Senin, 03 September 2012

“Penyelamatan Lingkugan Pesisir Kali” (Sebuah Tawaran SOLIDARITAS kepada Pemuda Benyamin Oebufu)

3 dari 4 bagian

Oleh: James Faot


“Perhatian yang berat sebelah terhadap tata lingkungan dan norma lingkungan terjadi ketika manusia hanya menempatkan kepentingannya, tetapi melupakan kepentingan bersama seluruh unsur dalam alam.”
(Robert P. Borrong)


Pada bagian kedua tulisan ini, telah digambarkan sepintas bahwa ketika eksistensi kami sebagai pemuda gereja dipertanyakan, disanksikan dan digugat, lantaran kami justru berkontribusi dalam merusak lingkungan. Dari proses otokritik itu, kami berupaya mengambil langkah proaktif untuk “keluar dari ‘lubang kubur’ yang kami gali sendiri” karena memperlakukan lingkungan tanpa moral serta lahirnya penyesalan mendalam atas perbuatan tersebut. Kemudian, sikap proaktif itu coba diekspresikan melalui apa yang kami sebut sebagai Green Valentine.

Pada bagian ketiga, saya ingin menyinggung tentang konsep dan praktik manusia modern dalam mengembangkan Iptek  yang sangat berorientasi pada kepentingannya, khususnya kepentingan ekonomi. Orientasi demikian, telah berdampak pada rusaknya lingkungan. Manusia dan sisitim yang dibangunnya itu adalah subjek yang paling bertanggung jawab terhadap krisis ini. Karenanya, ia pula yang harus memperbaikinya. Dari pembahasan singkat tersebut, saya coba mendaratkan tawaran projek solidaritas penyelamatan lingkungan kepada kawan-kawan.  

Kedangkalan Paradigmatik

Pandangan berat sebelah sekaligus kesalahan besar dalam pengkembangan Iptek, dalam kaitannya dengan hubungan manusia dengan lingkungan adalah “manusia ditempatkan lebih utama dan tinggi dari lingkungan.” Hubungan antroposentris tersebut justru telah mendorong manusia menciptakan bencana tak berujung karena lingkungan dilihat sekadar materi atau bernilai ekonomi.

Sebenarnya, tersedia kritik yang patut dilontarkan kepada gereja, khususnya terkait perspektif teologis yang cenderung berorientasi pada kepentingan manusia semata (antroposentris). Kritik tersebut penting karena ia diajukan dalam kerangka mendorong peran dan tanggung jawab gereja dalam penyelamatan lingkungan, terutama di era modern ini. Pun, kritik tersebut diajukan, maka ia hanya bersifat garis besar dan benang merah untuk memberikan pemahaman bahwa sejarah perkembangan teologi kristen sejak masa gereja mula-mula, reformasi, hingga memasuki adab ke-19 dan ke-20, kurang memberikan perhatian serius terhadap problem lingkungan, pada satu sisi, sekaligus menegaskan relevansi kritik tersebut karena alasan: (1) antroposentirisme teologi pada masa reformasi kuat mempengaruhi gereja di Indonesia dan membuatnya kurang consern terhadap problem lingkungan; (2) perkembangan serta dominasi dualisme kaum gnostik dan rasionalisme murni terhadap teologi gereja abad ke-19 dan ke-20, justru memberikan legitimasi bagi proses eksploitasi dan itu telah mendorong pengrusakan lingkungan sampai pada level yang belum pernah terjadi sebelumnya, pada sisi lainnya.  

Oleh karena itu, kurang bijaksana, jika tawaran projek solidaritas melalui tulisan kecil ini terlalu bernafsu melimpahkan seluruh kritiknya terhadap gereja dan orentasi teologisnya. Sebab, dualisme pada masa gereja mula-mula dan antroposentris pada masa reformasi, sebenarnya memilii konteks khasnya sendiri--walaupun, keduanya kuat mempengaruhi ajaran dan praktik gereja serta manusia modern dalam memperlakukan lingkungan. Dengan demikian, kita langsung saja meloncat pada bagaimana manusia merefleksikan hubungannya dengan lingkungan secara ekonomi. 

Pragmatisme Pengelolaan Lingkungan: Bencana Kemanusiaan

Jika “etika” membicarakan soal manusia seharusya berbuat dan bertindak supaya tindakannya itu benar, baik dan tepat sebagai cerminan kebaikan, kebenaran, keadilan dan kasih terhadap dirinya dan orang lain, maka “etika ekonosentris” diartikan sebagai etika yang dipusatkan pada kepentingan ekonomi atau kepentingan profit (untung).  Ini (etika ekonosentris) adalah jenis etika yang mengutamakan kepentingan ekonomi dan keuntungan material tanpa penghargaan yang sepatutnya terhadap lingkungan.

Secara historis, perkembangan ekonomisentris berakar dalam filsafat modern yang dari padanya membangun sistim kapitalis, di mana modal (profit) merupakan tujuan. Karena modal menjadi tujuan akhirnya, maka sistim ini (kapitalis) mengabdikan dirinya pada penciptaan profit secara terus-menerus atau melipat-gandakan modal. Dan, untuk menciptakan akumulasi itu, maka eksploitasi sumber daya alam sebagai sumber ekonomi dilakukan bahkan secara membabi-buta.

Sekitr 2 tahun silam, walaupun sedikit samar dalam dalam ingatan, banjir bah melanda Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat. Yah, Petaka Wasior! Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tercatan, bencana ini memakan jumlah korban tewas sebanyak 173 orang; korban hilang sebanyak 118; korban luka ringan sebanyak 3.374 orang dan korban luka berat 26 orang. Sedangkan jumlah warga pengungsi mencapai 5.158 orang. 
Belum terhitung korban materi bahkan sosial, tetapi yang pasti amukan alam melalui banjir bah di Wasior adalah gambaran dari keserakahan manusia, khususnya oleh perusahaan-perusahaan yang menghabisi hutan. Beberapa informasi di media massa menjelaskan bahwa tragedi di bumi Wasior bersifat sisitimatis. Pada 2001, Tanah Wasior pernah dilanda tragedi berdarah yang berhubungan dengan nafsu merampok hutan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), misalnya, menilai bahwa banjir di Wasior, memang diakibatkan oleh kerusakan hutan di kawasan Kabupaten Teluk Wondama. Dimensinyalir telah ada aktivitas penebangan hutan di daerah itu sejak 20 tahun silam. Ada catatan penting bahwa pemerintah telah mengeluarkan ijin HPH pada tahun 1990 kepada PT WMT dan PT DMP. Namun, karena warga menolak aktivitas penebangan hutan, maka berbagai skenario kekerasan yang berujung pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) diciptakan; pembunuhan, penghilangan secara paksa, penyiksaan, dan hilangnya harta benda serta pemaksaan untuk mengungsi yang menimbulkan kematian dan penyakit. Selang 2002, aktivitas penebangan kembali dilakukan relatif tanpa perlawanan rakyat. karena perusahaan-perusahaan sudah mampu membayar ganti rugi kepada warga bahkan membangun kongsi dagang dari hulu sampai hilir.

Sekali lagi, “tak sekoci untuk menyelamatkan diri kalau planet ini tenggelam dalam kehancuran,” petaka Wasior adalah bukti!  

Perlu pula dihadirkan pengrusakan hutan serta lahan konsumstif dan produktif akibat praktek monopoli sumber daya (modal, bibit, tanah, air, teknologi, pasar). Monopoli ini telah mendorong krisis pangan, hingga mengakibatkan ± 850.000 orang mengalami kelaparan dan kekurangan gizi. Bahkan 18.000 anak mati karena kelaparan setiap harinya. Predikasi terakhir mengemukakan bahwa pada 2025, sejumlah 1 miliar orang akan menderita dan mati kelaparan keserakahan ini.

Negara-negara kaya memindahkan lahan dan industri mereka di negara-negara miskin. Mereka memahami dengan lebih baik bahwa untuk melipat-gandakan keuntungan melalui efisiensi kost (biaya) rehabilitasi lingkungan, maka industri akan menjadi mosnter perusak yang paling berbahaya, terutama merusak tanah, udara, air dan ozon. Misalnya, industri  pengembangan energi alternatif, pada satu sisi, dioperasikan untuk menghasilkan gandum dan jarak sebagai bahan baku pembuatan bioenergi bagi mobil jenis baru, tetapi pada sisi yang lain, para buruh dan yang dipekerjakan dengan bayaran murah serta rakyat miskin di lingkar pabrik, justru dipaksa menikmati udara dan air yang terkontaminasi polusi, sehingga menderita asma, ispa, eksim, bahkan sekarat dan mati lapar atau penyakitan lantaran tak punya uang membeli makan dan membayar ongkos kesehatan yang “harganya tergantung dilangit.”

Contoh lain yang dekat dengan keseharian kita, misalnya, rakyat yang menjual tenaganya pada “industri telanjang kaki” di Kabupaten Kupang, TTS, TTU dan Belu. Mereka diberi pengetahuan sedikit untuk mengenal batu berharga seperti Mangan, lalu didorong untuk mengumpulkannya tanpa mempedulikan keselamatan dan kesejahteraannya. Pasalnya, mayoritas kasus beroperasinya “industri telanjang kaki” senantiasa merenggut tanah, hutan dan air sebagai sumber penghidupan pokok, keselamatan (kesehatan dan nyawa) serta tenaga (buruh murah). Bicara soal kesehatan dan keselamatan di lokasi eksploitasi mangan;  jika seseorang melakukan kontak dengan material ini, maka racun mangan bisa diserap tubuh dan jika terlalu banyak akan merusak hati, iritasi, karsinogen dan kanker.

Saya tak bermaksud mengerdilkan makna pengrusakan kompleks ini dengan memberikan daftar korban melalui angka-angka dan deskripsi kasuistik di atas. Tetapi dari situ, kita dapat memahami skala ancaman yang serius mengancam kehidupan bersama karena manusia meremehkan lingkungan. 

Walaupun, kita tentu saja masih dapat menambah panjang daftar berisi bukti-bukti tentang perilaku manusia secara tidak bertanggung jawab karena menempatkan dirinya sebagai subjek dan alam sekadar objek eksploitasi yang mendatangkan keuntungan ekonomis. Tetapi, gambaran di atas cukup memberikan semacam rekam jejak dari sepak terjang manusia modern dan sistim yang dibangunnya dengan motif ekonomi menunjukan pola hubungan merusak (destruktif). Itu berarti usaha manusia dalam mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dalam rangka menaklukan alam, hampir dipastikan tidak dimaksudkan untuk memberikannya kebijaksaan dalam memperlakukan lingkungan. Karenanya, sudut pandang ini memberikan kita suatu pengetahuan yang esensial terkait motif dasar pengembangan iptek, yakni efektifitas keserakahan.

Sampai di sini, ada satu pertanyaan yang tidak perlu kita jawab; bukankah tindakan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa menghargai lingkungan dan kehidupan seluruh makluk di dalamnya telah tercermin jelas dari fakta kerusakan-kerusakan lingkungan serta dampaknya yang kompleks dan sangat mengerikan bagi kehidupan dan kelangsungan kehidupan, membuat kita belajar bahwa “kita, tidak lagi cukup hanya untuk bersimpati.”

Karena yang kita hadapi ini adalah pragmatisme pengelolaan lingkungan yang membawa bencana kemanusiaan secara sistimatis, maka dengarlah sesuatu yang dikatakan oleh “kitab hukum keseimbangan, pasal satu ayat satu”, yakni “hubungan manusia dan lingkungan bersifat harmonis dan saling membutuhkan.”

Camkan baik-baik dalam hati: Kita semua harus segera melakukan setuatu yang nyata. Sekarang!



Bersambung ke bagian 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar