Rabu, 28 November 2012

“SEMANGAT KEPEMUDAAN DAN PROBLEM RIIL BANGSA” (Bagian I)

Oleh: James L.Ch. Faot, S.Pd


“Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda”
(Bung Karno, 28 Oktober 1963)


PENGANTAR

Sumpah Pemuda 1928 berjiwa revolusioner. Ia ibarat anak yang lahir dari rahim sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam melepaskan diri dari cengkraman kolonialisme. Akan tetapi, dalam perjalannya, jiwa revolusionernya justru hampir pupus karena kuatnya hegemoni imperalisme. Rakyat Indonesia mengalami proses reproduksi kesadaran; amputasi fakta dan diorientasi nilai-nilai Sumpah Pemuda. Ia menjadi sekedar serimoni belaka. Dalam kurun waktu yang lama, maka itu cukup untuk membangun 1 bahkan 2 generasi baru dengan kesadaran semu yang benar-benar tidak memiliki bekas kepalsuan. Generasi dengan kasadaran lazim yang a-historis dan a-politis serta taken for granted.
Yang kita harus lakukan adalah mengenali kembali dan mengembalikan sisi revolusioner Sumpah Pemuda untuk melawan dominasi imperialisme. Setidaknya, kaum muda harus memahami apa yang disebut konteks revolusioner dan substansi revolusioner Sumpah Pemuda. Dengan pemahan ini, kita dapat mengidentifikasi secara tepat apa problem riil atau tepatnya problem pokok Indonesia dan dari sana pula kita memberikan resolusi-resolusi perjuangan menuju dicita-cita revolusi Indonesia, yakni menuju masyarakat adil dan makmur. Inilah panggilan dan tugas sejarah penuntasan revolusi Indonesia, yang diemban pemuda Indonesia masa kini.

SUMPAH PEMUDA 1928: PLATFROM PERJUANGAN REVOLUSIONER

“Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”


Terkait dengan judul yang diminta oleh panitia untuk saya bawakan dalam seminar kali ini, sebenarnya, terdapat satu hal mendasar hal yang ingin diketengahkan dalam makalah ini, yakni mengenali kembali sisi revolusioner Sumpah Pemuda. Menurut saya, aspek penting ini telah dihilangkan secara sistimatis dalam berbagai refleksi rakyat terkait momentum bersejarah ini. Saya memberikan penekanan khas terkait sisi revolusioner ini, yakni: pertama, adalah konteks revolusioner; dan kedua adalah substansi revolusioner dari Sumpah Pemuda itu sendiri.
Namun, dengan rendah hati, saya menyampaikan maaf kepada panitia, karena dalam makalah ini, saya hanya akan membahas tentang konteks revolusionernya saja. Tentu saja, ini karena alasan teknis mengenai media dan waktu yang sangat terbatas. Saya berpikir bahwa dengan hanya mengetengahkan satu bagian ini pun, kita dapat  mendorong diskusi menjadi lebih mendalam, lebih kaya, sebelum masuk pada bangian yang satunya lagi, yakni substansi revolusioner.

Hegemoni di Tengah Menguatnya Gerakan Anti-Neokolonialisme

Sejak rezim Soehato berkuasa, rekam fakta sejarah dan nilai-nilai revolusioner yang memungkinkan momentum penyatuan gerakan progresif pemuda Indonesia dalam melawan kolonialisme dan neo-kolonialisme serta penuntasan revolusi Indonesia di hapus secara total seraya hanya memperbolehkan satu versi; versi kekuasaan yang represif, versi resmi yang penuh kebohongan dan kekeliruan.[1]    
Situasi di atas menunjukan kepada kita bahwa selain cara dominasi, imperialisme mempertahankan status quo-nya dengan secara hegemonik. Hegemoni adalah strategi reproduksi kesadaran quasi, menggunanakan nilai-nilai moral dan persuasif, agar si tertindas menerima ketertindasannya dan bersikap loyal terhadap si penindas. Penguasaan alat-alat kebudayaan adalah syarat penting suatu proses hegemonik berhasil dengan baik.
Jika, 3-4 dasawarsa lalu, api revolusionernya berusaha dipadamkan, maka itu adalah jawaban penting dari pertanyaan apa problem riil bangsa kita hari ini. Dominasi Neoliberalisme (dan dampak buruknya bagi kehidupan bangsa kita, termasuk keinginan menginterupsi suatu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila). Namun, semua ini coba ditutupi dengan sangat rapi.
Karenaya, dapam pembahasan tentang konteks revolusioner Sumpah Pemuda ini, saya ingin merekonstruksikan kembali fakta-fakta sejarah perjuangan pemuda yang mengedepankan sifat revolusionernya. Sebab, peran rezim Soehato bahkan rezim boneka neoliberal seperti rezim SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) cenderung diarahkan pada penghapusan memori perjuangan revolusioner terkait refleksi sejarah Sumpah Pemuda itu sendiri. Sekali lagi, semua itu bertujuan untuk membangun kesadaran generasi muda yang a-historis dan a-politis dan taken for granted.

Mengenali dan Mengembalikan Konteks Revolusioner

Penting untuk memahami konteks revolusioner Sumpah Pemuda, terutama dalam kerangka memperoleh gambaran objektif dari sejarah perjuangan revolusioner pemuda Indonesai. Dari situ, kita dapat menarik relevansinya bagi perjuangan pemuda saat ini. Sebab, dalam membahas konteks revolusioner, sebenarnya tersedia rujukan untuk menganalis perkembangan geopolitik dan geostrategis saat ini, yang mana praktek kolonial dulu dan neoliberal kini harus/tetap ditempatkan sebagai strategi imperialisme dalam menacapkan dominasinya (akan saya bahas pada bagian kedua makalah ini, tentang; Substansi revolusioner Sumpah Pemuda). 
Umar Said, Jurnalis senior kesohor asal Indonesia,[2] memberikan analisis konteks historis yang progresif terhadap Sumpah Pemuda. Menurut Said, “Sumpah Pemuda 1928 berjiwa revolusioner karena menurut sejarahnya, dicetuskan dalam suasana pergolakan perjuangan melawan kolonialisme/imperialisme Belanda.”[3]
Untuk memahami konteks revolusioner Sumpah Pemuda, maka kita tidak boleh melepaskannya proses dialektika sejarah perjuangan pemuda, baik masa sebelum dan sesudahnya. Sebab, Sumpah Pemuda adalah inspirasi yang tumbuh dari perjuangan-perjuangan revelusioner sebelumnya, terutama pada tahun 1905-1920, 1925, 1926 dan 1927 dan sumber inspirasi bagi perjuangan-perjuangan revolusioner setelahnya, yang bermuara pada proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Karenanya, pemahaman konteks revolusioner hanya dapat dijelaskan dengan mengenali situasi objektif dari perjuangan pemuda di masa-masa tersebut.  
Sebelum Sumpah pemuda dikrarkan pada 1928, ada beberapa momentum sejarah yang amat penting, di mana momentum-momentu itu merupakan bangian integral dari sejarah perjuangan pemuda.
Kita memahami bahwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 berlangsung dalam Kongres Pemuda Indonesia Ke-II di Indonesische Clubgebouw,[4] Ia pada dasarnya adalah hasil keputusan kongres Ke-I pada tahun 1926.[5] Dari sini, kita memiliki rujukan untuk menelusuri konteks revolusioner Sumpah Pemuda.
Menurut Sejahrawan Sartono Kartodiharjo, yang menjadi latar belakang munculnya pergerakan pemuda, berawal dari kesadaran akan penderitaan rakyat selama tiga abad di bawah kaki Belanda. Kondisi ini mendorong munculnya kaum terpelajar, hingga pada abad ke-20 di Indonesia mengalami keadaan yang disebut Zaman Kemajuan. Disebut demikian, karena segala bidang yang ada mulai maju, terutama dalam bidang pendidikan.[6]
Memasuki abad ke-20, perjuangan rakyat ditandai dengan lahirnya kesadaran berorganisasi dan melakukan aksi-aksi perjuangan yang lebih maju dan terorganisasikan mulai dari pemogokan sampai perjuangan rakyat bersenjata. Momentum ini telah dipandang sebagai bukti kebangkitan semangat nasionalisme, terutama di kalangan pemuda dan pelajar serta bangkitnya kekuatan klas buruh teroganisasi di pabrik-pabrik Belanda, sejak 1905-1920.[7] Kebangkitan ini dicirikan dengan adanya syarat penting dalam sebuah perjuangan, yakni pemuda kala itu telah memiliki alat perjuangan independent yang berorientasi politis dan kritis melawan kolonialisme.[8]
Pada sisi lain, kebangkitan berbagai gerakan progresif anti-kolonial itu, telah turut mempengaruhi cara pandang pemuda nusantara dalam berjuang. Tumbuh lagi alat-alat perjuangan pemuda dalam bentuk organisasi-organisasi, yang walaupun masih bersifat etno-nasionalisme (Jong Java (1915), Jong Sumatra Bond (1917), Jong Ambon, Jong Celebes, dll), namun semuanya bertolak dari satu motivasi dasar yakni melawan kolonialisme Belanda.  
Pada 1925, di tanah Nederland, para pemuda Indonesia membentuk Perhimpunan Indonesia (PI).[9] Salah satu pemimpinnya adalah Moh Hatta.[10] Mereka membaca secara baik kelemahan perjuangan pemuda yang bersifat etno-nasionalisme itu. PI bahkan mendeklarasikan Manifesto Politik 1925,[11] yang bertujuan untuk “mengarahkan gerakan-gerakan etno-nasionalisme menjadi gerakan ke arah Indonesia merdeka.”[12]
Dalam pembahasan tentang Manifsto tersebut, Sejahrawan Sartono Kartokartodirjo, berpendapat bahwa konsep “kesatuan” merupakan usaha mentransendensi etnisitas dan regionalisme menjadi suatu kesatuan aksi melawan kolonialisme Belanda. Karenanya, melalui media perjuangan (majalah) Indonesia Merdeka, PI bermaksud mengilhami dan mendorong agar kalangan pemimpin pemuda terutama di Jawa, untuk semakin bersatu dan menghapuskan label kesukuan pada organisasi mereka.[13]
Inspirasi dari semangat dan prinsip perjuangan (unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan)) PI tahun 1925, telah mendorong pemuda menggalang konsolidasi strategis. Pada 1926, dilakukan Kongres Pemuda Ke-I. Tujuan kongres adalah untuk menanamkan semangat kerja sama antar perkumpulan pemuda untuk menjadi dasar persatuan Indonesia dalam arti yang lebih luas. Namun, usaha menggalang persatuan dan kesatuan itu belum terwujud, karena rasa kedaerahan masih kuat, misalnya masih a lot perdebatan mengenai Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.[14] Karena itu, sidang merekomendasikan dilakukan kongres Pemuda Ke-II, yang kemudian dilaksanakan pada 27-28 Oktober 1928 dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda.
Akan tetapi, para pelajar di Jakarta dan Bandung melihat adanya dua kepentingan yang bertentangan dalam penjajahan, yang mereka sebut sebagai antithesis kolonial yang sangat merugikan pihak Indonesia. Antithesis ini akan dihapus apabila penjajahan sudah lenyap. Untuk itu, maka para pelajar dari berbagai daerah pada bulan September 1926 mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) di Jakarta. PPPI memperjuangkan Indonesia merdeka.
Peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap kolonialisme Belanda pada 1926 juga tidak dapat di kesempingkan sebagai bagian penting dalam mentukan signfikansi Sumpah Pemuda. Menurut Umar Said, “Sumpah Pemuda dilangsungkan dalam tahun 1928 ketika suasana di kalangan berbagai gerakan anti penjajahan Belanda, terutama di kalangan angkatan mudanya, terpengaruh oleh akibat atau dampak pembrontakan PKI tahun 1926 melawan kolonialisme Belanda…”[15]
Ketika pemberontakan PKI pada 1926 itu gagal, maka Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927. Sebagaimana dikemukan Umar Said, bahwa Soekarno menyebutnya sebagai kelanjutan dari perjuangan revolusioner melawan kolonialisme dan imperialisme. Setahun setelah pendirian PNI, yang telah turut mendorong terealisasinya rekomendasi pelaksanaan Kongres Pemuda Ke-II dan menghasilkan Sumpah Pemuda pada 1928, maka pada 1929 pihak Belanda menangkap dan memenjarakan Soekarno karena mengangap PNI sebagai bagian dari gerakan revolusioner.[16]
Gambaran situasi objektif pergerakan pemuda, pelajar dan klas buruh Indonesia ini menjelaskan kepada kita bahwa sebenarnya Sumpah Pemuda adalah bagian integral sekaligus kelanjutan yang berdimensi maju menuju kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Ini menegaskan juga bahwa Sumpah Pemuda tahun 1928 adalah sumber atau cikal-bakal lahirnya pedoman-pedoman besar bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Dan karenanya bisa juga dikatakan bahwa Sumpah Pemuda berorientasi kiri dan revolusioner.
Selanjutnya, Sumpah Pemuda menjadi inpirasi dalam perjuangan pemuda menuju kemerdekaan. Para pemuda itu merasa, sekalipun mereka berasal dari beragam pulau, suku, agama, dan aliran politik, namun ada hal yang mempersatukan mereka: kesamaan nasib. Mereka sama-sama ditindas ratusan tahun oleh kolonialisme. Karena itu, mereka pun membayangkan sebuah komunitas bersama yang merdeka, dimana rakyat di dalamnya bisa hidup adil dan makmur. Dari pembahasan konteksnya, Umar Said, menyebut Sumpah Pemuda sebagai “platfrom pluralis yang revolusioner.”

Penutup

Inilah yang dimaksudkan dengan konteks revolusioner dari sumpah pemuda, yakni ialah lahir dari konteks sejarah perjuangan yang anti-kolonialisme/imperialisme. Jiwa dan praktik perjuangannya bersifat patriotik dan revolusioner serta terfokus pada musuh pokok yakni kolonialisme/imperialisme. Dan bukannya berseteru di antara sesama saudara, dan seturusnya. Singkatnya, mempelajari konteks revolusioner Sumpah Pemuda, maka kita mempelajari tentang jiwa revolusoner dalam perjuangan pemuda Indonesia yang mengalami titik kematangannya, terutama dalam pengenalan musuh pokok dan kawan pokok dalam perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.

Bersmbung ke bagian 2…



[1] Max Lane. Mencari Indonesia Babak Ketiga. 2011, hal. 1. http://indoprogress.com. Diakses pada: November 2011.  
[2] Informasi tentang  A. Umar Said, bisa kunjungi personal web-nya: http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/
[3] A. Umar Said. Kembalikan Jiwa Revolusioner Sumpah Pemuda; 2009, hal. 1. http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/Kembalikan%20jiwa%20revolusioner%20Sumpah%20Pemuda.htm. Diakes pada: Jumat, 25 Oktober 2012.
[4] Rudi Hartono. Sejarah Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda; 2011, hal. 1. http://www.berdikarionline.com/lipsus/menuju-kongres-pemuda-pergerakan/20110520/sejarah-kongres-pemuda-dan-sumpah-pemuda.html. Diakes pada: Jumat, 28 Oktober 2011.
[5] Ibid.
[6] Sebagai contoh, didirikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum wanita yang bernama Hoofdenschool, kemudian Sekolah Dokter Jawa (STOVIA). Lihat Fazar S.K. Fathah,  Pergerakan Pemuda Indonesia Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda,
[7] Bisa di baca dalam Perjalanan Perjuangan Pemuda Indonesia. Misalnya, Organisasi Buruh Kereta Api Staats Spoorwegen (SS) Bond (1905); VSTP (Vereniging van Spoor–en Tram Personeel) (1908); Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB) di Yogyakarta (1916);  Persatuan Guru keluaran Kweekschool/Sekolah Guru (1917) di Yogyakarta; Perhimpunan Kaum Buruh dan Tani (PKBT) (1918);  Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) (1919); Perserikatan Guru Bantu (PGB) di Solo, Personeel Fabrieks Bond (PFB) di Yogyakarta, dan Kaum Buruh Pekerjaan Umum Mendirikan VIPBOW di Mojokerto (1920).
[8] Ibid. Kebangkitan ini dilatarbelangi oleh pertemuan kamu pemuda terpelajar dengan berbagai teori-teori dari negeri-negeri Barat, terutama tentang perjuangan rakyat di berbagai negeri untuk mendapatkan kemerdekaannya seperti Revolusi Prancis ataupun tentang Revolusi Industri, Teori-Teori Marxis dan juga situasi tentang perkembangan internasional seperti revolusi besar Oktober 1917 di Rusia. Hal ini telah memberikan inspirasi tersendiri bagi mereka untuk menuangkan ide-ide akan perubahan dalam kenyataan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia di bawah penindasan kaum kolonial Belanda.
[9] Pada awal berdirinya PI berawal dari didirikannya Indische Vereniging pada tahun 1908 di Belanda, organisasi ini bersifat moderat. Sebagai perkumpulan social mahasiswa Indonesia di Belanda untuk memperbincangkan masalah dan persoalan tanah air. Ibid, Fazar….hal. 3.
[10] Selain Moh. Hatta, unsur pimpinan PI lainnya adalah  JB Sitanala, Iwa Kusuma Sumantri, Sastromulyono, dan D. Mangunkusumo. Lihat: Krisno Winarno. Manifesto Politik 1925 dan Sumpah Pemuda.2011, hal. 2.
[11] Ibid. Manifesto Politik 1925 berisi prinsip perjuangan, yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan). Ia memiliki 4 (empat) pokok perjuangan, yakni: Persatuan Nasional mengesampingkan perbedaan dan membentuk aksi melawan Belanda serta menciptakan Negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu. Solidaritas yang disebabkan adanya pertentang kepentingan di antara penjajah dan terjajah serta tajamnya konflik diantara kulit putih dan sawo matang. Non-Kooperasi yaitu kemerdekaan bukan Hadiah Belanda, tetapi harus direbut dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Swadaya mengandalkan kekuatan sendiri dengan mengembangkan struktur alternative dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum yang sejajar dengan administrasi kolonial. Selengkapnya bisa dibaca di alamat ini: http://nadyarama.wordpress.com/2012/04/11/peran-manifesto-politik-tahun-1925-dalam-proses-pembentukan-identitas-kebangsaan-indonesia/. Diakes pada: Jumat, 25 Oktober 2012.
[12] Ibid.
[13] Ibid. Karena tuduhan penghasutan untuk pemberontakan terhadap Belanda, maka tahun 1927 tokoh-tokoh PI diantaranya M. Hatta, Nasir Pamuncak, Abdul Majid Djojonegoro dan Ali Sastroamidjojo ditangkap dan diadili. Selengkapanya bisa di baca dalam tulisan: Fazar S.K. Fathah,  Pergerakan Pemuda Indonesia Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda,
[14] Op.Cit, Rudi Hartono. Tabrani Soerjowitjitro, salah satu tokoh penting dari kongres pertama, peserta kongres pertama sudah bersepakat menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan. Akan tetapi, pada saat itu, Tabrani mengaku tidak setuju dengan gagsan Yamin tentang penggunaan bahasa melayu. Menurut Tabrani, kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu, walaupun unsur-unsurnya Melayu.
[15] Op.Cit. Umar said…
[16] Ingat pleidoi Soekarno di depan pengadilan kolonial yang berjudul Indonesia Menggugat.


Makalah disampaikan dalam acara Seminar Sehari dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dengan tema: “Peran Generasi Muda Dalam Menghayati Nilai-nilai Sumpah Pemuda.” Diselenggarakan Oleh Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang St. Fransiskus Xaverius, di Hotel Rhomyta, pada: Selasa, 30 Oktober 2012. 

Aktivis Politik dari Dewan Pengurus Cabang Partai Kebangkitan Bangsa - Kota Kupang (DPC PKB – Kota Kupang) dan Koordinator Umum di Jaringan Advokasi Kesehatan (JAK).

Jumat, 09 November 2012

“Menggugat Politik Pencitraan Para Elit: Terkait Karut-marut Sistim Pelayanan RSUD Kupang”





Oleh: James L. Ch. Faot
Rakyat Nusa Tenggara Timur


Fenomena Sinetronisisasi Populis Para Elit

Fiktif Belaka
Publik Nusa Tenggara Timur dipertontonkan dengan fenomena karut-marutnya penyelenggaraan pelayanan kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah WZ Johannes di Kupang (RSUD Kupang). Lebih dari sepekan, publik NTT mengetahui kompleksitas masalah yang diderita RSUD Kupang. Mulai dari persolan rendahnya mutu layanan; rendahnya mutu kinerja, sampai rendahnya mutu kebijakan. Pantas saja, ada yang menamainya “Rumah Sakit yang Sedang Sakit.

Karut-marut sistim penyelenggaran pelayanan kesehatan tersebut, pada satu sisi, menampilkan rakyat sebagai pesakitan karena Hak atas Kesehatannya diabakaikan. Sekaligus, pada sisi lainnya, menampilakan elit publik sebagai pahlawan (kesingan). Namun, dalam kisah kepahlawanan itu, ada yang sekedar berjuang menyelamatkan dirinya sendiri dan ada yang berjuang mengatasnakaman penegakan dan pemenuhan Hak atas Kesehatan rakyat Nusa Tenggara Timur.

Apa yang sedang ditampilkan pada rakyat? Tak lain ialah bidang permukaan; suatu fenomena berwajah populis di mana terdapat perhatian yang benar-benar seruis dari para elit terkait isu kesehatan (isu publik). Namun, dalam pertarungan para elit, tentu saja, berperan pula aparatus konseptual untuk mengkonstruksikan opini publik yang dangkal sifatnya (banal). Opini masyarakat sedang dibangun sesuai kepentigan elit, yakni: “semua perhelatan para elit pada tingkatan elitis ini merepresentasi keprihatinan dan keberpihakan mereka pada kepentingan rakyat.

Padahal tidak demikian adanya. Fenomena ini lebih pantas disebut sebagai sinetronisasi populisme para elit publik. Sebuah tontonan populisme (humanis) yang sangat memuakan, melahirkan cercaan bahkan seharusnya dikutuk. Karenanya, ia (sinetronisisasi populis) haruslah dibaca sebagai bencana kemanusiaan karena sesungguhnya mentalitas pengabdian pejabat publik pada rakyat telah menjadi rusak-membusuk. Bagaimana tidak, jika karut-marutnya sistim dan penyelenggaran pelayanan kesehatan di RSUD Kupang ini secara tersirat atau memberikan kesan kuat tengah terjadi pertarungan elit lokal dalam memperebutkan kesempatan membangun citra politik mereka di hadapan publik NTT. 

 Bencana Kemanusiaan: Mengolah Cacat sebagai Make Up Politik 

Dandaisme Politisi
Menjadi bencana kemanusiaan kerena modus operandi pencitraan sebenarnya dilakukan dengan memanfaatkan cacat ganda elit publik. Cacat pertama ialah tidak berlajannya amanah pelayanan kepada rakyat yang diemban para elit dalam rangka pemenuhan Hak atas Kesehatan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara, cacat kedua ialah cacat pertama yang kemudian melahirkan cacat lanjutan atau akibat dari tidak berjalannya amanah pelayanan dari cacat pertama tadi, yakni ketertindasan dan penderitaan rakyat lantaran tidak terpenuhinya Hak atas Kesehtaan mereka. Akmulasi cacat ini, pada ujungnya membuat rakyat terpaksa melepaskan mimpi tentang kehidupan yang sehat dan makmur.

Jika demikian adanya, maka di sinilah titik kritisnya: para elit mengolah kembali cacat gandanya menjadi bahan baku (komoditi) politik pencitraan. Elit publik mendandani “wajah bopeng” mereka dengan meke-up pelanggaran Hak Asasi Kesehatan Rakyat Nusa Tenggara Timur.

Karenanya, ini bukan lagi urusan kemanusiaan. Bukan pula urusan keberpihakan politik pada rakyat. Ataupun urusan menghadirkan budaya politik yang bermartabat. Melainkan, ini adalah urusan seni berpolitik (pragmatis), seni memainkan taktik jitu dalam mendulang simpati dan dukungan rakyat dengan mempraktekan dandaisme politisi.

Sikap Reaksioner dan Politik Saling Kunci  

Saling Kunci
Nampaknya, mempercantik diri menjelang pentas elektoral di NTT, baik pada Pilgub (2013) dan Pileg (2014), seolah telah menjadi tradisi dalam politik dandaisme para elit. Para elit menjadi sedemikian kritis dan garang membantai lawan demi rakyat selalku tuan sesungguhnya dari sistim demokrasi. Namun, isi kritik mereka kosong dan tak menyentuh substansi persoalan. Ini mirip basa-basi di media massa sambil mengharapkan mahfum serta kepuasan (efek psikologis) dari rakyat atas celoteh mereka.

Mengapa demikian? Menurut hemat saya, seharusnya kritik atas problem pokok RSUD Kupang harus di arahkan pada praktek neoliberalisasi sistim kesehatan Indonesia. Berubahnya status RSUD menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah bentuk semi-privatisasi Rumah Sakit, yang membuka ruang bagi berbagai praktek komersialisasi. Termasuk di sini ialah ruang bagi pejabat negara dan swasta melakukan manuver untuk merampok anggaran kesehatan rakyat. Sistim inilah (neoliberalisme) yang telah menghancurkan sendi-sendi rasa kemanusiaan, solidritas serta budaya pengabdian, karena ujungnya selalu berurusan dengan praktek mengumpulkan profit (akumulasi modal). 

Kembali pada persoalannya. Kita bisa mengikuti seri-seri sinetronisasi elit yang rekasioner dan memang diabdikan pada pembentukan citra tertentu di hadapan publik, sekaligus menjalankan praktek politik saling kunci pada lawan (politik).

Seri pertama dibuka dengan serangan publik yang mengkritik kinerja pelayan medis serta Pejabat RSUD Kupang. “Habisnya stok obat emergensi (generik), mengakibatkan pasien Jamkesmas, Jamkesda, Jampersal harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit jumlahnya untuk membeli obat di luar formularium; pasien-pasien pengguna jaminan kesehatan ini juga diperlakukan secara diskriminatif karena diterlantarkan atau ditolak sama sekali; dokter yang mangkir dari tugas pokok kerena mementingkan proyek; kurangnya fasilitas dan tenaga dokter spesialis; bahkan kabar tentang kematian 16 pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) hanya dalam waktu sepekan karena diterlantarkan.”

Jurus-jurus “silat kampung” pejabat RSUD Kupang pun dikeluarkan. Menangkis demi mempertahankan diri dari serangan kritik publik. “Stok obat habis lantaran ada keterlambatan pada pihak distributor; banyaknya jumlah pasien dan terbatasnya ruangan; pasien datang ke IGD sudah setengah mampus.” Pihak RSUD Kupang, ngotot tidak bisa disalahkan atas situasi tersebut,” kata salah satu pejabatnya.

Seri kedua sinetronisasi, menampilkan legislatif dengan sikap yang nampaknya kritis, tapi sebenar reaksioner dan tak bernas. Anggota DPR RI, Anita Yakoba Gah dan anggota DPD, Sarah Leri Mbuik, mengkritik buruknya manajeman RSUD Kupang sebagai biang dari multi persoalan yang mencuat sat ini.  Anita Gah, yang juga merupakan salah satu calon yang akan meramaikan pentas politik pada Pilgub NTT pada 2013, berpendapat bahwa adanya indikasi memproyekkan anggaran kesehatan. Tak mau ketinggalan memanfaatkan panggung, Anggota Komisi D dan C DPRD Propinsi juga bereaksi. Mulai dari Wakil ketua, Sekretaris sampai anggota semuanya ambil bagian. Mengungkapkan penyesalan, kekecewaan, setuju dengan kritik menteri kesehatan, ditambah sedikit identifikasi masalah buruknya manajemen serta rendahnya budaya pelyanan di RSUD Kupang.  

Seri ketiga, sikap reaksioner legislatif serta desakan mencopot Direktur RSUD Kupang, dr. Alphon Anapaku, ternyata berubaha menjadi senjata efektif yang menyerang citra Gubernur NTT, Drs. Frans Liburaya. Naluri politik Liburaya pun berkerja. Dalam satu pemberitaan di media lokal, Liburaya mencurigai Ibrahim. A. Medah, Ketua DPRD NTT, yang juga merupakan pesaing politiknya dalam pertarungan Pilgub nanti, sebagai otak intelektual dari boomingnya kasus penolakan RSUD Kupang terhadap pasien dari keluarga miskin yang menderita kanker, Polce Victoria. Namun, pada akhirnya Liburaya tak mampu membendung desakan publik untuk membenahi manajemen RSUD Kupang serta mengevaluasi kinerja manajemen yang ada sekarang. Liburaya benar-benar terpojok oleh kuatnya polarisasi opini publik, di mana ia diposisikan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas amburadulnya manajemen di RSUD Kupang. Terpaksa harus sedikit mengalah, atau kehilangan simpati rakyat sama sekali. Di sini, citra populismenya hendak dipertahankan di hadapan rakyat.

Dan, seri keempat dari sineronisasi elitis ini, menghadirkan sosok pahlawan. Tak lain dan tak bukan, Ketua DPRD NTT, I. A. Medah. Dengan memafaatkan posisi lawan yang melemah, sikap heroik harus ditunjukan. Ia memebrikan statement   tegas agar manajemen RSUD Kupang dirombak total.

Tak mau kehilangan kesempatan, pahlawan lain pun muncul. Anita Gah, lincah mengambil posisi menyerang  terhadap ketidakberpihakan Gubernur NTT dan DPRD NTT terhadap persolan di RSUD Kupang. Keprihatinan dan kekecewaannya dikostruksikan sebagai elit yang lebih mememiliki hati terhadap rakyat, dari pada Liburaya dan I. A. Medah.


Pesan
 
Sebagai rakyat NTT, saya merasa jika bukan karena mendekati momentum politik, maka situasinya tak sedemikian menampilakan kegigihan-kegigihan perjuangan para elit ini. Semoga saja saya keliru, karena memang manusia berubah seringan berjalannya waktu dan perubahan kondisi sosialnya.

Rakyat NTT tentu mengharapkan agar sikap kritis dan keberpihakan itu bukan musiman, melainkan konsisten dan progress sifatnya. Jika tidak demikian, maka mungkin, gambaran perilaku elit di atas menjadi sesuai, sebagaimana jauh sebelumnya telah digambarkan dan dihujat dalam beberapa bait puisi Sang penyair materialisme-realisme, sekaligus perjuang reformasi, Wiji Tukul, dalam puisinya Pesan Sang Ibu:
 “…
Tatanan negeri ini sudah hancur anakku,
Dihancurkan oleh sang penguasa negeri ini,
Mereka hanya bisa bersolek di depan kaca,
Tapi, membiarkan punggungnya penuh dengan noda
Dan penuh lendir hitam yang baunya kema-mana.
Mereka selalu menyemprot kemaluannya dengan parfum luar negeri,
Di luar berbau wangi, di dalam penuh dengan bakteri,
Dan hebatnya, sang penguasa negeri mampu bermain akrobat,
Tubuhnya mampu dilipat-lipat,
Yang akhirnya pantat dan kemaluannya sendiri mampu dijilat-jilat
…”

Sekian!