Minggu, 02 September 2012

“Penyelamatan Lingkugan Pesisir Kali” (Sebuah Tawaran SOLIDARITAS kepada Pemuda Benyamin Oebufu)

2 dari 4 bagian
Oleh: James Faot
[Pemuda & Koordinator Rayon 1 – Jemaat Benyamin Oebufu]


“Manusia, betapapun hebatnya, akhirnya tidak berdaya menghadapi lingkungannya tanpa moral.”
(Robert P. Borrong)

Lingkungan, nasibmu kini…di antara kompleksitas atau sengaja dilupakan?

Dari mana memulai tawaran ini? Ada sedikit kesulitan untuk menentukannya. Mungkin, jika dilihat dari sudut pandang sempit (subjektif), isu lingkungan¾setidaknya di Jemaat Benyamin Obebufu (JBO)¾kurang familier, terutama dalam menterjemahkan isu itu ke dalam tujuan dan program konkrit pelayanan gerejawi.

Walaupun penilaian ini bersifat sempit (subjektif), tetapi bisa dibenarkan. Memang demikianlah adanya. Secara strategis, kita tidak memiliki suatu paradigma misi terkait isu lingkungan dan konsern untuk digarap dalam pelayanan. Karenanya, pada tataran teknis, soal kurang familiernya isu lingkungan dalam tugas pelayanan gerejawi tadi, tentu saja merupakan efek negatif yang logis diderita gereja akibat adanya kekosongan dalam proses pewacanaan dan aksi, yang sepatutnya dikerjakan secara terencana. Bukankah, tugas demikian merupakan implikasi dari kesadaran akan adanya relasi antar gereja dengan lingkungan, yang kemudian berkonsekuensi juga pada soal bagaimana gereja harus memainkan peran dalam persoalan-persoalan lingkungan itu.

Apabila, terus merunut persoalan ini, maka problem ini berpangkal pada ketidakpekaan gereja dalam membaca kegelisahan yang diekspresikan lingkungan. Padahal, jika memiliki kepekaan, gereja akan merefleksikan keberadaan, relasi dan perannya lalu menentukan tujuan-tujuan orientatif yang sesuai dalam kerangka penyelamatan lingkungan. Selanjutnya, tujuan-tujuan itu dioperasionalkan ke dalam program-program konkrit kepelayanan. Dengan kata lain, kepekaan dan kepedulian gereja dalam mengatasi permasalahan lingkungan, akan tercermin dalam agenda-agenda prioritasnya, baik primer ataupun sekunder untuk dikerjakan. 

Telah menjadi suatu kesadaran umum bahwa penyelamatan lingkungan adalah hal yang mendesak (urgen) untuk diupayakan. Dalam konteks gereja, urgensi itu bukan hanya terletak pada akutnya problem lingkungan semata. Tetapi, juga terletak, terutama pada alasan mendasar yakni penyelamatan lingkungan dari ancaman kerusakan bertalian erat dengan tanggung jawab yang melekat pada diri gereja.

Dalam iman kristen, ajaran tentang penciptaan, misalnya, mengakui adanya relasi antar Allah, manusia dan alam. Allah sebagai pencipta, sedangkan manusia dan alam sebagai ciptaan. Salah satu inti yang menarik dari relasi ini, khususnya antar manusia dan alam ialah keduanya memiliki hubungan harmonis dan saling membutuhkan. Sebuh hubungan yang berpusat pada Allah sebagai penguasa mutlak;  memiliki dan menjaga ciptaan-Nya. Kerena itu, kesatuan, keutuhan dan kesalingtergantungan selaras sebagai ciptaan ini harus dihormati.

Sebagaimana kesatuan, keutuhan dan kesalingtergantungan selaras merupakan inti ajaran penciptaan, maka hubungan baru antar Allah, manusia dan lingkungan karena pendamaian oleh Yesus merupakan inti dari ajaran tentang penebusan. Allah di dalam Yesus Kristus Kristus, tidak menebus manusia semata, tetapi menebus seluruh ciptaan. Itu berarti Allah bukan hanya memulihkan manusia, melainkan pula alam dan hubungan keduanya. Karena itu, pemulihan (rekonsiliasi) ini harus dilanggengkan.

Kedua ajaran di atas cukup menjadi bukti bahwa iman kristen mengakui bahwa Allah memelihara karena Ia mengasihi seluruh ciptaannya, entah itu manusia maupun lingkungan. Dan, sikap Allah memelihara karena kasih terhadap ciptaan-Nya, seharusnya menjadi teladan bagi manusia untuk menyatakan kasih dan perlindunganya kepada lingkungan. 

Jika demikian adanya, maka gereja dituntut untuk menumbuh-kembangkan kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai wujud ketaatan dan kesetiannya dalam mengimplementasikan teladan dan amanat Allah yang diembanya itu, yakni mengelola dan melestarikan lingkungan sesuai prinsip-prinsip imaniah melalui misinya di bumi. 

Apalagi, di era perkembangan ilmu pegetahuan dan teknologi mutakhir ini, perilaku manusia dalam mengeksploitasi, produksi dan konsumsi yang bersumber dari alam, justru telah memassifkan ekses buruk yang merusak. Bukan hanya lingkungan, melainkan juga kerusakan sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Bahkan kerusakan itu telah mencapai skalanya yang menglobal. Karenanya, kondisi ini secara pasti memberikan ancaman yang fundamental bagi kehidupan manusia dan alam serta keberlanjutan keduanya.

Sayangnya, di tengah ancaman fundamental ini, gereja malah menunjukan sikap ambigu. Bukannya mengambil inisiatif dalam rangka menyelamatkan lingkungan, justru ia seolah menikmati keterobang-ambingannya di dalam gelombang kegamangan untuk menenetukan tujuan orientatif pelayanan seperti apa yang harus dibuat. Sebabnya, bisa karena alasan kompleksitas masalah yang dihadapi serta adanya desakan dari tuntutan kebutuhan-kebutuhan pada aras interen, apalagi serimonial.

Namun, jika demikian adanya, maka hanya satu simpulan yang dapat kita tarik dari kondisi ini, yakni: “ini adalah sindrom yang menandai, gereja sedang mengidap amnesia akibat kompleksitas yang dihadapinya sendiri, jika bukan isu penyelamatan lingkungan sengaja dilupakan, bahkan ditelikung sama sekali.”

Keluar dari “Lubang Kubur”

Sampai di sini, nampaknya keruwetan pilihan memulai tawaran ini, sedikit bisa diatasi. Dan, pertimbangan serta pilihan untuk memulai tawaran ini coba didasarkan pada rekam jejak dari tahapan tertentu ketika diwacanakannya isu penyelamatan lingkungan, sebagaiamana telah diangkat dalam pelayanan pemuda JBO, khususnya oleh teman-teman pemuda di Rayon I.

Saya ingin ingin mengulasnya sebagai pintu masuk tawaran projek penyelamatan lingkungan kepada kawan-kawan pemuda.

Namun, sebelum melanjutkannya, saya menyampaikan dulu permohonan maaf. Jika ternyata, ada di antara teman-teman rayon lain, yang telah melakukan sesuatu dalam kerangka merespons isu kerusakan lingkungan, namun tak disinggung di sini. Begini, soal pilihannya, yakni lebih didasarkan pada pertimbangan pengalaman yang kami jalani di Rayon I. Atau, dengan kata lain boleh disampaikan bahwa pilihan ini semata-mata agar saya dapat menguraikannya dengan lebih baik, nilai dan manfaat atau pelajaran yang kami peroleh dari apa yang dilakukan.

Kembali pada projek kecil penyelamatan lingkungan yang digarap kawan-kawan pemuda di Rayon I…

Masih teringat jelas dalam kepala saya, bagaimana proses-proses pembahasan isu penyelamatan lingkungan kami lakukan bersama. Dari proses tersebut, kemudian menghasilkan agenda programatik untuk dijadikan sebagai salah satu aspek dari aksi pelayanan pemuda. Singkat cerita, kami mengagas sebuah ibadah dalam rangka merayakan Valentine Day. Seingat saya, ibadah perayanaan itu kami lakukan pada Maret 2012 lalu.

Dalam ibadah itu, kami mengusung sebuah thema, yang tentu saja asing atau aneh karena tidak lazim diangkat, khususnya oleh orang (muda) yang merayakan Valentine Day. Thema ibadah perayaan itu tak lain ialah Green Valentine.

Kami menempelkannya dengan tegak dan kuat pada dinding tembok rumah itu, hingga jelas terbaca dari jarak pandang yang relatif jauh, seolah-olah ingin menunjukan keseriusan kami mengangkat isu ini.

Bahkan, hingga saat ini, tempelan potongan huruf dari kertas berwarna hujau pekat itu, sebagianya masih menempel ditembok rumah kawan Ronan, tempat di mana kami melangsungkan ibadah. Saya sendiri, setiap kali berdiri di depan pintu rumah, pandangan saya akan selalu berpapasan dengan sisa tempelan kertas tersebut, dan seakan ia sedang mendakwa. Entah,  lantaran kami tak membersihkan bekas tempelan kertas di tembok berwarna putih bersih itu atau karena tuntutan komitmen pelayanan yang kami buat pada malam perayaan itu, namun belum mampu dioptimalkan dengan menindaklanjutinya melalui agenda berikut yang sebenarnya telah kami tentukan. 

Green Valentine atau “Velalntine Hijau” itu, pada dasarnya kami maksudkan sebagai cerminan sikap pedulian pada dampak dan ancaman serius dari kerusakan lingkungan yang terus mengerogoti eksistensi alam. Karena eksistensi alam berada dalam ancaman yang serius, maka eksistensi manusia-pun tengah berada dalam ancaman serius. Tak sampai pada ancaman-ancaman serius yang dihadapi alam dan manusai, tetapi refleksi kami menukik pada keyakinan adanya ekses gugatan yang tajam dan tidak dapat dihindari oleh gereja sebagai salah satu subjek yang seharusnya bertanggung jawab dalam menyelesaikan problem lingkungan. Jika tidak, eksistensinya juga turut terancam.

Agaknya, simpulan kami yang terakhir bahwa eksistensi gereja turut terancam akibat semakin meningkatnya skala kerusakan lingkungan dan penderitaan manusia, kurang beralasan. Tetapi, keraguan itu segera berubah menjadi sebuah keyakinan. Sebab, sejarah telah memberikan konfirmasi yang kuat bahwa, entah itu adalah sikap reaktif atau proaktif dari gereja terhadap berbagai problem kerusakan lingkungan, dari sisi tanggung jawab pengelolaan bumi, telah membuktikan ia sementara menyadari dirinya mengalami krisis. Dan karena itu, gereja harus segera bertindak. Teologi kristen dengan perspektif ekologis, Konvensi Dewan Gereja-gereja Se-Dunia tentang masalah lingkungan adalah beberapa bukti-bukti yang membenarkan.

Jadi, dengan sadar, kami akui bahwa Green Valentine adalah bukti itu sendiri. Sebab, ia merupakan ekspresi kesadaran akan krisis eksistensi yang kami derita sebagai pemuda gereja, pemuda kristen. Tanggung jawab kami dipertanyakan, disanksikan dan tengah digugat, lantaran kami tidak melakukan apapun, selain menjadi bagian yang turut berkontribusi dalam merusak lingkungan dan menambah penderiataan bagi sesama serta alam.

Demikian, kami maknai Green Velentine itu, dari suatu proses otokritik yang menghasilkan sedikit optimisme sambil merawatnya baik-baik dalam hati bahwa momentum itu adalah panggilan untuk segera mengambil langkah proaktif, keluar dari “lubang kubur,” yang kami gali sendiri karena memperlakukan lingkungan tanpa moral.

Kami bersalah dan menyesali perilaku tak beriman pada alam semesta; rumah dan sumber kehidupan kami sendiri!

Bersambung ke bagian 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar