Oleh:
James Faot
[Pemuda & Koordinator Rayon 1 – Jemaat
Benyamin Oebufu]
“Manusia, betapapun
hebatnya, akhirnya tidak berdaya menghadapi lingkungannya tanpa moral.”
(Robert P. Borrong)
Lingkungan,
nasibmu kini…di antara kompleksitas atau sengaja dilupakan?
Dari mana memulai tawaran ini? Ada sedikit kesulitan
untuk menentukannya. Mungkin, jika dilihat dari sudut pandang sempit
(subjektif), isu lingkungan¾setidaknya di Jemaat Benyamin Obebufu (JBO)¾kurang
familier, terutama dalam
menterjemahkan isu itu ke dalam tujuan dan program konkrit pelayanan gerejawi.
Walaupun penilaian ini bersifat sempit (subjektif),
tetapi bisa dibenarkan. Memang demikianlah adanya. Secara strategis, kita tidak
memiliki suatu paradigma misi terkait isu lingkungan dan konsern untuk digarap
dalam pelayanan. Karenanya, pada tataran teknis, soal kurang familiernya isu
lingkungan dalam tugas pelayanan gerejawi tadi, tentu saja merupakan efek
negatif yang logis diderita gereja akibat adanya kekosongan dalam proses pewacanaan
dan aksi, yang sepatutnya dikerjakan secara terencana. Bukankah, tugas demikian
merupakan implikasi dari kesadaran akan adanya relasi antar gereja dengan
lingkungan, yang kemudian berkonsekuensi juga pada soal bagaimana gereja harus
memainkan peran dalam persoalan-persoalan lingkungan itu.
Apabila, terus merunut persoalan ini, maka problem ini
berpangkal pada ketidakpekaan gereja dalam membaca kegelisahan yang
diekspresikan lingkungan. Padahal, jika memiliki kepekaan, gereja akan
merefleksikan keberadaan, relasi dan perannya lalu menentukan tujuan-tujuan
orientatif yang sesuai dalam kerangka penyelamatan lingkungan. Selanjutnya,
tujuan-tujuan itu dioperasionalkan ke dalam program-program konkrit kepelayanan.
Dengan kata lain, kepekaan dan kepedulian gereja dalam mengatasi permasalahan
lingkungan, akan tercermin dalam agenda-agenda prioritasnya, baik primer
ataupun sekunder untuk dikerjakan.
Telah menjadi suatu kesadaran umum bahwa penyelamatan
lingkungan adalah hal yang mendesak (urgen) untuk diupayakan. Dalam konteks
gereja, urgensi itu bukan hanya terletak pada akutnya problem lingkungan
semata. Tetapi, juga terletak, terutama pada alasan mendasar yakni penyelamatan
lingkungan dari ancaman kerusakan bertalian erat dengan tanggung jawab yang
melekat pada diri gereja.
Dalam iman kristen, ajaran tentang penciptaan, misalnya,
mengakui adanya relasi antar Allah, manusia dan alam. Allah sebagai pencipta,
sedangkan manusia dan alam sebagai ciptaan. Salah satu inti yang menarik dari
relasi ini, khususnya antar manusia dan alam ialah keduanya memiliki hubungan harmonis
dan saling membutuhkan. Sebuh hubungan yang berpusat pada Allah sebagai
penguasa mutlak; memiliki dan menjaga
ciptaan-Nya. Kerena itu, kesatuan, keutuhan dan kesalingtergantungan selaras
sebagai ciptaan ini harus dihormati.
Sebagaimana kesatuan, keutuhan dan kesalingtergantungan
selaras merupakan inti ajaran penciptaan, maka hubungan baru antar Allah, manusia dan lingkungan karena pendamaian
oleh Yesus merupakan inti dari ajaran tentang penebusan. Allah di dalam Yesus
Kristus Kristus, tidak menebus manusia semata, tetapi menebus seluruh ciptaan.
Itu berarti Allah bukan hanya memulihkan manusia, melainkan pula alam dan
hubungan keduanya. Karena itu, pemulihan (rekonsiliasi) ini harus dilanggengkan.
Kedua ajaran di atas cukup menjadi bukti bahwa iman
kristen mengakui bahwa Allah memelihara karena Ia mengasihi seluruh ciptaannya,
entah itu manusia maupun lingkungan. Dan, sikap Allah memelihara karena kasih
terhadap ciptaan-Nya, seharusnya menjadi teladan bagi manusia untuk menyatakan
kasih dan perlindunganya kepada lingkungan.
Jika demikian adanya, maka gereja dituntut untuk
menumbuh-kembangkan kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai wujud ketaatan dan
kesetiannya dalam mengimplementasikan teladan dan amanat Allah yang diembanya
itu, yakni mengelola dan melestarikan lingkungan sesuai prinsip-prinsip imaniah
melalui misinya di bumi.
Apalagi, di era perkembangan ilmu pegetahuan dan
teknologi mutakhir ini, perilaku manusia dalam mengeksploitasi, produksi dan
konsumsi yang bersumber dari alam, justru telah memassifkan ekses buruk yang
merusak. Bukan hanya lingkungan, melainkan juga kerusakan sosial, politik,
ekonomi, dan lain sebagainya. Bahkan kerusakan itu telah mencapai skalanya yang
menglobal. Karenanya, kondisi ini secara pasti memberikan ancaman yang
fundamental bagi kehidupan manusia dan alam serta keberlanjutan keduanya.
Sayangnya, di tengah ancaman fundamental ini, gereja
malah menunjukan sikap ambigu. Bukannya mengambil inisiatif dalam rangka
menyelamatkan lingkungan, justru ia seolah menikmati keterobang-ambingannya di dalam
gelombang kegamangan untuk menenetukan tujuan orientatif pelayanan seperti apa
yang harus dibuat. Sebabnya, bisa karena alasan kompleksitas masalah yang
dihadapi serta adanya desakan dari tuntutan kebutuhan-kebutuhan pada aras
interen, apalagi serimonial.
Namun, jika demikian adanya, maka hanya satu simpulan
yang dapat kita tarik dari kondisi ini, yakni: “ini adalah sindrom yang
menandai, gereja sedang mengidap amnesia
akibat kompleksitas yang dihadapinya sendiri, jika bukan isu penyelamatan
lingkungan sengaja dilupakan, bahkan ditelikung sama sekali.”
Keluar dari
“Lubang Kubur”
Sampai di sini, nampaknya keruwetan pilihan memulai
tawaran ini, sedikit bisa diatasi. Dan, pertimbangan serta pilihan untuk
memulai tawaran ini coba didasarkan pada rekam jejak dari tahapan tertentu
ketika diwacanakannya isu penyelamatan lingkungan, sebagaiamana telah diangkat
dalam pelayanan pemuda JBO, khususnya oleh teman-teman pemuda di Rayon I.
Saya ingin ingin mengulasnya sebagai pintu masuk tawaran
projek penyelamatan lingkungan kepada kawan-kawan pemuda.
Namun, sebelum melanjutkannya, saya menyampaikan dulu
permohonan maaf. Jika ternyata, ada di antara teman-teman rayon lain, yang
telah melakukan sesuatu dalam kerangka merespons isu kerusakan lingkungan,
namun tak disinggung di sini. Begini, soal pilihannya, yakni lebih didasarkan
pada pertimbangan pengalaman yang kami jalani di Rayon I. Atau, dengan kata
lain boleh disampaikan bahwa pilihan ini semata-mata agar saya dapat
menguraikannya dengan lebih baik, nilai dan manfaat atau pelajaran yang kami
peroleh dari apa yang dilakukan.
Kembali pada projek kecil penyelamatan lingkungan yang
digarap kawan-kawan pemuda di Rayon I…
Masih teringat jelas dalam kepala saya, bagaimana
proses-proses pembahasan isu penyelamatan lingkungan kami lakukan bersama. Dari
proses tersebut, kemudian menghasilkan agenda programatik untuk dijadikan
sebagai salah satu aspek dari aksi pelayanan pemuda. Singkat cerita, kami
mengagas sebuah ibadah dalam rangka merayakan Valentine Day. Seingat saya, ibadah perayanaan itu kami lakukan pada
Maret 2012 lalu.
Dalam ibadah itu, kami mengusung sebuah thema, yang tentu
saja asing atau aneh karena tidak lazim diangkat, khususnya oleh orang (muda)
yang merayakan Valentine Day. Thema
ibadah perayaan itu tak lain ialah Green
Valentine.
Kami menempelkannya dengan tegak dan kuat pada dinding
tembok rumah itu, hingga jelas terbaca dari jarak pandang yang relatif jauh,
seolah-olah ingin menunjukan keseriusan kami mengangkat isu ini.
Bahkan, hingga saat ini, tempelan potongan huruf dari
kertas berwarna hujau pekat itu, sebagianya masih menempel ditembok rumah kawan
Ronan, tempat di mana kami melangsungkan ibadah. Saya sendiri, setiap kali
berdiri di depan pintu rumah, pandangan saya akan selalu berpapasan dengan sisa
tempelan kertas tersebut, dan seakan ia sedang mendakwa. Entah, lantaran kami tak membersihkan bekas tempelan
kertas di tembok berwarna putih bersih itu atau karena tuntutan komitmen
pelayanan yang kami buat pada malam perayaan itu, namun belum mampu dioptimalkan
dengan menindaklanjutinya melalui agenda berikut yang sebenarnya telah kami
tentukan.
Green Valentine
atau “Velalntine Hijau” itu, pada dasarnya kami maksudkan sebagai cerminan
sikap pedulian pada dampak dan ancaman serius dari kerusakan lingkungan yang
terus mengerogoti eksistensi alam. Karena eksistensi alam berada dalam ancaman
yang serius, maka eksistensi manusia-pun tengah berada dalam ancaman serius.
Tak sampai pada ancaman-ancaman serius yang dihadapi alam dan manusai, tetapi
refleksi kami menukik pada keyakinan adanya ekses gugatan yang tajam dan tidak
dapat dihindari oleh gereja sebagai salah satu subjek yang seharusnya
bertanggung jawab dalam menyelesaikan problem lingkungan. Jika tidak,
eksistensinya juga turut terancam.
Agaknya, simpulan kami yang terakhir bahwa eksistensi gereja
turut terancam akibat semakin meningkatnya skala kerusakan lingkungan dan
penderitaan manusia, kurang beralasan. Tetapi, keraguan itu segera berubah
menjadi sebuah keyakinan. Sebab, sejarah telah memberikan konfirmasi yang kuat
bahwa, entah itu adalah sikap reaktif atau proaktif dari gereja terhadap
berbagai problem kerusakan lingkungan, dari sisi tanggung jawab pengelolaan
bumi, telah membuktikan ia sementara menyadari dirinya mengalami krisis. Dan
karena itu, gereja harus segera bertindak. Teologi kristen dengan perspektif
ekologis, Konvensi Dewan Gereja-gereja Se-Dunia tentang masalah lingkungan
adalah beberapa bukti-bukti yang membenarkan.
Jadi, dengan sadar, kami akui bahwa Green Valentine adalah bukti itu sendiri. Sebab, ia merupakan
ekspresi kesadaran akan krisis eksistensi yang kami derita sebagai pemuda
gereja, pemuda kristen. Tanggung jawab kami dipertanyakan, disanksikan dan
tengah digugat, lantaran kami tidak melakukan apapun, selain menjadi bagian
yang turut berkontribusi dalam merusak lingkungan dan menambah penderiataan
bagi sesama serta alam.
Demikian, kami maknai Green
Velentine itu, dari suatu proses otokritik yang menghasilkan sedikit
optimisme sambil merawatnya baik-baik dalam hati bahwa momentum itu adalah
panggilan untuk segera mengambil langkah proaktif, keluar dari “lubang kubur,”
yang kami gali sendiri karena memperlakukan lingkungan tanpa moral.
Kami bersalah dan menyesali perilaku tak beriman pada
alam semesta; rumah dan sumber kehidupan kami sendiri!
Bersambung ke bagian 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar