Kamis, 10 Mei 2012

Pendidikan Indonesia: Wadah Pertarungan Ideologi (bagian I)


            Oleh: James Faot, dkk.





Pengantar

I
ntelektual pendidikan kritis Indonesia, Mansour Fakih (dalam O’neil, 2001), pernah mengemukakan bahwa para praktisi pendidikan, buruh, petani maupun rakyat, [dan atau mahasiswa] banyak yang tidak sadar bahwa ia tengah terlibat dalam suatu pergumulan politik dan ideologi melalui arena pendidikan. Menurutnya, umumnya orang memahami pendidikan sebagai suatu kegiatan mulai yang selalu mengandung kebijakan dan senantiasa berwatak netral. Fakih menjelaskan bahwa dunia pendidikan terkejut, ketika asumsi di atas mendapatkan kritik mendasar dari Paulo Freire dan Ivan Illich, yang menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini hampir dianggap sakral, penuh kebijakan tersebut ternyata mengandung juga penindasan.  

Media Sosialisasi: Subordinasi Kekuasaan
U
ntuk memahami tesis di atas, kita membutuhkan suatu perangkat teoritik yang handal, di mana pendekatannya mampu memperlakukan realistas alam dan masyarakat sebagai totalitas yang bersifat saling berkaitan, dialektis, serta dapat dijelaskan kerena berlandaskan dasar material konkret yang terjadi dalam masyarakat. Sebab, pendidikan merupakan proses historis. Sebagai proses historis, ia sangat ditentukan oleh perkembangan masyarakat, terutama perkembangan material-ekonominya. Dengan kata lain, hanya dengan cara pandang menyeluruh, dialektis dan didasarkan pada bukti-bukti material, barulah kita memiliki pemahaman yang objektif¾bukan subjektif¾terhadap persolan pendidikan di atas.

Menjawab kebutuhan ini, maka dipilih perangkat teoritik Materialisme Dialektika Historis (MDH),  dari filsuf, sejarawan dan ekonom termasyur, Kalr Marx. Karenanya, pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan yang dipengaruhi oleh pandangan Marxisme, terutama dalam memahami realitas pendidikan.  

Menurut Soyomukti (2010), Marx menempatkan pendidikan pada wilayah struktur atas (superstruktur) yang disangga oleh (ditentukan) oleh ekonomi (hubungan produksi dan alat-alat produksi) sebagai struktur bawah (basis struktur) yang merupakan fondasi perkembangan masyarakat. Dikarenakan pendidikan juga merupakan proses yang mana filsafat, ide(ologi), agama dan seni diajarkan.

Mengacu pada pandangan Marx, maka pendidikan  (sebagaimana pula agama, media massa, politik-ideologi) merupakan media sosialisasi pandangan hidup atau nilai-nilai pihak penguasa. Dengan tujuan,  memastikan adanya legitimasi serta loyalitas masyarakat terhadap sistim dan struktur kekuasaan. Fungsi demikian, menegaskan bahwa pendidikan terintegrasi dengan politik sebagai superstruktur, sekaligus ia sendiri bersifat politis, bukan a politik.

Contoh konkrit pendidikan sebagai media sosialisasi nilai penguasa yang selalu bersifat politis, nampak pada kebijakan-kebijakan (pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya, dll.), yang hakekatnya adalah produk politik. Karenaya, dunia pendidikan adalah wilayah pertarungan kepentingan. Sebagai demikian, maka pendidikan merepresentasi kepentingan kelas berkuasa. Dan ini berarti, pendidikan merupakan subordinasi kekuasaan.

Jadi, jelas bagi kita bahwa pendidikan adalah wilayah  historis, tidak netral, tidak bebas kepentingan dan tidak selalu bertujuan mulai/sakral, tetapi ia adalah wadah pertarungan politik-ideologi¾untuk mengakomodasi kepentingan kelas penguasa.

Ideologi-Ideologi Pendidikan

S
ecara etimologis ideologi berasal dari dua suku kata, yakni “ideos” yang berarti ide atau konsep dan “logos” yang berarti ilmu. Demikian maka ideologi diartikan ilmu yang mempelajari ide manusia, atau ilmu tentang ide-ide (Rohman, 2009). Sedangkan, menurut Sargent (dalam O’neil, 2001), secara terminologis, ideologi diartikan sebagai”

…sistim nilai atau keyakinan yang diterima suatu kelompok masyarakat. Ia tersusun dari serangkaian sikap terhadap lembanga serta proses masyarakat. Ia menyediakan sebuah potret dunia sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya dunia itu bagi mereka yang meyakininya. Dan, dengan melakukan itu, ia mengorganisir kerumitan atau kompleksitas yang besar di dunia menjadi sesuatu yang cukup sederhana dan bisa dipahami […].
 
Ideologi memiliki fungsi praktis yakni bagaimana memandu perilaku pengikutnya untuk bertindak dan mencapai tujuan-tujuan yang mereka yakini. Dengan kata lain, ideologi merupakan suatu pola gagasan-gagasan yang berfungsi sebagai pengarah perilaku atau diniatkan terutama untuk mengarahkan tindakan sosial, dan bukan sekadar menjernihkan ataupun menata pengetahuan. Pada sisi lainnya, ideologi juga dipandang sebagai sebab sekaligus akibat dari perubahan sosial yang mendasar (O’neil, 2001).

Dalam pembahasan ini, ideologi-ideologi pendidikan yang dibahas mengikuti pemetaan ideologi pendidikan menurut Henry Goroux dan Aronowitz (1985, dalam Fakih, 2001). Mereka membagi ideologi pendidikan menjadi 3 (tiga) aliran, yakni: konservatif, liberal, dan kritis.    


Konservatif

Menurut Fakih, dkk. (2000), ideologi konservatif memandang bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan hukum keharusan alami. Ketidaksederajatan ini adalah suatu hal yang mustahil dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah. Perubahan sosial bagi penganut paham ini bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia bertambah sengsara saja.

Salah satu keyakinan klasik dari kelompok ini ialah mereka berkeyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak dapat merencanakan perubahan atau paling tidak mempengaruhi perubahan sosial (Rohman, 2009). Itulah mengapa secara intrinsik kaum konservatif  memandang sikap pasif/vatalis terhadap takdir merupakan cara paling benar dalam menunggu perubahan¾karena perubahan akan jatuh dari langit? 
 
Menurut Fakih, dkk. (2000), dalam perkembangannya kaum konservatif menyalahkan subjeknya. Kaum ini memandang bahwa masyarakat yang menderita, orang miskin, buta huruf, tertindas, dll., menjadi demikian kesalahan mereka sendiri. Mereka menuduh bahwa kondisi demikian merupakan akibat logis yang ditimbul karena kurang berusaha. Mengapa demikian, karena basis kesadaran kaum konservatik bersifat “mejikal,” sehingga mereka cenderung mengabsoludkan faktor transenden sebagi penentu keberhasilan dan ketidakberhasilan (Faot, 2011).

Dengan demikian, kaum konservatif tidak mengaggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi, melainkan menerima (Rohman, 2009). Bagi kaum ini, tujuan pendidikan ialah menjaga terpeliharanya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik dan kontradiksi. Implikasinya, kaum konservatik bersikap anti-intelektual, otoritarian, pro status quo (O’neil, 2002) dan memperlakukan pendidikan sebagai a politik (Fakih, dkk., 2000). 

Liberal
Sedikit berbeda dengan kaum konservatif, kaum liberal berkeyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat, tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi (Fakih, dkk., 2000). Bagi kaum ini, tugas pendidikan juga tidak ada hubungannya dengan persoalan politik dan ekonomi.

Namun, pada sisi lain, inkonsistensi paradigmatik ini nampak pada kaum liberal. Sebab, mereka selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan melalui usaha reformasi struktural, termasuk dalam pendidikan.

Kaum ini sering berbicara misalnya, untuk meningkatkan mutu pendidikan, sekolah harus memiliki guru professional, sarana pendidikan yang mutahkir (komputerisasi, internetisasi, loboratorium, dll.). Pembelajran harus berlangsung dengan metodologi yang mendorong efektifitas dan efisiensi hasil belajar, dll.

Akar dari pendidikan ini adalah liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita -cita Barat tentang individualisme.
Salah satu pengaruh yang paling buruk dari pengaruh liberalisme dalam pendidikan individualis yakni adanya angapan bahwa manusia adalah atomistik dan otonom. Menempatkan individu secara atomistik, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil (Soyomukti, 2010).

Dengan demikian, maka kaum liberal dan konservatif sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah a-politik dan excellence haruslah merupakan target utama penyelenggaraan pendidikan.

Kritis

Kaum kritis memahami bahwa pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Kaum ini menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada. Bagi kaum kritis, penindasan kelas dan diskriminasi dalam mayarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan.

Dalam paradigma kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Oleh karena itu, tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistim dan sruktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistim sosial yang lebih adil.

Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap obyektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistim dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistim sosial baru dan lebih adil. Singkatnya, bagi kaum kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial.

Pendidikan Indonesia: Siklus Pertarungan Ideologis

P
roblem pokok pendidikan Indonesia ialah sepanjang perkembangan sejarahnya, ia relatif tidak pernah terbebas dari cengkraman kapitalisme global (Faot, 2010). Frasa “relatif” di sini mengacu pada pengertian bahwa pada fase tertentu dalam sejarah Indonesia, baik pada masa politik etis terjadi pertarungan ideologis antara kaum muda Indonesia dari kalangan priyai terpelajar dengan penjajah Belanda, dan terutama di era Bung Karno, diupayakan penyelenggaraan pendidikan Indonesia yang menjadikan ideologi Pancasila sebagai ideologi pemandu pembangunan bangsa, sekaligus anti-tesa terhadap ideologi liberalisme-kapitalisme.


Kolonial (1900-1930)


Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia pada masa kolonial (akhir abad 20), bukan merupakan wujud keprihatinan dan kebaikan hati kolonial untuk memajukan pengetahuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia  (Sparague, 2010). Pendidikan kala itu merupakan paket agenda politik etis kolonial dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja terdidik dan terampil agar mampu mengelola industri-industri Belanda (Oktovianus, 2009). Jadi, pendidikan kolonial merupakan skenario penciptaan basis dasar industrialisasi, seiring dengan perkembangan kapitalisme dan perubahan geopolitik ekonomi global. Singkatnya, “pendidikan era kolonialisme adalah ekspresi ekonomi kapitalis” (Sparague, 2010).

Dari politik etis kolonial, tumbuh gerakan perlawanan dan perebutan kemerdekaan Indonesia yang dimotori oleh kaum Nasionalis, Marxis, dan Islam. Menurut Mike Tyas (2011), pada 1908 Budi Utomo, menggagas Studiofont (beasiswa) untuk membantu para pelajar Jawa yang kurang mampu. Pada 1921 Tan Malaka S.I. School (Sarekat Islam) untuk membantu kaum miskin memperoleh pendidikan. Demikian pula, Mohamad Syafei mendirikan Indonesia Nederlanse School (INS) di Sumatra Barat pada 1926; Ki Hajar Dewantara Nationaal Ondewijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Tinggi taman Siswa) pada 1922; serta Kyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi agama islam pada 1912 di Yokyakarta, yang kemudian berkembang menjadi pendidikan muhammadiyah.
Walaupun, terdapat perbedaan aliran politik, namun konteks perjuangan melalui pendidikan Indonesia di masa kolonial, memiliki cara pandang yang sama terhadap pendidikan dan tujuannya, yakni pendidikan sebagai alat perjuangan merebut kemerdekaan. Ketiga aliran politik ini (nasionalis, agamais dan marxisme), kemudian disintesa oleh Bung Karno dan dijadikan sebagai ideologi bangsa Indonesia, yakni Pancasila (Hartono, 2010).    

Orla (1945-1965)

Pada masa Orde Lama (Orla), pendidikan di bawah kekuasaan Soekarno. Ini merupakan satu faset kekuasaan, yang mana ideologi dan politik pemerintahan memiliki kedaulatannya (Faot, 2011). Moh Yamin (2009), konsep pendidikan Soekarno berasaskan sosialisme menjadi tajuk dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk, dijalankan dan dilakoni sedemikian rupa demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia yang akan datang. Konsep pendidikan sosialisme memiliki prinsip dasar egalitarian, yakni pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial apapun serta  memberikan penghargaan setinggi-tingginya terhadap derajat yang sama di depan hukum dan kemanusiaan, sehingga tidak membeda-bedakan faktor suku, ras dan agama. Melalui pendidikan, pemerintah berupaya membangun semangat anti-kolonialisme dan neokolonialisme serta nation and character building.
Orba  (1966-1998)

Di era Orde Baru (Orba) dominasi liberalisme jauh lebih konkret. Pasca kudeta Presiden Seokarno oleh Soeharto yang didalangi Cenral Intelligence Agency (CIA), model pembangunan Indonesia di bawah doktrin “Pembangunanisme” jelas merepresentasi kepentingan kapitalisme. Secara politis, pembangunanisme adalah proyek neo-kolonialisme oleh kapitalisme terhadap negara-negara Dunia Ketiga (Fauzi Rahman, 2010). Ini adalah ideologi teknokratik yang menekankan nilai-nilai efisiensi, efektifitas, harmoni, dan konsensus sebagai prasyarat penting dalam pembangunan ekonomi serta terwujudnya stabilitas politik (Rohman, 2009). Itulah mengapa, Soeharto berupaya membangun bangsa ini melalui dana hutang luar negeri dan liberalisasi ekonomi serta kontrol militer (otoriter). Sebagaimana dikemukakan Oktovianus (2009), dalam artikelnya, Akumulasi Kapital dan Human Capital, bahwa hasil kebijakan pendidikan Orba, dari sisi penambahan human capital menunjukkan “pola piramida,” di mana tenaga kerja terbanyak memiliki tinggkat pendidikan SD ke bawah, lalu diikuti dengan SMP dan SMA dan yang paling sedikit ialah tenaga kerja dengan tingkat pendidikan tinggi seperti Diploma dan Sarjana. Kerenaya, kebijakan pendidikan Orba merepresentasi kepentingan politik ekonomi kapitalis dalam rangka menciptakan basis tenaga kerja murah guna menopang, terutama kebutuhan industri manufaktur dan infrastruktur yang dibiayai dengan hutang.

Reformasi (1998-Sekarang)

Era ini adalah era yang paling terbuka, di mana kekuatan ideologi dominan liberal-kapitalis mendeterminasi kebijakan pendidikan Indonesia. Hal ini nampak jelas pada produk-produk kebijakan itu sendiri. Penandatangan hutang luar negeri oleh Presiden Habibie dengan IMF, yang salah satu syaratnya ialah liberalisasi dan privatisasi pendidikan, dapat dikatakan sebagai babak baru dominasi serta hegemoni neo-liberalisme terhadap dunia pendidikan Indonesia. Pasalnya, pasca penandatangan ini, kebijakan-kebijakan pendidikan yang dinilai kontroversial dirumuskan dan diimplementasi.

Menurut Tilaar (2010), Trend Korporatisasi Pendididik  di Indonesia, antara lain: Badan Hukum Milik Negara (BHMN); UU RI No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025; Sekolah Bertaraf Internasional; Word Class University; PP No. 22 Tahun 2007 Mengenai penanaman Modal Asing; Vokasionalisasi Pendidikan Tinggi; Manajemen Berbasis Sekolah (MBS); Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dan terakhir, RUU PT, yang pada salah satu pasalnya (pasal 90) memberikan izin penyelenggaraan PT Asing. Sejumlah kalangan yang menolak RUU PT, menilai pemerintah berupaya mendorong liberalisasi dan meng-komersialisasi PT (Agus Mulyadi, http://kompas.com/16/10/11).

Berdasarkan testimony, Eva Kusumandari, politisi dari PDIP, bahwa 76 produk UU yang draftnya disusun oleh pihak asing, seperti Bank Dunia, IMF dan USAID, telah berlangsung selama 12 tahun era reformasi. Dua diantaranya yang terkait langsung dengan pendidikan ialah UU Pendidikan Nasional No.20 tahun  2003 dan UU Penanaman Modal No.25 tahun 2007. (Darmayana, 2010). 

***

Daftar Pustaka

Darmayana, Hiski. 2010. Imperialisme Dibalik Undang-Undang. http://berdikari.online.com.
Faot, James. 2011. Mengurai Benang Kusut Kebijakan Pembangunan Pendidikan di NTT.  Makalah, diseminarkan di Kampus Unwira Kupang, pada 22 Oktober 2011.

     2011. Problem Pokok Pendidikan Indonesia (Makalah, tidak dipublikasi).

     2011. Kajian Akademik Kurikulum Sanggar Anak Rakyat. Serikat Rakyat Miskin Kota Kupang.

Fakih, Mansour, Dkk. 2000. Pendidikan Populer. Yokyakarta: Insist.

Hartono, Rudi. 2010. Bung Karno dan Konsep Persatuannya. http://berdikari.online.com/10/11/10.

Mulyadi, Agus. 2011. Perguruan Tinggi Asing Bisa Berdiri di Indonesia. http:// kompas.com/16 10/2011.

O’neil, F. William. 2002. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.

Oktovianus,  Dominggus. 2009. Akumulasi Kapital dan Human Capital, http://arahkiri.blogspot.com.

Rahman, N, Fauzi. 2010. Penjaga Malam Yang Takluk pada Mekanisme Pasar. Indoprogress.com.

Rohman, Arif. 2009. Politik Ideologi Pendidikan. Yokyakarta: Laksbang.

Soyomukti, Nurani. 2010.  Teori-Teori Pendidikan (Tradisonal, Neoliberal, Marxis-Sosialis, Postmodern). AR-RUZZ-MEDIA.

Sparague, Ted. 2010. Sejarah Perkembangan Kapitalisme Indonesia. http://indopregress.com.

Tilaar, H.A.R. 2009. Kekuasaan dan Pendidikan (Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan). Jakarta: Rineka Cipta.

Tyas, Wike. 2011. Refleksi Historis Pendidikan Indonesia,” dalam Safa, dkk., “Restorasi Pendidikan Indonesia” (Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya). Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.

Yamin, Moh. 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia (Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara). Yogyakarta: AR-ARUZZ MEDIA.


***

Mengurai Benang Kusut Kebijakan Pembangunan Pendidikan di NTT


Oleh: James Faot






Pengantar



Suatu ciri khas rezim neoliberal adalah bahwa sistim harus dirancang untuk mempersiapkan jalan mulus akumulasi kapital. Karena, sektor pendidikan tidak terpisahkan sektor lainnya, maka kebijakan rezim akan diupayakan sedemikian rupa agar sistim-sistim ini menjadi koheren dan sinergis, sehingga memastikan adanya dukungan maksimum untuk menyelenggarakan negara berdasarkan selera atau tepatnya kepentingan mereka. Ini mengartikan bahwa kita telah kehilangan kedaulataan untuk mengurus diri sendiri.



Kebijakan Pendidikan: Milik Siapa yang Berkuasa



Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik. Ia bersangkut paut dengan kepentingan manusia untuk mencerdaskan diri serta membangun harkat dan martabatnya. Karenaya, pendidikan merupakan wahana pengembangan potensi semua manusia.

Namun, “pendidikan bukanlah wilayah yang terpisah dari perkembangn ekonomi dan politik yang ada”[i] dalam masyarakat.  Hal ini nampak jelas berlaku dalam konteks perumusan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik, yang selalu terkait dengan proses perumusan dan implementasi keputusan politik. Oleh karena itu, dalam perumusan kebijakan, tidak terhindarkan pertarungan kepentingan. Dengan perkataan lain, pertarungan politik dan ideologi memang berlangsung melalui arena pendidikan.[ii] Sehingga, seperti apa sebuah kebijakan pendidikan dihasilkan, selalu mencerminkan pandangan ideologis pihak yang berkuasa.

Inilah mengapa ketika Indonesia jatuh dalam cengkraman neoliberal, kebijakan publik¾termasuk kebijakan pendidikan¾sangat mewakili kepentingan kapitalis sebagai kelas dominan.


I.    Indonesia Kehilangan Kedaulatan Mengurus Pendidikan


1.      Orba: Pendidikan alat kekuasan melindungi kepentingan modal

Pasca reformasi politik 1998, diikuti dengan tuntutan untuk mereformasi sistim pendidikan nasional semakin menguat. Krisis multidimensi Indonesia mengandaikan merosotnya kepercayaan terhadap sistem budaya, sosial, politik serta sistem pendidikan yang lama. Sebab, sistem-sistem tersebut tidak lagi mampu mencerna masalah dan mengakomodasi aspirasi dan tuntutan kontekstual yang baru. [iii]

Krisis ini tentu bukan tanpa sebab, tentu saja ia memiliki proses historis, terutam tentang bagaimana rezim Orba di bawah pimpinan Soeharto memadukan doktrin-doktrin ideologi “Pembangunanisme” dan doktrin “Dwifungsi ABRI.”[iv]

“Pembangunanisme” adalah ideologi teknokratik yang yang menekankan nilai-nilai efisiensi, efektifitas, harmoni, dan konsensus sebagai prasyarat penting dalam pembangunan ekonomi serta terwujudnya stabilitas politik. Secara lebih lugas, “Pembangunanisme” atau Developmentalism merupakan suatu proyek investasi pasa-perang dunia kedua terhadap negara-negara “dunia ketiga” yang berkembang dalam dekolonialisasi dan perang dingin (cold war). Sedangkan, “Dwifungsi ABRI” adalah suatu doktrin yang membenarkan sekaligus mengesahkan peran militer dalam urusan-urusan non-militer.

Di masa Orba, hubungan negara dan pendidikan bersifat timpang, yang menyebabkan dependensial pendidikan terhadap negara. Bahkan, tragisnya hubungan bersifat eksploitatif dari negara terhadap pendidikan. Karenanya, pendidikan dijadikan sebagai alat kepentingan kekuasaan negara, terutama dalam mengamankan kepentingan modal asing[v] dan praktek kroni ekonomi Soeharto.

Gambaran konkritnya ialah pembangunanisme merupakan pintu masuk ekspansi modal internasional dalam bentuk hutang luar negeri  yang menghasilkan booming pada sektor industri, terutama sektor manufaktur dan infrastruktur.[vi] Cara bagaimana kapitalisme memperoleh basis tenaga kerja murah selalu dikendalikan melalui hutang. Kebijakan anggaran pendidikan Orba hanya berkisar 8%.[vii] Minimnya alokasi anggaran, merupakan akibat langsung dari tekanan hutang, dimana negara harus memprioritaskan dan mengalokasikan lebih besar APBN untuk pembayaran hutang luar negeri serta minimnya penguasan negara atas sumber-sumber produksi vital, misalnya migas. Terbatasnya lembaga pendidikan negeri terutama (SMP dan SMA) serta rendahnya kualitas pelayanan pendidikan merupakan proses logis dan penciptaan basis tenaga kerja murah di Indonesia. Namun, pada sisi, lain Orba berupaya membangun indikator palsu (pencitraan) keberhasilan pembangunan melalui bidang pendidikan dengan penentuan kelulusan [cenderung] 100%.[viii] Cara lain mempersiapkan tenaga kerja terdidik namun murah, terlihat dalam penerapan konsep “Ling and Match” dan D1, D2, D3.[ix]

Sementara, doktrin Dwifungsi ABRI memberikan mereka ruang politik yang terlampau kuat untuk melegalkan praktek otoritarianisme, terutama untuk membendung kelompok kiri dan pertumbuhan kesadaran kritis rakyat terhadap rezim. Ini adalah pola lazim ketika kapitalisme mengendalikan militer.

Dengan demikian, kebijakan pendidikan di masa Orba tentu harus kita tolak. Alasannya telah dikemukakan di atas. Namun, apabila kita mencermati kebijakan-kebijakan pendidikan pasca reformasi 1998, nampak bahwa cengkraman kapitalisme dalam muncul dengan wajah baru, massif dan komrehensif. Hal ini tentunya terletak pada karakteristik kekuasaan yang berlangsung di sebuah negara; Orba militeristik dan otoriter dan Reformasi yang sipil dan demokratis.

2.      Reformasi: Paradigma Baru Pendidikan atau Neoliberalisme  Pendidikan?

Perubahan rezim otoritarianisme ke rezim sipil, mengusung suatu konsep politik yang kita kenal sebagai “demokrasi.” Bahwa Indonesia pasca Orba adalah negara demokrasi. Isu politik ini sedemikian kuat mempengaruhi dunia bangsa ini, sehingga pemerintah, politikus, akademisi, para intelektual pendidikan, akitivis NGO, aktifis mahasiswa bahkan masyarakat umumnya.  Demokrasi merupakan diskursus rakyat Indonesia.

Sampai-sampai dalam wacana reformasi pendidikan, alternatif pembangunan pendidikan di Indonesia, mengusung demokrasi sebagai tuntutan yang pertama. Anwar Arivin, misalnya, dalam tulisan berjudul Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS, mengemukakan bahwa beberapa konsep mendasar perubahan paradigma pendidikan dalam UU No. 20/2033 tentang Sisdiknas; Pertama, Demokrasi dan Desentralisasi Pendidikan (Otonomi Daerah); kedua, Peran Serta Masyarakat; ketiga, Tantangan Globalisasi; keempat, Kesetaraan dan Keseimbangan, kelima, Jalur pendidikan.[x]

H.A.R Tilaar dalam bukumya Kekuasaan dan Pendidikan (Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan), pada bagian pengantar, ia mengemukakan bahwa “…Pendidikan tidak terlepas dari kancah pemupukan kekuasaan dalam politik praktis. Cetakan I buku ini dipicu oleh percaturan kekuasaan di dalam DPR pada waktu itu dalam penyusunan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim pendidikan Nasional.”[xi]

Jika, kita sedikit menoleh pada kebelang (± mendekati tiga dekade), pada rezim Orba, maka kita mendapati bahwa “Paradigma Baru Pendidikan” merupakan rangkaian proyek liberalisasi pendidikan Indonesia, yang dilaksanakan pada tahap III (1996-205) proyek liberalisasi ini dituangkan jelas dalam Program Jangka Panjang Pendidikan Tinggi tahun 1975-2010.[xii] Sementara itu, ketika B.J Habibie menggantikan Seoharto sebagai persisden RI, ia  telah menandatangani Surat Perjanjian Hutang (Leters of Intens) dengan IMF, yang dalam salah satu pasalnya¾sebagai syarat pemberian hutang¾menegaskan supaya pemerintah Indonesia meliberalisasi sektor pendidikannya.[xiii]

Tentu, kita memahami bahwa kapitalisme tidak ingin kehilangan kendali atas sektor pendidikan Indonesia, sehingga pasca lengsernya Soeharto, mereka mengikat presiden baru, yakni B.J. Habibie untuk melanjutkan proyek ini.  

Pasca penandatangan hutang oleh Habibie, kebijakan-kebijakan pendidikan yang dinilai kontroversial dirumuskan dan diimplementasi. Menurut Tilaar, “Trend Korporatisasi Pendididik”  di Indonesia, antara lain: Badan Hukum Milik Negara (BHMN); UU RI No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025; Sekolah Bertaraf Internasional; Word Class University; PP No. 22 Tahun 2007 Mengenai penanaman Modal Asing; Vokasionalisasi Pendidikan Tinggi; Manajemen Berbasis Sekolah (MBS); Badan Hukum Pendidikan (BHP).[xiv]

Bisa dikatakan bahwa dari beberapa kebijakan di atas, UU BHP adalah produk kebijakan yang paling mendapatkan perlawanan sebagaian besar rakyat Indonesia dan akhirnya ditolak  Mahkamah Konstitusi karena di pandang bertentangan Jiwa UUD 1945 . Namun, pemerintah kembali mengajukan RUU PT, yang pada salah satu pasalnya (pasal 90) memberikan izin penyelenggaraan PT Asing. Sejumlah kalangan yang menolak RUU PT, menilai pemerintah berupaya mendorong liberalisasi dan mengkomersialisasi PT.[xv]
Menyedihkan, apabila alternatif pembangunan pendidikan, justru terbajak oleh kepentingan neoliberal. Neoliberalisme awalnya adalah teori tentang praktek ekonomi politik yang meyakini bahwa kesejahteraan umat manusia dapat ditingkatkan sebaik mungkin dengan membebaskan kemerdekaan berusaha dan keahlian individu dalam kerangka institusional yang bercirikan hak milik pribadi yang kuat, pasar bebas, dan perdagangan bebas. Peran negara adalah menciptakan dan melindungi kerangka institusional yang tepat untuk praktek tersebut.[xvi] Sedangkan, pada rezim neolib, seperti Indonesia hari ni, basis sosial neoliberal¾basis utama penopang rejim ini tidak berubah ialah militer, polisi, birokrasi, kapitalis lokal dan kelas menengah.[xvii]

Menurut Priyono,[xviii] dalam perkembangannya, neoliberalisme menjadi proyek pengaturan ulang hubungan manusia dan masyarakat. Artinya, penerimaan akan neoliberalisme menuntut pengaturan ulang bidang-bidang kegiatan politik, hukum, budaya, hubungan kerja, dan sebagainya. Termasuk di dalamnya, pendidikan, kesehatan, dan prasarana publik lainnya. Itulah mengapa agenda neoliberal menuntut agar bidang-bidang publik, seperti kesehatan dan pendidikan ditata ulang dengan langkah privitisasi. Jadi, privatisasi merupakan sarana dan tujuan neoliberal. 

Kondisi ini tercipta karena dimungkinkan oleh sistim politik Indonesia yang bersifat oligarkhis. Terbukti bahwa kontrol kekuasaan dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi hanya berada di tangan segelintir elit politik. Mereka memgang peranan ganda, yakni sebagai pemimpin partai politik besar dan pemimpin terdepan dalam kehidupan bisnis dan perdagangan.[xix]

Sistim yang demikian mempermudah kapitalisme melakukan kolaborasi dengan para elite politik guna merumuskan-kebijakan pendidikan yang berwatak neoliberalisme. Sebagai bukti, pernyataan Eva Kusumandari, politisi dari PDIP, bahwa adanya 76 produk  undang-undang yang draftnya disusun oleh pihak asing, yakni (Bank Dunia, IMF dan USAID).  Dan ini telah berlangsung selama 12 tahun era reformasi. Puluhan undang-undang tersebut merupakan regulasi yang meliputi berbagai macam sektor, seperti perbankan, pendidikan, energi, kesehatan serta politik.[xx] Beberapa undang-undang yang disinyalir merupakan pesanan pihak asing ialah UU Sumber Daya Air No.7 tahun 2004, UU Kelistrikan No.20 tahun 2002, UU Pendidikan Nasional No.20 tahun  2003, UU Migas No.22 tahun 2001, UU BUMN No.19 tahun 2003, UU Penanaman Modal No.25 tahun 2007 serta UU Pemilu No.10 tahun 2008. Tentu saja bahwa semua produk undang-undang yang diback-up oleh pihak asing tersebut sangat kental bernuansa liberalisasi.

Dengan demikian, neoliberalisme berupaya menggunakan/mengendalikan kekuatan  politik oligarkhi, untuk  memuluskan usaya mengusai sektor-sektor publik sebagai milik privit dalam rangka melipat-gandakan kekutungan. Propaganda semagat demokratisasi adalah sesuatu yang palsu (pseudo democracy. Namun, kepalsuan (pencitraan) adalah senjata efektif untuk menarik simpatik rakyat. Inilah ciri khas rezim neolib dalam pemerintahan sipil. Sementara, elit politk begitu sukses merebut kekuasaan, untuk mengembangkan struktur baru hubungan yang bersifat tergantung, hubungan kolonial. 

James Petras, memberikan penjelasan bahwa “di bawah pemerintahan sipil, kebijakan neoliberal diterapkan secara terselubung dan dipaksakan melalui mandat pemilu palsu. Legitimasi palsu (pseudo-legitimacy) dari rejim neoliberal menyandarkan dirinya pada asumsi palsu bahwa pemerintah ‘dipilih secara bebas.’ Tetapi politikus hasil pemilu hanya merupakan wakil sebuah posisi yang dipertahankan di depan umum.”[xxi]



3.      Kebijakan Pendidikan NTT: Menjalankan Kebijakan yang Kusut!

Pembahasan pada bagian-bagian sebelumya cukup menunjukkan bahwa persolan kebijakan pendidikan dan kebijakan publik lainnya takluk di bawah dominasi neoliberalisme. Untuk itu, bagian ini juga disinggung beberapa aspek kebijakan pemerintah daerah NTT, yang memang mengikuti selera neoliberalisme, termasuk kebijakan pendidikan daerah. Sehingga, apa yang dijalankan merupakan kebijakan-kebijakan yang memang kusut.

Implementasi desentralisasi pendidikan berimplikasi pada menurunnya anggaran pendidikan daerah, sebab ia dibebankan pula untuk membiayai penyelenggaraan pendidikannya. Banyak yang berpandangan bahwa desentralisasi merupakan tuntutan logis dari tuntutan reformasi politik 1998, di mana ada ketidakpuasan yang luas terhadap sentaralisme dan otoritarianisme Orba.

Pandangan ini, sah-sah saja karena demikian adanya. Akan tetapi, harus juga dipikirkan bahwa kebijakan otonomi daerah lahir sejalan dengan upaya modal internasional untuk menaklukan kembali kekuatan politik oligarkhi.  Rekomendasi Komite Reformasi Pendidikan (KRP) dari revisi UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), yang dinilai sangat sentralistik, kemudian menghasilkan regulasi baru sebagai hasil reformasi yakni UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dan, diperkuat dengan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut UU No. 22/1999, pendidikan termasuk salah satu bidang pemerintahan yang didesentralisasikan.

Yang menarik ialah rekomendasi ini bersamaan dengan kebijakan Otonomi Kampus melalui PP No. 60 yang mencakup perubahan administrasi institusi PT, yakni pembentukan PT sebagai badan Hukum (PT. Badan Hukum Milik Nagara/PT-BHMN).

Wajar apabila, kritik dilontarkan oleh masyarakat. Darmaningtyas,[xxii] misalnya mempertanyakan sumber pembiayaan daerah (terutama daerah miskin),[xxiii] ketidakjelasan jenis otonomi dan perhelatan kekuasaan antara pusat dan daerah. Selain itu, dalam konteks kepentingan kapital, otonomi diperlukan sebagai bentuk memimalisir keuangan negara (APBN) untuk membangun wilayah-wilayah negara dan kebutuhan publik. Serta, mempermudah akses untuk mengeksploitasi sumber daya alam di daerah-daerah. Ini adalah bentuk penaklukan teritorial ekonomi a la imperialisme.[xxiv]

Beberapa persoalan kebijakan pendidikan di NTT  ialah lahirnya kebijakan-kebijakan reaksioner, pragmatis dan cenderung bias dari substansi persoalan pendidikan. Beberapa diantaranya; 1) Siaga UN pada 2011 sebagai respons pemerintah rendahnya hasil UN 2010 di mana NTT menempati posisi juru kunci, 33 dari 33 provinsi. Kurang lebih dana yang digelontorkan sebesar 801 miliar, untuk merealisasikan program ini sekaligus program peningkatan kualitas pendidikan lainnya.[xxv]  2) Gong Belajar, dengan sasaran sekolah yang hasil Ujian Nasional (UN) tahun ajaran 2010/2011 rendah. Ini salah kaprah! Justru yang perlu dilakukan pemerintah adalah meningkatkan mutu pemebelajaran di sekolah-sekolah (infastruktur, guru, sumber belajar, dll), dan bukannya mengarahkan siswa pada tuntutan UN, yang prakmatis, dan tentu saja merupakan bagain dari paket agenda neoliberalisme dalam dunia pendidikan.

Pemerintah seharusnya merumuskan kebijakan strategis untuk menyelesaikan persoalan pendidikan yang lebih mendasar karena terkait secara langsung dengan berbagai aspek dasar/vital dari kehidupan masyarakat. Misalnya, pada 2009, Dinas P&K NTT, melaporkan bahwa terdapat 40.000 anak NTT yang putus sekolah; [xxvi] 36.533 anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah;[xxvii] 23.103 anak di bawah umur berstatus pekerja anak; 12.012 pengangguran terbuka dan 29.135 setengah pegangguran dari kalangan PT; serta berbagai problem seperti kemiskinan, rawan pangan, kelaparan, sanitasi, penyakit, TKI, dan rupa-rupa problem sosial ekonomi lainnya.

Pemerintah dapat saja, mengartikulasikan kekuasaan politik dalam kerangka otonomi, dengan mengubah paradigma dan haluan politiknya dan mewujutkannya, sebagai perwujudan tindakan politik; dari neoliberal menuju paradigma kerakyatan yang berdaulatan, mandiri dan berkepribadian Inidonesia. Namun,  dalam kondisi mentalistas rezim-rezim lokal yang “doyan berburu rente,” baik dari pemerintah pusat dan modal asing, nampaknya tawaran ideologis  sangat tidak mungkin.

Lihat saja, bagaiman pemerintah bertindak: kebijakan obral murah sumber daya alam di sektor ekstrasi atau re-jagungnisasi NTT bersandar pada bibit unggul/benih-benih steril yang dihasilkan perusahaan-perusahaan asing. Contoh ini, memberikan gambaran bahwa pemerintah membuat kebijakan ekonomi yang sangat kontra produktif. Sebab, selain pengerukan kekayaan ke luar negeri, ketergantungan pasar, NTT juga gagal mempersiapkan basis pertanian yang memadai, karena hancur dan hilangnya lahan-lahan pertaniannya akaibat penghancuran ekologis. Bagaimana pendidikan kita akan terbagun? 



II.       Belajar dari Politik Pendidikan Bung Karno



Sebuah kebijakan tidak serta merta bijaksana! Kita memerlukan kebijakan yang bijaksana, sehingga kebijakan tersebut dapat menjadi panduan yang membantu kita menyelesaikan persoalan-persolan krusial bangsa. Singkatnya kita butuh “benang baru: benang politik ideologi pengganti neoliberalisme.”

Kebijakan pendidikan pada era Seokarno menunjukkan artikulasi kekuasaan (politik dan indeologi) yang konsisten dan memiliki daya integrasi terhadap perubahan zaman. Dapat dikatakann bahwa amanat UUD 45, adalah perwujudan politik ideologi asali Indonesia. Hal ini, tentu sudah jelas dalam amanah UUD 45, bahwa: a) pendidikan merupakan wahana mencerdaskan kehidupan bangsa, dan; b) pendidikan adalah hak seluruh rakyat.

Amanah ini sama sekali bukan bersifat personal, melainkan kolektif.
Oleh karena itu, pendidikan harus menjadi wahana pencerdasan seluruh rakayat agar mereka menjadi suatu kolektifitas manusia Indonesia yang mampu membangun bangsa ini secara bersama. Negara bertanggung jawab agar memastikan bahwa setiap rakyat Indonesia memperoleh ekses atas haknya secara setara.

Apabila, diskriminasi atau negasi terhadap kesempatan dan hak atas pendidikan itu terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan Indonesia, maka pertaruhannya ialah tujuan kolektif: “terancam ambruk” Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat dan berkepribadian, berkeadilan, sejahtera serta cita-cita luhur lainnya yang ingin diwujudkan seiring perjalan/pembangunan bangsa ini.   Jadi, penyelenggaraan pendidikan Indonesia ibarat “motor” dan nilai-nilai sosialisme Indonesia ibarat “bahan bakar” yang membawa kolektifitas rakyat Indonesia menuju pada penuntasan revolusi.

Untuk mendukung penyelenggraan pendidikan Indonesia agar sampai pada tujuan pencerdasan, maka negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat!

Saya, pikir semangat kedaulatan ini harus dibangkitkan kembali, terutama bagi kita generasi muda. Bagian ini menawarkan “Benang Baru” alias platfrom alternatif: Gerakan Pasal 33: Kembalikan Bumi, Air, dan Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya untuk Kemakmuran Rakyat!

***


Catatan akhir:



[i] Nurani Soyomukti, 2010, Teori-Teori Pendidikan (Tradisonal, Neoliberal, Marxis-Sosialis, Postmodern), AR-RUZZ-MEDIA, hal. 358.  
[ii] Mansur Fakih, Ideologi dalam Pendidikan (Sebuah Pengantar), dalam buku “Ideologi-Ideologi Pendidikan” karangan William F. O’neil (YokyakartA, Pustaka Pelajar), 2002, hal. x.
[iii] Makmuri Sukarno dalam Refleksi Atas Beberapa Isu Kebijakan Pendidikan (Jakarta, Pusat Penelitian Kependudukan-LIPI), 2007, hal. 2.
[iv] Arif Rohman, Politik Ideologi Pendidikan, Laksbang Yokyakarta, 2009. Hal. 177-189.
[v] Di sektor Migas, dari 137 perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, hanya 20 perusahaan dalam negari. Inipun, hanya merupakan partner junior dan atau milik pertamina dari sumur-sumur tua yang ditinggalkan Belanda. Disektor perbankan nasional, mayoritas juga dikuasai asing. Termasuk bank-bank yang menikmati subsidi dari negara yaitu bank-bank pemegang obligasi rekapitulasi perbankan yang totalnya mencapai Rp. 430 triliun. Menurut Kwik Kian Gie, bunga yang harus dibayar dengan APBN akan menghabiskan Rp. 600 triliun. Sektor otomotif, kapitalis asing mendominasi melalui kapitalis dalam negeri yang diberikan hak agena/lisensi. Sedangkan, menurut Kwik Kian Gie, asing mencuri hasil laut, pasir dan kayu Indonesia senilai UU$ 9 milyar. Materi Pendidikan Dasar PAPERNAS.
[vi] Dominggus Oktovianus, Akumulasi Kapital dan Human Capital, http://arahkiri.blogspot.com
[vii] Litbang LMND, Neoliberalisme Dunia pendidikan: Otonomi kampus dan Sekolah, hal. 2.    
[viii] Moh. Yamin dalam “Menggugat Pendidikan Indonesia” (Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara), Yokyakarta, AR-RUZZMEDIA, 2009, hal. 94.
[ix] Litbang LMND, Op.Cit.
[x] Prof. Doktor Anwar Arifin dalam Makalah Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS, POKSI VI FPG DPR RI, 2003, http://wahyucp.blogspot.com/2008/08.
[xi] Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan (Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan), Rineka Cipta, jakarta, 2009, hal. vii.
[xii] Program Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 1975-2010. http:liemhar.blogspot.com.
[xiii] Ibid.
[xiv] Prof. Dr. H.A.R. Tilaar…Op.Cit. hal. 40-45.
[xv] Agus Mulyadi, Perguruan Tinggi Asing Bisa Berdiri di Indonesia, Minggu, http:// kompas.com/16 10/2011. hal 1.
[xvi] David Harvey,  Kata Pengantar "A Brief History of Neoliberalism," http://nefos.org,  h.2.
[xviii] B. Herry Priyono, Sesat Neoliberalisme. Dimuat dalam Kompas, 28 Mei 2009, h. 6.
[xx] Iperialisme Undang-Undang, http:berdikari.online.com.
[xxii] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Liks-Yokyakarta, hal. 161.
[xxiii] NTT Misalnya, mendapat tambahan dana untuk mendukung percepatan pembangunan pendidikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan Tahun 2011 senilai Rp 324.494.356.000. “NTT Dapat Tambahan Dana Rp 324 M.” http://www.timorexpress.com/index.php/09/07/2011
NTT juga memperoleh bantuan dana Bansos dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas). Anggaran ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rehabilitasi gedung sekolah. Besar bantuan kepada 20 sekolah/lembaga pendidikan tersebut bervariasi antara Rp 15 juta sampai Rp 25 juta. “Total Bantuan Rp 415 juta: 20 Sekolah Di NTT Dapat Bansos. http://www.timorexpress.com/index.php/13/10/2011.
Contoh ini merupakan fakta bahwa otonomi daerah merupakan bentuk liberalisasi birokrasi yang dipaksakan dengan tujuan meminimalisir tanggung jawab negara dalam membangun wilayah-wilayahnya. Minimalisasini, dalam agenda neoliberalisme, pada hakekatnya ialah upaya untuk memprioritaskan APBN guna pembayaran hutang luar negeri. Inilah mengapa, ketidakmampuan NTT membiayai berbagai kebutuhan pembangunannya, termasuk dunia pendidikan, turut mempengaruhi mutu pendidikannya.
[xxiv] Anto Sangaji, Relevansi Teori Imperialisme, http://indoprogres.com/27/12/2010. Hal. 5
[xxv] Frans Lebu Raya menyebutkan bahwa dari total 71.192 guru di NTT (40.598 guru PNS dan 30.594 guru non PNS), hanya 18.460 (25,91 %) guru mencapai gelar S1? D4, selebihnya adalah D3 kebawah atau sebanyak 52.732 guru belum S1/D4. Terbanyak guru yang tersebar di NTT masih berkualisifikasi pendidikan SMA sebanyak 31.953 orang. Menurutnya, Dari total jumlah guru di NTT itu, yang sudah mengikuti program sertifikasi guru sejak 2006 hingga 2010 baru mencapai 8.351 guru (10,59%). Ini artinya, sebanyak 88,27 % guru di NTT bbelum mengikuti  program sertifikasi, dan dari 19.108 guru yang berkualifikasi S1/S2/S3, sebanyak 56,30 % belum memiliki sertifikasi pendidikan. Guru terbanyak yang sudah lulus sertifikasi  ada di Kabupaten Kupang (1.429 orang) dan Kota Kupang (1.079 orang). http://nttprov.go.id/provntt/index.php?option=com_frontpage&Itemid=1.

[xxvi] 40 Ribu Siswa di NTT Putus Sekolah, http:// vivanews.com/17/04/2009.

[xxvii] Rinciannya, laki-laki 15.333 dan perempuan sebanyak 7.770 anak. Mereka dipaksa bekerja karena masalah ekonomi keluarga. Sedangkan, untuk ukuran nasional, masih terdapat 232 ribu anak yang belum bersekolah. http://temporaktif.com. Lembaga Perlindungan Anak menyebutkan bahwa di NTT jumlah pekerja anak di bawah umur per Mei 2010 mencapai 23.103 orang. Rinciannya laki-laki 15.333 anak  dan perempuan sebanyak 7.770 anak. Dari jumlah tersebut terdapat 13.369 anak terlantar, gelandangan 195.000 anak, dan sebagai pekerja seks sebanyak 1.335 anak. Dari aspek pendidikan sebanyak 18,91 persen anak tak pernah sekolah, 40,45 persen belum tamat sekolah dasar (SD), 39,29 persen tidak tamat SMP dan 1,35 persen tamat SMP. Sementara data BPS tahun 2009 menyebutkan, sekitar 80 persen penduduk NTT hanya lulus SD dan SMP. Itu menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah di NTT masih sangat rendah. http://ntt.online.com/5/062010.