengambil pilihan penuh resiko ini.

Untuk menegaskan argumentasi di atas, baiklah saya memberikan beberapa kutipan (mungkin agak panjang), tetapi memberikan penjelasan bahwa kritik-kritik di atas hanya justru mempertebal ketidakpekaan dan pengingkaran tanggung jawab  kita atau gereja untuk peduli dengan persoalan kerusakan lingkungan dan ancaman nyata terhadap masyarakat sekitar, terlebih anggota Jemaat Benyamin Oebufu, yang bermukim di pesisir kali Liliba.   

Kutipan release berikut diurutkan berdasarkan waktu (kejadian) di mana bencana mengancam saudara-saudara kita:

Pada Jumat 03 Maret 2009, sebuah media online nasional merilis berita dengan tajuk Longsor Ancam Puluhan Rumah:
“Kupang, hujan deras yang mengguyur dalam dua hari…membuat bantaran Sungai Liliba di Kelurahan Oebufu, Kupang, Nusa Tenggara Timur, longsor. Sebanyak 34 rumah warga yang berada persis di sepanjang bantaran sungai terancam jatuh. Di lokasi ini pada Juni 2008  lalu, terjadi longsor. Pemerintah Kota Kupang kala itu berjanji merelokasi seluruh warga yang berada di bantaran kali. Namun hingga kini relokasi belum dilakukan. (http://berita.liputan6.com).

Pada Rabu 27 Januari 2010, media cetak/online lokal kembali merilis sebuah berita dengan tajuk Distamben Pantau Kali Liliba:
"Kami sudah turun ke lokasi. Dari hasil pantauan kami, ada beberapa tempat yang sudah rusak, misalnya ada dua pohon johar yang rubuh. Ada juga dua pohon jati yang rubuh, hampir merusak mata air korbafo. Satu rumah di RT 4/RW 1 sudah sangat dekat dengan lokasi longsor, kurang lebih tiga meter saja." (http://kupang.tribunnews.com).

Pada Sabtu, 19 Juni 2010, media cetak/online lokal kembali merilis berita dengan tajuk Warga Nekat Bangun Rumah di Bibir Tebing:
“Tuntutan hidup, menyebabkan warga Kelurahan Tuak Daun Merah (TDM) untuk membangun rumah di bibir tebing Kali Liliba. Saat ini, jumlah warga yang membangun rumah di lokasi rawan bencana itu, sekitar puluhan. Malah, data terakhir yang berhasil dihimpun...jumlah keseluruhannya ada 40 orang warga. Warga yang nekat membangun rumah di bibir tebing umumnya ada di RT 07, 16 dan 17. Selain sangat berbahaya bagi pengguna rumah, bangunan-bangunan tersebut juga sudah menyalahi tata ruang kota, karena berada pada kawasan daerah aliran sungai (DAS), dan lokasi penghijauan.” (http://www.timorexpress.com).

Pada Senin, 04 Oktober 2010, media cetak/online lokal kembali merilis sebuah berita dengan tajuk Hutan Dibabat, Dijadikan Area Pembangunan: Selamatkan DAS Kali Liliba:
“Saat ini kondisi kali Liliba memprihatinkan. Bagaimana tidak, kondisi daerah aliran sungai (DAS) itu sudah padat pemukiman. Tak hanya itu, melainkan beberapa pekan terakhir, banyak pepohonan di sana yang ditebang, lalu dibakar untuk dijadikan ladang oleh warga. Padahal, mestinya kawasan itu menjadi kawasan konservasi yang dilindungi.
Akibatnya, kini kawasan itu sudah gundul.
Kalau cara seperti ini terus dibiarkan, maka tidak diherankan lagi jika sesekali waktu akan terjadi longsor dan memakan banyak korban terutama di musim hujan." (http://timorexpress.com).

Pada Minggu, 19 Desember 2010, media cetak/online lokal kembali merilis sebuah berita dengan tajuk WASPADA...! Musim Hujan, Musim Bencana:
“Kita telah memasuki musim penghujan. Ya, sesungguhnya kita telah tiba pada sebuah musim yang kerab dengan bencana. Baik itu angin kencang hingga meluluhlantakkan rumah warga, hingga longsor dan banjir.Tak sedikit warga yang was-was. Wajar saja jika mereka diliputi kecemasan, pasalnya tempat tinggal mereka yang berada persis di bibir jurang. Saat ini, terdapat 54 KK yang bermukim di bibir jurang, tepatnya di jurang kali Liliba, Kelurahan Tuak Daun Merah (TDM). (http://timorexpress.com).

Pada, Kamis 19 Oktober 2012, media online lokal kembali merilis sebuah berita dengan tajuk Puluhan Rumah Dibantaran Kali Liliba Terancam Longsor:
Warga Rt 10 Rw 05 kelurahan Oebufu Kupang NTT  yang bermukim disepanjang bantaran kali Liliba mulai cemas menyusul semakin dekatnya musim penghujan  kecemasan warga disebabkan pinggiran tebing longsoran  pada musim penghujan sebelumnya sudah mendekat ke pemukiman yang terpaut hanya satu meter. Kekhawatiran sejumlah warga ini beralasan karena tidak ada perhatian dari pemerintah setempat meski berulang kali keluhan mereka disampaikan melalui pihak kelurahan. Karena itu keluhan warga yang khawatir akan bahaya mengancam rumah mereka terus menghantui.” (http://www.nttonlinenow.com).

Kondisi objektifnya seperti ini. Ada kaitan erat antara daya tarik lapangan kerja di kota, rombongan urban, perkembangan penduduk serta semakin terbatas dan mahalnya tanah dan hunian layak di daerah perkotaan. Model pembangunan berorientasi kota telah menyebabkan kelesuan lapangan kerja dan produktifitas masyarakat desa. Kondisi ini secara sosio-ekonomi menempatkan maraknya pembagunan di perkotaan sebagai alternatif untuk mendapatkan pekerjaan. Tentu saja, gelombang urban yang tak terhitung jumlahnya akan memenuhi perkotaan karena alasan mempertahankan hidup mereka dan keluarga. Sejalan itu, perkembangan penduduk daerah pekotaan terus melonjak, sehingga mendorong semakin terbatas dan mahalnya daerah pemukiman. Dalam kondisi ini kaum urban (yang marginal) diperhadapkan pada kesulitan antara meninggalkan kota dan mati karena kehilangan pekerjaan atau terpaksa memilih menetap di kota untuk mempertahankan hidup, walaupun harus mendiami wilayah pesisir kali yang memang terlalu beresiko untuk keselamatannya.

Menarik, untuk menghubungkan kondisi objektif itu dengan perhatian khlayak umum (nasional dan lokal) melalui rilis peristiwa bencana longsong yang dialami oleh mereka yang bermukim di pesisr kali Liliba. Sebuah pertanyaan reflektif bisa diajukan, yakni “tidakkah kita berpikir, jikalau orang lain merasa dan menyatakan bertanggung jawab mereka dengan memberikan perhatian terhadap nasib warga di pesisir kali Liliba, lalu mengapa gereja, baik sebagai orang maupun institusi agama, yang jelas-jelas berada sekitaran lintasan kali bahkan merupakan kesatuan karena orang-orang tersebuat adalah anggota gereja, justru belum (atau tidak) melakukan sesuatu guna menyelamatkan meraka?”

Apalagi analisis terhadap intensitas dan konsistensi isi pemberitaan media sejak tahun 2009-2012, sebenarnya menunjukan bahwa institusi pers sedang berupaya mengkritik, menggugah, mendorong serta menagajak supaya pemerintah dan masyarakat dari berbagai unsur serta lapisanny, segera melakukan sesuatu guna mengatasi krisis, bencana serta ancaman bencana yang potensial terjadi di masa mendatang, jika wilayah pesisir ini tidak diselamatkan.
     
Jika demikian kondisinya, maka sebaiknya keprihatinan gereja harus segera diubah menjadi aksi. Sehingga, ia dapat melakukan “sesuatu yang baik” bagi warga masyarakat dan warga gereja sendiri. Sebab, bukan karena mereka tak menyadari bahaya yang mengancam jika tinggal dipesisir kali yang menderita krisis itu, tetapi karena ikatan dengan tanah tanggung yang memberikan mereka secerca harapan hidup. Menurut saya, orang-orang ini terjepit di antara keterbatasan pilihan hidup yang serba dan teramat problematik.

Dalam bahasa yang hiperbolis, saya ingin katakan bahwa “sebenarnya, keputusan untuk tinggal di pesisir kali Liliba yang rawan bencana itu adalah cerminan pemaksaan kondisi untuk tetap bisa hidup, walaupun dengan menegak pil pahit: jika bukan untuk memperlambat kematian, maka itu adalah pilihan mempercepat kematian.”

Inilah nasib, jika nafsu dan ambisi pembangunan hanya menyodorkan kepada kaum tersingkir kue harapan di antara irisan tipis kehidupan dan kematian. 

Projeck Solidaritas Penyelamatan Lingkungan Pesisir Kali Liliba

Manusia dan alam adalah sama-sama ciptaan. Adanya kesadaran akan kesatuan manusia dengan alam, membuat manusia harus memperlakukan alam sebagai sesama ciptaan Allah. Karena itu, memelihara alam adalah bentuk pertangungjawaban manusia kepada Allah. Dengan kata lain, yang perlu dibangun dalam hubungan manusia dengan alam sebagai sesama ciptaan adalah relasi kooperatif. Ini adalah inti etika solidaritas dalam refleksi iman kristiani.

Karenaya, rasa kebersamaan dan keterikatan yang bertanggung jawab (solidaritas) itu yang ingin ditawarkan dari projeck penyelamatan lingkungan pesisir kali Liliba dalam momentum Bulan Keluarga. Untuk itu, kita langsung pada bentuk konkrit dari tawaran ini.

Pohon Keluarga

Pohon keluarga hanyalah sebuah konsepsi sederhana, di mana momentum Bulan keluarga yang akan dirayakan gereja diberikan muatan nilai solidaritas dari setiap kelurga dalam persekutuan Jemaat benyamin Oebufu untuk mengambil peran dan tindakan nya untuk menyelamatkan lingkungan. Itu, berarti setiap kelurga (Bapak, Ibu, anak-anak atau singkatnya seisi rumah tangga), diajak untuk mengambil bagian dalam penanaman anakan pohon di pesisir kali Liliba.

Secara teknis, satu keluarga mendapatkan satu pohon solidaritas untuk ditaman. Ini bukan simbolisasi kosong dalam menyatakan solidaritas terhadap lingkungan. Sebab, semangat solidaritas adalah rasa kebersamaan dan tanggung jawab, maka pohon yang ditanam itu, nantinya akan mendapatkan perhatian dari setiap keluarga yang menanamnya. Idealnya, keluarga-keluarga ini memiliki komitmen untuk merawat dan memastikan pohon-pohon yang telah mereka tanam itu bertumbuh (besar), sehingga memberikan manfaat bagi kelangsungan kehidupan.

Lazimnya, konsep yang dikenal dalam dari ibadah puncak Bulan Keluarga adalah Ibadah Padang. Ini dapat diisi dengan pernyataan komitmen bersama untuk menjaga keselamatan lingkungan alam, baik oleh seluruh Jemaat Benyamin Oebufu atau juga siapapun yang berkenan hadir dan mendukung aksi ini.

Sebaiknya, komitmen ini kita simbolikan dengan pendirian prasasti atau tugu solidaritas penyelamatan lingkungan, yang ditandatangani oleh unsur-unsur, misalnya: Pendeta JBO, Ketua Pemuda, Tokoh Pemerintah, Tokoh Masyarakat, dan lain sebagainya.

Simbolisasi itu, kemudian harus dimaknai sebagai cara membangun persuasi emosional yang akan sangat membantu kita semua menghayati dan menginternalisasi komitmen tadi dalam tindakan hidup sehari-hari. Gambaran obesi saya secara pribadi, ketika prasasti atau tugu itu dilihat, setiap orang akan diteguhkan komitmennya untuk menjaga keselamatan lingkungan. Sebab, pada satu sisi, ia adalah peringatan akan datangnya ancaman dari alam yang dirusak, sekaligus kabar akan datangnya ketentraman dan kebahagian generasi dari alam yang dipelihara dengan kasih, pada sisi lainnya.

Saya ingin mengakhiri tawaran ini dengan ajakan: “ambilah sebuah posisi, di mana diri kita sedang tersudut sedemikian rupa oleh bahaya, sehingga kita hanya disisahkan satu pilihan, yakni segera bertindak menyelamatkan diri, sebelum bahaya menerjang.” Ini adalah posisi solidaritas untuk menyelamatkan kita semua dan generasi kita dari bencana lingkungan. Satu Pikiran, Satu Tindakan; Satu Keluarga, Satu Pohon; Satu Bumi, Satu Masa Depan.  

Selamat merayakan Bulan Keluarga, Reformasi Gereja dan Hari Ulang Tahun GMIT: “Mengejar Mentari.” Kiranya projeck solidaritas ini mendapatkan sambutan yang hangat dari kita sekalian.
Salam Solidaritas!
Selesai



Tidak ada komentar:

Posting Komentar