4 dari 4 bagian
Oleh:
James Faot
[Pemuda & Koordinator Rayon 1 – Jemaat
Benyamin Oebufu]
“Jangan berpikir
untuk meninggalkan warisan lain pada anak cucu kecuali satu: planet bumi yang
segar bugar.”
(Robert P. Borrong)
Pada
bagian ketiga, telah dipaparkan singkat bahwa pandangan yang berat sebelah
tentang hubungan manusia dengan lingkungan membuat manusia sekadar
memperlakukan lingkungan sebagai objek ekonomi. Sudut pandang antroposenris
serta ekonosentris yang mendorong manusia mengembangkan iptek relatif tak
memberikan kebijaksaan. Justru, iptek dalam perkembangannya berfungsi sebagai
alat megefektifkan keserakahan mengeksploitasi lingkungan. Karena perilaku manusia
yang demikian, lingkungan alam memaksa manusia untuk segera beraksi
menyelamatkan kehidupan dan penghidupannya itu, sekarang!
Seperti saya katakan pada bagian ketiga bahwa pada bagian
ini akan didaratkan tawaran project solidaritas peyelamatan lingkungan pesisir
kali (Kali Liliba). Pertanyaannya, mengapa Kali Liliba? Saya pikir, mungkin
kawan-kawan pertama-tama akan mengajukan pertanyaan ini, mengapa isu
penyelamatan lingkungan mengambil setting
lokasi pada pesisir Kali Liliba? Untuk itu, sekurang-kurangnya, saya ingin
memberikan 2 (dua) alasan untuk pertanyaan itu, yakni: pertama, karena alasan wilayah atau teritory Jemaat Benyamin Oebufu
(JBO) dan kedua karena alasan kondisi
pesir kali yang semakin kritis dan mengancam keselamatan.
Karenanya, pada bagian keempat atau terakhir dari tulisan
ini, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu alasan-alasan di atas, sebelum
masuk pada konsep dan teknis tawaran projeck solidaritas.
Keterikatan Manusia
dengan Tanahnya: Kue harapan di antara irisan tipis kehidupan dan kematian
Bung Karno (Presiden RI Pertama), pernah menyampaikan
sebuah filosofi yang melandasi asas Kebangsaan Indonesia. Filosofi itu ialah “persatuan
antara manusia dengan tempatnya.” Falsafah ini menegaskan kepada kita sekalian
bahwa “orang dan
tempat tidak dapat dipisahkan!” Demikian, hadirnya usulan projeck penyelamatan pesisir Kali Liliba, juga
karena alasan esensial ini: tidak dapat dipisahkan jemaat
dari bumi yang ada di bawah
kakinya.
Pada tataran pijakan kaki pada bumi tempat tinggal,
mungkin pandangan ini dapat dikritik. Misalnya, kita tidak memerlukan projeck
ini lantaran orasng harus membuat pilihan bijak guna menyelamatkan diri dari
ancaman bencana dengan tidak bermukim di pesisir Kali Liliba. Atau juga,
tinggal menuntut relokasi dari pemerintah terhadap warga yang bermukim di sana.
Akan tetapi tidak sesederhana itu kondisi yang menyebakan warga mengambil
pilihan penuh resiko ini.
Untuk menegaskan argumentasi di atas, baiklah saya
memberikan beberapa kutipan (mungkin agak panjang), tetapi memberikan
penjelasan bahwa kritik-kritik di atas hanya justru mempertebal ketidakpekaan
dan pengingkaran tanggung jawab kita
atau gereja untuk peduli dengan persoalan kerusakan lingkungan dan ancaman
nyata terhadap masyarakat sekitar, terlebih anggota Jemaat Benyamin Oebufu,
yang bermukim di pesisir kali Liliba.
Kutipan release berikut diurutkan berdasarkan waktu (kejadian)
di mana bencana mengancam saudara-saudara kita:
Pada Jumat
03 Maret 2009, sebuah media online
nasional merilis berita dengan tajuk Longsor Ancam Puluhan Rumah:
“Kupang, hujan deras yang
mengguyur dalam dua hari…membuat bantaran Sungai Liliba di Kelurahan Oebufu,
Kupang, Nusa Tenggara Timur, longsor. Sebanyak 34 rumah warga yang berada
persis di sepanjang bantaran sungai terancam jatuh. Di lokasi ini pada Juni
2008 lalu, terjadi longsor. Pemerintah
Kota Kupang kala itu berjanji merelokasi seluruh warga yang berada di bantaran
kali. Namun hingga kini relokasi belum dilakukan. (http://berita.liputan6.com).
Pada Rabu 27 Januari
2010, media cetak/online lokal kembali merilis sebuah berita dengan tajuk Distamben Pantau Kali Liliba:
"Kami
sudah turun ke lokasi. Dari hasil pantauan kami, ada beberapa tempat yang sudah
rusak, misalnya ada dua pohon johar yang rubuh. Ada juga dua pohon jati yang
rubuh, hampir merusak mata air korbafo. Satu rumah di RT 4/RW 1 sudah sangat
dekat dengan lokasi longsor, kurang lebih tiga meter saja." (http://kupang.tribunnews.com).
Pada Sabtu, 19 Juni
2010, media cetak/online lokal kembali merilis berita dengan tajuk Warga Nekat Bangun Rumah di Bibir Tebing:
“Tuntutan
hidup, menyebabkan warga Kelurahan Tuak Daun Merah (TDM) untuk membangun rumah
di bibir tebing Kali Liliba. Saat ini, jumlah warga yang membangun rumah di
lokasi rawan bencana itu, sekitar puluhan. Malah, data terakhir yang berhasil
dihimpun...jumlah keseluruhannya ada 40 orang warga. Warga yang nekat membangun
rumah di bibir tebing umumnya ada di RT 07, 16 dan 17. Selain sangat berbahaya
bagi pengguna rumah, bangunan-bangunan tersebut juga sudah menyalahi tata ruang
kota, karena berada pada kawasan daerah aliran sungai (DAS), dan lokasi
penghijauan.” (http://www.timorexpress.com).
Pada
Senin, 04 Oktober 2010, media cetak/online lokal kembali merilis sebuah berita
dengan tajuk Hutan Dibabat, Dijadikan Area Pembangunan: Selamatkan DAS
Kali Liliba:
“Saat
ini kondisi kali Liliba memprihatinkan. Bagaimana tidak, kondisi daerah aliran
sungai (DAS) itu sudah padat pemukiman. Tak hanya itu, melainkan beberapa pekan
terakhir, banyak pepohonan di sana yang ditebang, lalu dibakar untuk dijadikan
ladang oleh warga. Padahal, mestinya kawasan itu menjadi kawasan konservasi
yang dilindungi.
Akibatnya, kini kawasan itu sudah gundul.
Akibatnya, kini kawasan itu sudah gundul.
Kalau
cara seperti ini terus dibiarkan, maka tidak diherankan lagi jika sesekali
waktu akan terjadi longsor dan memakan banyak korban terutama di musim hujan." (http://timorexpress.com).
Pada Minggu, 19
Desember 2010, media cetak/online lokal kembali merilis sebuah berita dengan
tajuk WASPADA...! Musim Hujan, Musim Bencana:
“Kita
telah memasuki musim penghujan. Ya, sesungguhnya kita telah tiba pada sebuah
musim yang kerab dengan bencana. Baik itu angin kencang hingga meluluhlantakkan
rumah warga, hingga longsor dan banjir.Tak sedikit warga yang was-was. Wajar
saja jika mereka diliputi kecemasan, pasalnya tempat tinggal mereka yang berada
persis di bibir jurang. Saat ini, terdapat 54 KK yang bermukim di bibir jurang,
tepatnya di jurang kali Liliba, Kelurahan Tuak Daun Merah (TDM). (http://timorexpress.com).
Pada, Kamis 19 Oktober
2012, media online lokal kembali merilis sebuah berita dengan tajuk Puluhan Rumah
Dibantaran Kali Liliba Terancam Longsor:
“Warga Rt 10 Rw 05
kelurahan Oebufu Kupang NTT yang bermukim disepanjang bantaran kali
Liliba mulai cemas menyusul semakin dekatnya musim penghujan kecemasan
warga disebabkan pinggiran tebing longsoran pada musim penghujan
sebelumnya sudah mendekat ke pemukiman yang terpaut hanya satu meter. Kekhawatiran
sejumlah warga ini beralasan karena tidak ada perhatian dari pemerintah setempat
meski berulang kali keluhan mereka disampaikan melalui pihak kelurahan. Karena
itu keluhan warga yang khawatir akan bahaya mengancam rumah mereka terus
menghantui.” (http://www.nttonlinenow.com).
Kondisi objektifnya seperti ini. Ada kaitan erat antara
daya tarik lapangan kerja di kota, rombongan urban, perkembangan penduduk serta
semakin terbatas dan mahalnya tanah dan hunian layak di daerah perkotaan. Model
pembangunan berorientasi kota telah menyebabkan kelesuan lapangan kerja dan
produktifitas masyarakat desa. Kondisi ini secara sosio-ekonomi menempatkan
maraknya pembagunan di perkotaan sebagai alternatif untuk mendapatkan pekerjaan.
Tentu saja, gelombang urban yang tak terhitung jumlahnya akan memenuhi perkotaan
karena alasan mempertahankan hidup mereka dan keluarga. Sejalan itu,
perkembangan penduduk daerah pekotaan terus melonjak, sehingga mendorong
semakin terbatas dan mahalnya daerah pemukiman. Dalam kondisi ini kaum urban
(yang marginal) diperhadapkan pada kesulitan antara meninggalkan kota dan mati
karena kehilangan pekerjaan atau terpaksa memilih menetap di kota untuk
mempertahankan hidup, walaupun harus mendiami wilayah pesisir kali yang memang terlalu
beresiko untuk keselamatannya.
Menarik, untuk menghubungkan kondisi objektif itu dengan
perhatian khlayak umum (nasional dan lokal) melalui rilis peristiwa bencana
longsong yang dialami oleh mereka yang bermukim di pesisr kali Liliba. Sebuah
pertanyaan reflektif bisa diajukan, yakni “tidakkah kita berpikir, jikalau
orang lain merasa dan menyatakan bertanggung jawab mereka dengan memberikan
perhatian terhadap nasib warga di pesisir kali Liliba, lalu mengapa gereja,
baik sebagai orang maupun institusi agama, yang jelas-jelas berada sekitaran
lintasan kali bahkan merupakan kesatuan karena orang-orang tersebuat adalah
anggota gereja, justru belum (atau tidak) melakukan sesuatu guna menyelamatkan
meraka?”
Apalagi analisis terhadap intensitas dan konsistensi isi pemberitaan
media sejak tahun 2009-2012, sebenarnya menunjukan bahwa institusi pers sedang
berupaya mengkritik, menggugah, mendorong serta menagajak supaya pemerintah dan
masyarakat dari berbagai unsur serta lapisanny, segera melakukan sesuatu guna mengatasi
krisis, bencana serta ancaman bencana yang potensial terjadi di masa mendatang,
jika wilayah pesisir ini tidak diselamatkan.
Jika demikian kondisinya, maka sebaiknya keprihatinan gereja
harus segera diubah menjadi aksi. Sehingga, ia dapat melakukan “sesuatu yang
baik” bagi warga masyarakat dan warga gereja sendiri. Sebab, bukan karena
mereka tak menyadari bahaya yang mengancam jika tinggal dipesisir kali yang menderita
krisis itu, tetapi karena ikatan dengan tanah tanggung yang memberikan mereka
secerca harapan hidup. Menurut saya, orang-orang ini terjepit di antara
keterbatasan pilihan hidup yang serba dan teramat problematik.
Dalam bahasa yang hiperbolis, saya ingin katakan bahwa “sebenarnya,
keputusan untuk tinggal di pesisir kali Liliba yang rawan bencana itu adalah
cerminan pemaksaan kondisi untuk tetap bisa hidup, walaupun dengan menegak pil
pahit: jika bukan untuk memperlambat kematian, maka itu adalah pilihan
mempercepat kematian.”
Inilah nasib, jika nafsu dan ambisi pembangunan hanya menyodorkan
kepada kaum tersingkir kue harapan di antara irisan tipis kehidupan dan
kematian.
Projeck
Solidaritas Penyelamatan Lingkungan Pesisir Kali Liliba
Manusia dan alam adalah sama-sama ciptaan. Adanya
kesadaran akan kesatuan manusia dengan alam, membuat manusia harus
memperlakukan alam sebagai sesama ciptaan Allah. Karena itu, memelihara alam
adalah bentuk pertangungjawaban manusia kepada Allah. Dengan kata lain, yang
perlu dibangun dalam hubungan manusia dengan alam sebagai sesama ciptaan adalah
relasi kooperatif. Ini adalah inti etika
solidaritas dalam refleksi iman kristiani.
Karenaya, rasa kebersamaan dan keterikatan yang
bertanggung jawab (solidaritas) itu yang ingin ditawarkan dari projeck
penyelamatan lingkungan pesisir kali Liliba dalam momentum Bulan Keluarga.
Untuk itu, kita langsung pada bentuk konkrit dari tawaran ini.
Pohon Keluarga
Pohon keluarga hanyalah sebuah konsepsi sederhana, di mana
momentum Bulan keluarga yang akan dirayakan gereja diberikan muatan nilai
solidaritas dari setiap kelurga dalam persekutuan Jemaat benyamin Oebufu untuk
mengambil peran dan tindakan nya untuk menyelamatkan lingkungan. Itu, berarti
setiap kelurga (Bapak, Ibu, anak-anak atau singkatnya seisi rumah tangga),
diajak untuk mengambil bagian dalam penanaman anakan pohon di pesisir kali
Liliba.
Secara teknis, satu
keluarga mendapatkan satu pohon solidaritas untuk ditaman. Ini bukan
simbolisasi kosong dalam menyatakan solidaritas terhadap lingkungan. Sebab,
semangat solidaritas adalah rasa kebersamaan dan tanggung jawab, maka pohon
yang ditanam itu, nantinya akan mendapatkan perhatian dari setiap keluarga yang
menanamnya. Idealnya, keluarga-keluarga ini memiliki komitmen untuk merawat dan
memastikan pohon-pohon yang telah mereka tanam itu bertumbuh (besar), sehingga
memberikan manfaat bagi kelangsungan kehidupan.
Lazimnya, konsep yang dikenal dalam dari ibadah puncak
Bulan Keluarga adalah Ibadah Padang.
Ini dapat diisi dengan pernyataan komitmen bersama untuk menjaga keselamatan
lingkungan alam, baik oleh seluruh Jemaat Benyamin Oebufu atau juga siapapun
yang berkenan hadir dan mendukung aksi ini.
Sebaiknya, komitmen ini kita simbolikan dengan pendirian
prasasti atau tugu solidaritas penyelamatan lingkungan, yang ditandatangani
oleh unsur-unsur, misalnya: Pendeta JBO, Ketua Pemuda, Tokoh Pemerintah, Tokoh
Masyarakat, dan lain sebagainya.
Simbolisasi itu, kemudian harus dimaknai sebagai cara
membangun persuasi emosional yang akan sangat membantu kita semua menghayati
dan menginternalisasi komitmen tadi dalam tindakan hidup sehari-hari. Gambaran
obesi saya secara pribadi, ketika prasasti atau tugu itu dilihat, setiap orang
akan diteguhkan komitmennya untuk menjaga keselamatan lingkungan. Sebab, pada
satu sisi, ia adalah peringatan akan datangnya ancaman dari alam yang dirusak,
sekaligus kabar akan datangnya ketentraman dan kebahagian generasi dari alam
yang dipelihara dengan kasih, pada sisi lainnya.
Saya ingin mengakhiri tawaran ini dengan ajakan: “ambilah
sebuah posisi, di mana diri kita sedang tersudut sedemikian rupa oleh bahaya,
sehingga kita hanya disisahkan satu pilihan, yakni segera bertindak
menyelamatkan diri, sebelum bahaya menerjang.” Ini adalah posisi solidaritas
untuk menyelamatkan kita semua dan generasi kita dari bencana lingkungan. Satu Pikiran, Satu Tindakan; Satu Keluarga, Satu
Pohon; Satu Bumi, Satu Masa Depan.
Selamat merayakan Bulan Keluarga, Reformasi Gereja dan
Hari Ulang Tahun GMIT: “Mengejar Mentari.” Kiranya projeck solidaritas ini
mendapatkan sambutan yang hangat dari kita sekalian.
Salam Solidaritas!
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar