Minggu, 07 April 2013

Peran Pemuda Dalam Membangun Dunia Pendidikan[1]



Oleh: James L. Ch. Faot, S.Pd[2]

 “Kaum muda Indonesia hari ini, memilikul tanggung jawab sejaharahnya. Bukan hanya untuk mengenyam pendidikan demi mencerdaskan diri, tetapi bertanggung jawab untuk mencipta media dan alat-alat pendidikan demi mencerdaskan seluruh tumpah darahnya”

Pengantar


Kaum muda Indonesia adalah para pelopor pembangunan dunia pendidikan Indonesia. Didasari oleh kondisi terjajah dan menderita di tangan kolonialisme, mereka menyelenggrakan sekolah-sekolah, demi mencerdaskan diri dengan mengenyam serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Indonesia yang telah merdeka itu, diharapkan mampu mengisi pembangunan kemerdekaanya menuju masyarakat adil dan makmur.
Kaum muda, para pelopor pendidikan Indonesia, mampu mengenal secara esensial apa itu pendidikan, yakni memediasi manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan kebijaksaan demi mencapai kemaslahatan bersama.
Inilah torehan sejarah berdarah dan sarat nilai, peran pemuda Indonesia dalan kanca historisnya adalah mengambil posisi pelopor dalam mentrasformasi budayanya melalui penciptaan media serta alat-alat perjuangannya melalui pendidikan yang revolusioner, dan bukan yang lain.    

Mereka adalah Pencipta Sejarah

Dari politik etis kolonial, tumbuh gerakan perlawanan dan perebutan kemerdekaan Indonesia melalui dunia pendidikan.
Pada 1908 Budi Utomo, menggagas Studiofont (beasiswa) untuk membantu para pelajar Jawa yang kurang mampu. Pada 1921 Tan Malaka S.I. School (Sarekat Islam) untuk membantu kaum miskin memperoleh pendidikan.
Mohamad Syafei mendirikan Indonesia Nederlanse School (INS) di Sumatra Barat pada 1926; Ki Hajar Dewantara Nationaal Ondewijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Tinggi taman Siswa) pada 1922; serta Kyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi agama Islam pada 1912 di Yokyakarta, yang kemudian berkembang menjadi pendidikan Muhammadiyah.
Romo Mangun Wijaya mendirikan Sekolah Dasar Mangunan di Yokyakarta; Burhanudin mendirikan Qaryah Tarbiyah; Butet Manurung, mendirikan Sekolah Anak Rimba di Jambi; Dick Doang, mendirikan Kandang Jurang Doang di Jakarta, dan masih banyak aksi kepeloporan yang dilakukan oleh kaum muda diberbgai-bagai tempat.

Memahat Sejarah Kita

Lalu, apa intinya semua catatan di atas?
Tentu saja, itu merupakan contoh nyata/konkrit dari banyak dimensi melaksanakan peran kaum muda dalam membangun duania pendidikan. Jika, kita sama-sama menyadari bahwa  pendidikan kita sedang berada di bawah dominasi neoliberalisme; suatu sistim ekonomi/politik/budaya, yang pada dasarnya diabdikan bagi akumulasi modal/kapital, maka kita pula menyadari bahwa banyak rakyat tidak memiliki harapan untuk menjadi cerdas apalagi mampu mencapai kondisi kehidupan yang makmur. Sebab, tidak ada kecerdasan dan kemakmuran di bawah eksploitasi.
Geliat komersialisasi pendidikan merendahkan mutu asupan kecerdasan rakyat Indonesia. Kecil harapan untuk bangkit menjadi manusia yang memiliki kebajikan dalam sistim persekolahan yang hanya bisa menghisap dengan banyak tipuan privilagenya.
Karena itu, harus ada inisiatif untuk mengambil kepeloporan, melanjutkan tanggung jawab sejarah dan mewariskan sejarah serta tanggung jawab yang baru untuk generasi ke depan, dengan tantangangannya sendiri.     
Pilihannya ada pada kita. Mengambil keputusan untuk mencipta sesuatu bagi tujuan-tujuan pendidikan atau membiarkan diri dibentuk skenario sejarah yang mereproduksi mental ketertindasan.
Ingat, bacaan sejarah menjelaskan ini pada kita sekalian…”masa kita [sekarang] adalah memahat sejarah kita sendiri, yang seharusnya berujung pada terbangunnya masyarakat yang adil dan makmur!

***



[1] Disampaikan pada diskusi Pemuda Mahasiswa Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, di Aula STIM Kupang, pada 30 Maret 2013. 
[2] Politisi; Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Partai Kebangkitan Bangsa Kota Kupang.

Rabu, 28 November 2012

“SEMANGAT KEPEMUDAAN DAN PROBLEM RIIL BANGSA” (Bagian I)

Oleh: James L.Ch. Faot, S.Pd


“Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda”
(Bung Karno, 28 Oktober 1963)


PENGANTAR

Sumpah Pemuda 1928 berjiwa revolusioner. Ia ibarat anak yang lahir dari rahim sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam melepaskan diri dari cengkraman kolonialisme. Akan tetapi, dalam perjalannya, jiwa revolusionernya justru hampir pupus karena kuatnya hegemoni imperalisme. Rakyat Indonesia mengalami proses reproduksi kesadaran; amputasi fakta dan diorientasi nilai-nilai Sumpah Pemuda. Ia menjadi sekedar serimoni belaka. Dalam kurun waktu yang lama, maka itu cukup untuk membangun 1 bahkan 2 generasi baru dengan kesadaran semu yang benar-benar tidak memiliki bekas kepalsuan. Generasi dengan kasadaran lazim yang a-historis dan a-politis serta taken for granted.
Yang kita harus lakukan adalah mengenali kembali dan mengembalikan sisi revolusioner Sumpah Pemuda untuk melawan dominasi imperialisme. Setidaknya, kaum muda harus memahami apa yang disebut konteks revolusioner dan substansi revolusioner Sumpah Pemuda. Dengan pemahan ini, kita dapat mengidentifikasi secara tepat apa problem riil atau tepatnya problem pokok Indonesia dan dari sana pula kita memberikan resolusi-resolusi perjuangan menuju dicita-cita revolusi Indonesia, yakni menuju masyarakat adil dan makmur. Inilah panggilan dan tugas sejarah penuntasan revolusi Indonesia, yang diemban pemuda Indonesia masa kini.

SUMPAH PEMUDA 1928: PLATFROM PERJUANGAN REVOLUSIONER

“Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”


Terkait dengan judul yang diminta oleh panitia untuk saya bawakan dalam seminar kali ini, sebenarnya, terdapat satu hal mendasar hal yang ingin diketengahkan dalam makalah ini, yakni mengenali kembali sisi revolusioner Sumpah Pemuda. Menurut saya, aspek penting ini telah dihilangkan secara sistimatis dalam berbagai refleksi rakyat terkait momentum bersejarah ini. Saya memberikan penekanan khas terkait sisi revolusioner ini, yakni: pertama, adalah konteks revolusioner; dan kedua adalah substansi revolusioner dari Sumpah Pemuda itu sendiri.
Namun, dengan rendah hati, saya menyampaikan maaf kepada panitia, karena dalam makalah ini, saya hanya akan membahas tentang konteks revolusionernya saja. Tentu saja, ini karena alasan teknis mengenai media dan waktu yang sangat terbatas. Saya berpikir bahwa dengan hanya mengetengahkan satu bagian ini pun, kita dapat  mendorong diskusi menjadi lebih mendalam, lebih kaya, sebelum masuk pada bangian yang satunya lagi, yakni substansi revolusioner.

Hegemoni di Tengah Menguatnya Gerakan Anti-Neokolonialisme

Sejak rezim Soehato berkuasa, rekam fakta sejarah dan nilai-nilai revolusioner yang memungkinkan momentum penyatuan gerakan progresif pemuda Indonesia dalam melawan kolonialisme dan neo-kolonialisme serta penuntasan revolusi Indonesia di hapus secara total seraya hanya memperbolehkan satu versi; versi kekuasaan yang represif, versi resmi yang penuh kebohongan dan kekeliruan.[1]    
Situasi di atas menunjukan kepada kita bahwa selain cara dominasi, imperialisme mempertahankan status quo-nya dengan secara hegemonik. Hegemoni adalah strategi reproduksi kesadaran quasi, menggunanakan nilai-nilai moral dan persuasif, agar si tertindas menerima ketertindasannya dan bersikap loyal terhadap si penindas. Penguasaan alat-alat kebudayaan adalah syarat penting suatu proses hegemonik berhasil dengan baik.
Jika, 3-4 dasawarsa lalu, api revolusionernya berusaha dipadamkan, maka itu adalah jawaban penting dari pertanyaan apa problem riil bangsa kita hari ini. Dominasi Neoliberalisme (dan dampak buruknya bagi kehidupan bangsa kita, termasuk keinginan menginterupsi suatu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila). Namun, semua ini coba ditutupi dengan sangat rapi.
Karenaya, dapam pembahasan tentang konteks revolusioner Sumpah Pemuda ini, saya ingin merekonstruksikan kembali fakta-fakta sejarah perjuangan pemuda yang mengedepankan sifat revolusionernya. Sebab, peran rezim Soehato bahkan rezim boneka neoliberal seperti rezim SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) cenderung diarahkan pada penghapusan memori perjuangan revolusioner terkait refleksi sejarah Sumpah Pemuda itu sendiri. Sekali lagi, semua itu bertujuan untuk membangun kesadaran generasi muda yang a-historis dan a-politis dan taken for granted.

Mengenali dan Mengembalikan Konteks Revolusioner

Penting untuk memahami konteks revolusioner Sumpah Pemuda, terutama dalam kerangka memperoleh gambaran objektif dari sejarah perjuangan revolusioner pemuda Indonesai. Dari situ, kita dapat menarik relevansinya bagi perjuangan pemuda saat ini. Sebab, dalam membahas konteks revolusioner, sebenarnya tersedia rujukan untuk menganalis perkembangan geopolitik dan geostrategis saat ini, yang mana praktek kolonial dulu dan neoliberal kini harus/tetap ditempatkan sebagai strategi imperialisme dalam menacapkan dominasinya (akan saya bahas pada bagian kedua makalah ini, tentang; Substansi revolusioner Sumpah Pemuda). 
Umar Said, Jurnalis senior kesohor asal Indonesia,[2] memberikan analisis konteks historis yang progresif terhadap Sumpah Pemuda. Menurut Said, “Sumpah Pemuda 1928 berjiwa revolusioner karena menurut sejarahnya, dicetuskan dalam suasana pergolakan perjuangan melawan kolonialisme/imperialisme Belanda.”[3]
Untuk memahami konteks revolusioner Sumpah Pemuda, maka kita tidak boleh melepaskannya proses dialektika sejarah perjuangan pemuda, baik masa sebelum dan sesudahnya. Sebab, Sumpah Pemuda adalah inspirasi yang tumbuh dari perjuangan-perjuangan revelusioner sebelumnya, terutama pada tahun 1905-1920, 1925, 1926 dan 1927 dan sumber inspirasi bagi perjuangan-perjuangan revolusioner setelahnya, yang bermuara pada proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Karenanya, pemahaman konteks revolusioner hanya dapat dijelaskan dengan mengenali situasi objektif dari perjuangan pemuda di masa-masa tersebut.  
Sebelum Sumpah pemuda dikrarkan pada 1928, ada beberapa momentum sejarah yang amat penting, di mana momentum-momentu itu merupakan bangian integral dari sejarah perjuangan pemuda.
Kita memahami bahwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 berlangsung dalam Kongres Pemuda Indonesia Ke-II di Indonesische Clubgebouw,[4] Ia pada dasarnya adalah hasil keputusan kongres Ke-I pada tahun 1926.[5] Dari sini, kita memiliki rujukan untuk menelusuri konteks revolusioner Sumpah Pemuda.
Menurut Sejahrawan Sartono Kartodiharjo, yang menjadi latar belakang munculnya pergerakan pemuda, berawal dari kesadaran akan penderitaan rakyat selama tiga abad di bawah kaki Belanda. Kondisi ini mendorong munculnya kaum terpelajar, hingga pada abad ke-20 di Indonesia mengalami keadaan yang disebut Zaman Kemajuan. Disebut demikian, karena segala bidang yang ada mulai maju, terutama dalam bidang pendidikan.[6]
Memasuki abad ke-20, perjuangan rakyat ditandai dengan lahirnya kesadaran berorganisasi dan melakukan aksi-aksi perjuangan yang lebih maju dan terorganisasikan mulai dari pemogokan sampai perjuangan rakyat bersenjata. Momentum ini telah dipandang sebagai bukti kebangkitan semangat nasionalisme, terutama di kalangan pemuda dan pelajar serta bangkitnya kekuatan klas buruh teroganisasi di pabrik-pabrik Belanda, sejak 1905-1920.[7] Kebangkitan ini dicirikan dengan adanya syarat penting dalam sebuah perjuangan, yakni pemuda kala itu telah memiliki alat perjuangan independent yang berorientasi politis dan kritis melawan kolonialisme.[8]
Pada sisi lain, kebangkitan berbagai gerakan progresif anti-kolonial itu, telah turut mempengaruhi cara pandang pemuda nusantara dalam berjuang. Tumbuh lagi alat-alat perjuangan pemuda dalam bentuk organisasi-organisasi, yang walaupun masih bersifat etno-nasionalisme (Jong Java (1915), Jong Sumatra Bond (1917), Jong Ambon, Jong Celebes, dll), namun semuanya bertolak dari satu motivasi dasar yakni melawan kolonialisme Belanda.  
Pada 1925, di tanah Nederland, para pemuda Indonesia membentuk Perhimpunan Indonesia (PI).[9] Salah satu pemimpinnya adalah Moh Hatta.[10] Mereka membaca secara baik kelemahan perjuangan pemuda yang bersifat etno-nasionalisme itu. PI bahkan mendeklarasikan Manifesto Politik 1925,[11] yang bertujuan untuk “mengarahkan gerakan-gerakan etno-nasionalisme menjadi gerakan ke arah Indonesia merdeka.”[12]
Dalam pembahasan tentang Manifsto tersebut, Sejahrawan Sartono Kartokartodirjo, berpendapat bahwa konsep “kesatuan” merupakan usaha mentransendensi etnisitas dan regionalisme menjadi suatu kesatuan aksi melawan kolonialisme Belanda. Karenanya, melalui media perjuangan (majalah) Indonesia Merdeka, PI bermaksud mengilhami dan mendorong agar kalangan pemimpin pemuda terutama di Jawa, untuk semakin bersatu dan menghapuskan label kesukuan pada organisasi mereka.[13]
Inspirasi dari semangat dan prinsip perjuangan (unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan)) PI tahun 1925, telah mendorong pemuda menggalang konsolidasi strategis. Pada 1926, dilakukan Kongres Pemuda Ke-I. Tujuan kongres adalah untuk menanamkan semangat kerja sama antar perkumpulan pemuda untuk menjadi dasar persatuan Indonesia dalam arti yang lebih luas. Namun, usaha menggalang persatuan dan kesatuan itu belum terwujud, karena rasa kedaerahan masih kuat, misalnya masih a lot perdebatan mengenai Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.[14] Karena itu, sidang merekomendasikan dilakukan kongres Pemuda Ke-II, yang kemudian dilaksanakan pada 27-28 Oktober 1928 dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda.
Akan tetapi, para pelajar di Jakarta dan Bandung melihat adanya dua kepentingan yang bertentangan dalam penjajahan, yang mereka sebut sebagai antithesis kolonial yang sangat merugikan pihak Indonesia. Antithesis ini akan dihapus apabila penjajahan sudah lenyap. Untuk itu, maka para pelajar dari berbagai daerah pada bulan September 1926 mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) di Jakarta. PPPI memperjuangkan Indonesia merdeka.
Peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap kolonialisme Belanda pada 1926 juga tidak dapat di kesempingkan sebagai bagian penting dalam mentukan signfikansi Sumpah Pemuda. Menurut Umar Said, “Sumpah Pemuda dilangsungkan dalam tahun 1928 ketika suasana di kalangan berbagai gerakan anti penjajahan Belanda, terutama di kalangan angkatan mudanya, terpengaruh oleh akibat atau dampak pembrontakan PKI tahun 1926 melawan kolonialisme Belanda…”[15]
Ketika pemberontakan PKI pada 1926 itu gagal, maka Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927. Sebagaimana dikemukan Umar Said, bahwa Soekarno menyebutnya sebagai kelanjutan dari perjuangan revolusioner melawan kolonialisme dan imperialisme. Setahun setelah pendirian PNI, yang telah turut mendorong terealisasinya rekomendasi pelaksanaan Kongres Pemuda Ke-II dan menghasilkan Sumpah Pemuda pada 1928, maka pada 1929 pihak Belanda menangkap dan memenjarakan Soekarno karena mengangap PNI sebagai bagian dari gerakan revolusioner.[16]
Gambaran situasi objektif pergerakan pemuda, pelajar dan klas buruh Indonesia ini menjelaskan kepada kita bahwa sebenarnya Sumpah Pemuda adalah bagian integral sekaligus kelanjutan yang berdimensi maju menuju kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Ini menegaskan juga bahwa Sumpah Pemuda tahun 1928 adalah sumber atau cikal-bakal lahirnya pedoman-pedoman besar bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Dan karenanya bisa juga dikatakan bahwa Sumpah Pemuda berorientasi kiri dan revolusioner.
Selanjutnya, Sumpah Pemuda menjadi inpirasi dalam perjuangan pemuda menuju kemerdekaan. Para pemuda itu merasa, sekalipun mereka berasal dari beragam pulau, suku, agama, dan aliran politik, namun ada hal yang mempersatukan mereka: kesamaan nasib. Mereka sama-sama ditindas ratusan tahun oleh kolonialisme. Karena itu, mereka pun membayangkan sebuah komunitas bersama yang merdeka, dimana rakyat di dalamnya bisa hidup adil dan makmur. Dari pembahasan konteksnya, Umar Said, menyebut Sumpah Pemuda sebagai “platfrom pluralis yang revolusioner.”

Penutup

Inilah yang dimaksudkan dengan konteks revolusioner dari sumpah pemuda, yakni ialah lahir dari konteks sejarah perjuangan yang anti-kolonialisme/imperialisme. Jiwa dan praktik perjuangannya bersifat patriotik dan revolusioner serta terfokus pada musuh pokok yakni kolonialisme/imperialisme. Dan bukannya berseteru di antara sesama saudara, dan seturusnya. Singkatnya, mempelajari konteks revolusioner Sumpah Pemuda, maka kita mempelajari tentang jiwa revolusoner dalam perjuangan pemuda Indonesia yang mengalami titik kematangannya, terutama dalam pengenalan musuh pokok dan kawan pokok dalam perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.

Bersmbung ke bagian 2…



[1] Max Lane. Mencari Indonesia Babak Ketiga. 2011, hal. 1. http://indoprogress.com. Diakses pada: November 2011.  
[2] Informasi tentang  A. Umar Said, bisa kunjungi personal web-nya: http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/
[3] A. Umar Said. Kembalikan Jiwa Revolusioner Sumpah Pemuda; 2009, hal. 1. http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/Kembalikan%20jiwa%20revolusioner%20Sumpah%20Pemuda.htm. Diakes pada: Jumat, 25 Oktober 2012.
[4] Rudi Hartono. Sejarah Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda; 2011, hal. 1. http://www.berdikarionline.com/lipsus/menuju-kongres-pemuda-pergerakan/20110520/sejarah-kongres-pemuda-dan-sumpah-pemuda.html. Diakes pada: Jumat, 28 Oktober 2011.
[5] Ibid.
[6] Sebagai contoh, didirikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum wanita yang bernama Hoofdenschool, kemudian Sekolah Dokter Jawa (STOVIA). Lihat Fazar S.K. Fathah,  Pergerakan Pemuda Indonesia Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda,
[7] Bisa di baca dalam Perjalanan Perjuangan Pemuda Indonesia. Misalnya, Organisasi Buruh Kereta Api Staats Spoorwegen (SS) Bond (1905); VSTP (Vereniging van Spoor–en Tram Personeel) (1908); Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB) di Yogyakarta (1916);  Persatuan Guru keluaran Kweekschool/Sekolah Guru (1917) di Yogyakarta; Perhimpunan Kaum Buruh dan Tani (PKBT) (1918);  Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) (1919); Perserikatan Guru Bantu (PGB) di Solo, Personeel Fabrieks Bond (PFB) di Yogyakarta, dan Kaum Buruh Pekerjaan Umum Mendirikan VIPBOW di Mojokerto (1920).
[8] Ibid. Kebangkitan ini dilatarbelangi oleh pertemuan kamu pemuda terpelajar dengan berbagai teori-teori dari negeri-negeri Barat, terutama tentang perjuangan rakyat di berbagai negeri untuk mendapatkan kemerdekaannya seperti Revolusi Prancis ataupun tentang Revolusi Industri, Teori-Teori Marxis dan juga situasi tentang perkembangan internasional seperti revolusi besar Oktober 1917 di Rusia. Hal ini telah memberikan inspirasi tersendiri bagi mereka untuk menuangkan ide-ide akan perubahan dalam kenyataan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia di bawah penindasan kaum kolonial Belanda.
[9] Pada awal berdirinya PI berawal dari didirikannya Indische Vereniging pada tahun 1908 di Belanda, organisasi ini bersifat moderat. Sebagai perkumpulan social mahasiswa Indonesia di Belanda untuk memperbincangkan masalah dan persoalan tanah air. Ibid, Fazar….hal. 3.
[10] Selain Moh. Hatta, unsur pimpinan PI lainnya adalah  JB Sitanala, Iwa Kusuma Sumantri, Sastromulyono, dan D. Mangunkusumo. Lihat: Krisno Winarno. Manifesto Politik 1925 dan Sumpah Pemuda.2011, hal. 2.
[11] Ibid. Manifesto Politik 1925 berisi prinsip perjuangan, yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan). Ia memiliki 4 (empat) pokok perjuangan, yakni: Persatuan Nasional mengesampingkan perbedaan dan membentuk aksi melawan Belanda serta menciptakan Negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu. Solidaritas yang disebabkan adanya pertentang kepentingan di antara penjajah dan terjajah serta tajamnya konflik diantara kulit putih dan sawo matang. Non-Kooperasi yaitu kemerdekaan bukan Hadiah Belanda, tetapi harus direbut dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Swadaya mengandalkan kekuatan sendiri dengan mengembangkan struktur alternative dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum yang sejajar dengan administrasi kolonial. Selengkapnya bisa dibaca di alamat ini: http://nadyarama.wordpress.com/2012/04/11/peran-manifesto-politik-tahun-1925-dalam-proses-pembentukan-identitas-kebangsaan-indonesia/. Diakes pada: Jumat, 25 Oktober 2012.
[12] Ibid.
[13] Ibid. Karena tuduhan penghasutan untuk pemberontakan terhadap Belanda, maka tahun 1927 tokoh-tokoh PI diantaranya M. Hatta, Nasir Pamuncak, Abdul Majid Djojonegoro dan Ali Sastroamidjojo ditangkap dan diadili. Selengkapanya bisa di baca dalam tulisan: Fazar S.K. Fathah,  Pergerakan Pemuda Indonesia Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda,
[14] Op.Cit, Rudi Hartono. Tabrani Soerjowitjitro, salah satu tokoh penting dari kongres pertama, peserta kongres pertama sudah bersepakat menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan. Akan tetapi, pada saat itu, Tabrani mengaku tidak setuju dengan gagsan Yamin tentang penggunaan bahasa melayu. Menurut Tabrani, kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu, walaupun unsur-unsurnya Melayu.
[15] Op.Cit. Umar said…
[16] Ingat pleidoi Soekarno di depan pengadilan kolonial yang berjudul Indonesia Menggugat.


Makalah disampaikan dalam acara Seminar Sehari dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dengan tema: “Peran Generasi Muda Dalam Menghayati Nilai-nilai Sumpah Pemuda.” Diselenggarakan Oleh Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang St. Fransiskus Xaverius, di Hotel Rhomyta, pada: Selasa, 30 Oktober 2012. 

Aktivis Politik dari Dewan Pengurus Cabang Partai Kebangkitan Bangsa - Kota Kupang (DPC PKB – Kota Kupang) dan Koordinator Umum di Jaringan Advokasi Kesehatan (JAK).