3 dari 4 bagian
Oleh:
James Faot
“Perhatian yang
berat sebelah terhadap tata lingkungan dan norma lingkungan terjadi ketika
manusia hanya menempatkan kepentingannya, tetapi melupakan kepentingan bersama
seluruh unsur dalam alam.”
(Robert P. Borrong)
Pada bagian kedua tulisan ini, telah digambarkan sepintas
bahwa ketika eksistensi kami sebagai pemuda gereja dipertanyakan, disanksikan
dan digugat, lantaran kami justru berkontribusi dalam merusak lingkungan. Dari proses
otokritik itu, kami berupaya mengambil langkah proaktif untuk “keluar dari
‘lubang kubur’ yang kami gali sendiri” karena memperlakukan lingkungan tanpa
moral serta lahirnya penyesalan mendalam atas perbuatan tersebut. Kemudian,
sikap proaktif itu coba diekspresikan melalui apa yang kami sebut sebagai Green Valentine.
Pada bagian ketiga, saya ingin menyinggung tentang konsep
dan praktik manusia modern dalam mengembangkan Iptek yang sangat berorientasi pada kepentingannya,
khususnya kepentingan ekonomi. Orientasi demikian, telah berdampak pada
rusaknya lingkungan. Manusia dan sisitim yang dibangunnya itu adalah subjek
yang paling bertanggung jawab terhadap krisis ini. Karenanya, ia pula yang
harus memperbaikinya. Dari pembahasan singkat tersebut, saya coba mendaratkan
tawaran projek solidaritas penyelamatan lingkungan kepada kawan-kawan.
Kedangkalan Paradigmatik
Pandangan berat sebelah sekaligus kesalahan besar dalam pengkembangan Iptek, dalam
kaitannya dengan hubungan manusia dengan lingkungan adalah “manusia ditempatkan
lebih utama dan tinggi dari lingkungan.” Hubungan antroposentris tersebut
justru telah mendorong manusia menciptakan bencana tak berujung karena lingkungan
dilihat sekadar materi atau bernilai ekonomi.
Sebenarnya, tersedia kritik yang patut dilontarkan kepada
gereja, khususnya terkait perspektif teologis yang cenderung berorientasi pada
kepentingan manusia semata (antroposentris). Kritik tersebut penting karena ia
diajukan dalam kerangka mendorong peran dan tanggung jawab gereja dalam penyelamatan
lingkungan, terutama di era modern ini. Pun, kritik tersebut diajukan, maka ia hanya
bersifat garis besar dan benang merah untuk memberikan pemahaman
bahwa sejarah perkembangan teologi kristen sejak masa gereja mula-mula,
reformasi, hingga memasuki adab ke-19 dan ke-20, kurang memberikan perhatian serius
terhadap problem lingkungan, pada satu sisi, sekaligus menegaskan relevansi
kritik tersebut karena alasan: (1) antroposentirisme teologi pada masa
reformasi kuat mempengaruhi gereja di Indonesia dan membuatnya kurang consern terhadap
problem lingkungan; (2) perkembangan serta dominasi dualisme kaum gnostik dan
rasionalisme murni terhadap teologi gereja abad ke-19 dan ke-20, justru memberikan
legitimasi bagi proses eksploitasi dan itu telah mendorong pengrusakan lingkungan
sampai pada level yang belum pernah terjadi sebelumnya, pada sisi lainnya.
Oleh karena itu, kurang bijaksana, jika tawaran projek
solidaritas melalui tulisan kecil ini terlalu bernafsu melimpahkan seluruh
kritiknya terhadap gereja dan orentasi teologisnya. Sebab, dualisme pada masa
gereja mula-mula dan antroposentris pada masa reformasi, sebenarnya memilii
konteks khasnya sendiri--walaupun, keduanya kuat mempengaruhi ajaran dan
praktik gereja serta manusia modern dalam memperlakukan lingkungan. Dengan
demikian, kita langsung saja meloncat pada bagaimana manusia merefleksikan
hubungannya dengan lingkungan secara ekonomi.
Pragmatisme Pengelolaan
Lingkungan: Bencana Kemanusiaan
Jika “etika” membicarakan soal manusia seharusya berbuat
dan bertindak supaya tindakannya itu benar, baik dan tepat sebagai cerminan
kebaikan, kebenaran, keadilan dan kasih terhadap dirinya dan orang lain, maka “etika
ekonosentris” diartikan sebagai etika
yang dipusatkan pada kepentingan ekonomi atau kepentingan profit (untung). Ini
(etika ekonosentris) adalah jenis etika yang mengutamakan kepentingan ekonomi
dan keuntungan material tanpa penghargaan yang sepatutnya terhadap lingkungan.
Secara historis, perkembangan ekonomisentris berakar
dalam filsafat modern yang dari padanya membangun sistim kapitalis, di mana
modal (profit) merupakan tujuan. Karena modal menjadi tujuan akhirnya, maka sistim
ini (kapitalis) mengabdikan dirinya pada penciptaan profit secara terus-menerus
atau melipat-gandakan modal. Dan, untuk menciptakan akumulasi itu, maka
eksploitasi sumber daya alam sebagai sumber ekonomi dilakukan bahkan secara
membabi-buta.
Sekitr 2 tahun silam, walaupun sedikit
samar dalam dalam ingatan, banjir bah melanda Wasior, Teluk Wondama, Papua
Barat. Yah, Petaka Wasior! Menurut data Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB), tercatan, bencana ini memakan jumlah
korban tewas sebanyak 173 orang; korban hilang sebanyak 118; korban luka ringan
sebanyak 3.374 orang dan korban luka berat 26 orang. Sedangkan jumlah warga
pengungsi mencapai 5.158 orang.
Belum terhitung korban
materi bahkan sosial, tetapi yang pasti amukan alam melalui banjir bah di
Wasior adalah gambaran dari keserakahan manusia, khususnya oleh
perusahaan-perusahaan yang menghabisi hutan. Beberapa informasi di media massa
menjelaskan bahwa tragedi di bumi Wasior bersifat
sisitimatis. Pada 2001, Tanah Wasior pernah dilanda tragedi berdarah yang
berhubungan dengan nafsu merampok hutan. Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi), misalnya, menilai bahwa banjir di Wasior, memang diakibatkan oleh
kerusakan hutan di kawasan Kabupaten Teluk Wondama. Dimensinyalir telah ada
aktivitas penebangan hutan di daerah itu sejak 20 tahun silam. Ada catatan penting
bahwa pemerintah telah mengeluarkan ijin HPH pada tahun 1990 kepada PT WMT dan
PT DMP. Namun, karena warga menolak aktivitas penebangan hutan, maka berbagai
skenario kekerasan yang berujung pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
diciptakan; pembunuhan, penghilangan secara paksa, penyiksaan, dan
hilangnya harta benda serta pemaksaan untuk mengungsi yang menimbulkan kematian
dan penyakit. Selang 2002, aktivitas penebangan kembali dilakukan
relatif tanpa perlawanan rakyat. karena perusahaan-perusahaan sudah mampu
membayar ganti rugi kepada warga bahkan membangun kongsi dagang dari hulu
sampai hilir.
Sekali lagi, “tak sekoci untuk menyelamatkan diri kalau
planet ini tenggelam dalam kehancuran,” petaka Wasior adalah
bukti!
Perlu pula dihadirkan pengrusakan hutan serta lahan konsumstif dan produktif akibat praktek monopoli sumber daya (modal, bibit, tanah, air,
teknologi, pasar). Monopoli ini telah mendorong krisis pangan, hingga mengakibatkan ± 850.000
orang mengalami kelaparan dan kekurangan gizi. Bahkan 18.000 anak mati karena
kelaparan setiap harinya. Predikasi terakhir mengemukakan bahwa pada 2025,
sejumlah 1 miliar orang akan menderita dan mati kelaparan keserakahan ini.
Negara-negara kaya memindahkan lahan dan industri mereka
di negara-negara miskin. Mereka memahami dengan lebih baik bahwa untuk melipat-gandakan keuntungan melalui efisiensi kost (biaya) rehabilitasi lingkungan, maka industri akan menjadi mosnter perusak yang paling berbahaya, terutama
merusak tanah, udara, air dan ozon. Misalnya, industri pengembangan energi alternatif, pada satu sisi, dioperasikan untuk menghasilkan gandum dan
jarak sebagai bahan baku pembuatan bioenergi bagi mobil jenis baru, tetapi pada sisi
yang lain, para buruh dan yang dipekerjakan dengan bayaran murah serta rakyat
miskin di lingkar pabrik, justru dipaksa menikmati udara dan air yang
terkontaminasi polusi, sehingga menderita asma, ispa, eksim, bahkan sekarat dan
mati lapar atau penyakitan lantaran tak punya uang membeli makan dan membayar
ongkos kesehatan yang “harganya tergantung dilangit.”
Contoh lain yang dekat dengan keseharian kita, misalnya, rakyat yang menjual tenaganya pada “industri
telanjang kaki” di Kabupaten Kupang, TTS, TTU dan Belu. Mereka diberi
pengetahuan sedikit untuk mengenal batu berharga seperti Mangan, lalu didorong
untuk mengumpulkannya tanpa mempedulikan keselamatan dan kesejahteraannya.
Pasalnya, mayoritas kasus beroperasinya “industri telanjang kaki” senantiasa merenggut tanah, hutan dan air sebagai sumber penghidupan pokok, keselamatan
(kesehatan dan nyawa) serta tenaga (buruh murah). Bicara soal kesehatan dan keselamatan di lokasi eksploitasi mangan; jika seseorang melakukan
kontak dengan material ini, maka racun mangan bisa diserap tubuh dan jika
terlalu banyak akan merusak hati, iritasi, karsinogen dan kanker.
Saya tak bermaksud
mengerdilkan makna pengrusakan kompleks ini dengan memberikan daftar korban melalui angka-angka dan deskripsi kasuistik di atas. Tetapi dari situ, kita
dapat memahami skala ancaman yang serius mengancam kehidupan bersama karena
manusia meremehkan lingkungan.
Walaupun, kita tentu saja masih dapat menambah panjang daftar berisi bukti-bukti tentang perilaku manusia secara tidak bertanggung jawab karena menempatkan dirinya sebagai subjek dan alam sekadar objek eksploitasi yang mendatangkan keuntungan ekonomis. Tetapi, gambaran di atas cukup memberikan semacam rekam jejak dari sepak terjang manusia modern dan sistim yang dibangunnya dengan motif ekonomi menunjukan pola hubungan merusak (destruktif). Itu berarti usaha manusia dalam mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dalam rangka menaklukan alam, hampir dipastikan tidak dimaksudkan untuk memberikannya kebijaksaan dalam memperlakukan lingkungan. Karenanya, sudut pandang ini memberikan kita suatu pengetahuan yang esensial terkait motif dasar pengembangan iptek, yakni efektifitas keserakahan.
Walaupun, kita tentu saja masih dapat menambah panjang daftar berisi bukti-bukti tentang perilaku manusia secara tidak bertanggung jawab karena menempatkan dirinya sebagai subjek dan alam sekadar objek eksploitasi yang mendatangkan keuntungan ekonomis. Tetapi, gambaran di atas cukup memberikan semacam rekam jejak dari sepak terjang manusia modern dan sistim yang dibangunnya dengan motif ekonomi menunjukan pola hubungan merusak (destruktif). Itu berarti usaha manusia dalam mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dalam rangka menaklukan alam, hampir dipastikan tidak dimaksudkan untuk memberikannya kebijaksaan dalam memperlakukan lingkungan. Karenanya, sudut pandang ini memberikan kita suatu pengetahuan yang esensial terkait motif dasar pengembangan iptek, yakni efektifitas keserakahan.
Sampai di sini, ada satu pertanyaan yang tidak perlu kita jawab; bukankah tindakan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa
menghargai lingkungan dan kehidupan seluruh makluk di dalamnya telah tercermin
jelas dari fakta kerusakan-kerusakan lingkungan serta dampaknya yang kompleks
dan sangat mengerikan bagi kehidupan dan kelangsungan kehidupan, membuat kita
belajar bahwa “kita, tidak lagi cukup hanya untuk bersimpati.”
Karena yang kita hadapi ini adalah pragmatisme
pengelolaan lingkungan yang membawa bencana kemanusiaan secara sistimatis, maka dengarlah
sesuatu yang dikatakan oleh “kitab hukum keseimbangan, pasal satu ayat satu”,
yakni “hubungan manusia dan lingkungan bersifat harmonis dan saling membutuhkan.”
Camkan baik-baik dalam hati: Kita semua harus segera melakukan setuatu yang nyata. Sekarang!
Bersambung ke bagian 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar