Oleh: James L.Ch. Faot, S.Pd
“Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda”
(Bung Karno, 28 Oktober 1963)
PENGANTAR
Sumpah
Pemuda 1928 berjiwa revolusioner. Ia ibarat anak yang lahir dari rahim sejarah
perjuangan rakyat Indonesia dalam melepaskan diri dari cengkraman kolonialisme.
Akan tetapi, dalam perjalannya, jiwa revolusionernya justru hampir pupus karena
kuatnya hegemoni imperalisme. Rakyat Indonesia mengalami proses reproduksi
kesadaran; amputasi fakta dan diorientasi nilai-nilai Sumpah Pemuda. Ia menjadi
sekedar serimoni belaka. Dalam kurun waktu yang lama, maka itu cukup untuk
membangun 1 bahkan 2 generasi baru dengan kesadaran semu yang benar-benar tidak
memiliki bekas kepalsuan. Generasi dengan kasadaran lazim yang a-historis dan
a-politis serta taken for granted.
Yang
kita harus lakukan adalah mengenali kembali dan mengembalikan sisi
revolusioner Sumpah Pemuda untuk melawan dominasi imperialisme. Setidaknya,
kaum muda harus memahami apa yang disebut konteks revolusioner dan substansi
revolusioner Sumpah Pemuda. Dengan pemahan ini, kita dapat mengidentifikasi
secara tepat apa problem riil atau tepatnya problem pokok Indonesia dan dari
sana pula kita memberikan resolusi-resolusi perjuangan menuju dicita-cita
revolusi Indonesia, yakni menuju masyarakat adil dan makmur. Inilah panggilan
dan tugas sejarah penuntasan revolusi Indonesia, yang diemban pemuda Indonesia
masa kini.
SUMPAH PEMUDA 1928: PLATFROM PERJUANGAN REVOLUSIONER
“Kami
putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”
Terkait dengan judul yang diminta oleh panitia untuk saya bawakan dalam
seminar kali ini, sebenarnya, terdapat satu hal mendasar hal yang ingin
diketengahkan dalam makalah ini, yakni mengenali kembali sisi revolusioner
Sumpah Pemuda. Menurut saya, aspek penting ini telah dihilangkan secara
sistimatis dalam berbagai refleksi rakyat terkait momentum bersejarah ini. Saya
memberikan penekanan khas terkait sisi revolusioner ini, yakni: pertama,
adalah konteks revolusioner; dan kedua adalah substansi
revolusioner dari Sumpah Pemuda itu sendiri.
Namun, dengan rendah hati, saya menyampaikan maaf kepada panitia,
karena dalam makalah ini, saya hanya akan membahas tentang konteks
revolusionernya saja. Tentu saja, ini karena alasan teknis mengenai media dan
waktu yang sangat terbatas. Saya berpikir bahwa dengan hanya mengetengahkan
satu bagian ini pun, kita dapat
mendorong diskusi menjadi lebih mendalam, lebih kaya, sebelum masuk pada
bangian yang satunya lagi, yakni substansi revolusioner.
Hegemoni di Tengah Menguatnya Gerakan
Anti-Neokolonialisme
Sejak rezim Soehato berkuasa, rekam fakta sejarah dan
nilai-nilai revolusioner yang memungkinkan momentum penyatuan gerakan progresif
pemuda Indonesia dalam melawan kolonialisme dan neo-kolonialisme serta penuntasan
revolusi Indonesia di hapus secara total seraya hanya memperbolehkan satu
versi; versi kekuasaan yang represif, versi resmi yang penuh kebohongan dan
kekeliruan.[1]
Situasi
di atas menunjukan kepada kita bahwa selain cara dominasi, imperialisme
mempertahankan status quo-nya dengan secara hegemonik. Hegemoni adalah strategi
reproduksi kesadaran quasi, menggunanakan nilai-nilai moral dan persuasif, agar
si tertindas menerima ketertindasannya dan bersikap loyal terhadap si penindas.
Penguasaan alat-alat kebudayaan adalah syarat penting suatu proses hegemonik
berhasil dengan baik.
Jika,
3-4 dasawarsa lalu, api revolusionernya berusaha dipadamkan, maka itu adalah
jawaban penting dari pertanyaan apa problem riil bangsa kita hari ini.
Dominasi Neoliberalisme (dan dampak buruknya bagi kehidupan bangsa kita, termasuk
keinginan menginterupsi suatu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila). Namun, semua ini coba ditutupi dengan sangat rapi.
Karenaya,
dapam pembahasan tentang konteks revolusioner Sumpah Pemuda ini, saya ingin
merekonstruksikan kembali fakta-fakta sejarah perjuangan pemuda yang
mengedepankan sifat revolusionernya. Sebab, peran rezim Soehato bahkan rezim
boneka neoliberal seperti rezim SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) cenderung diarahkan
pada penghapusan memori perjuangan revolusioner terkait refleksi sejarah Sumpah
Pemuda itu sendiri. Sekali lagi, semua itu bertujuan untuk membangun kesadaran
generasi muda yang a-historis dan a-politis dan taken for granted.
Mengenali dan Mengembalikan Konteks Revolusioner
Penting
untuk memahami konteks revolusioner Sumpah Pemuda, terutama dalam kerangka
memperoleh gambaran objektif dari sejarah perjuangan revolusioner pemuda
Indonesai. Dari situ, kita dapat menarik relevansinya bagi perjuangan pemuda
saat ini. Sebab, dalam membahas konteks revolusioner, sebenarnya tersedia
rujukan untuk menganalis perkembangan geopolitik dan geostrategis saat ini,
yang mana praktek kolonial dulu dan neoliberal kini harus/tetap ditempatkan
sebagai strategi imperialisme dalam menacapkan dominasinya (akan saya bahas
pada bagian kedua makalah ini, tentang; Substansi revolusioner Sumpah Pemuda).
Umar
Said, Jurnalis senior kesohor asal Indonesia,[2]
memberikan analisis konteks historis yang progresif terhadap Sumpah Pemuda.
Menurut Said, “Sumpah Pemuda 1928 berjiwa revolusioner karena menurut
sejarahnya, dicetuskan dalam suasana pergolakan
perjuangan melawan kolonialisme/imperialisme Belanda.”[3]
Untuk
memahami konteks revolusioner Sumpah Pemuda, maka kita tidak boleh
melepaskannya proses dialektika sejarah perjuangan pemuda, baik masa sebelum
dan sesudahnya. Sebab, Sumpah Pemuda adalah inspirasi yang tumbuh dari
perjuangan-perjuangan revelusioner sebelumnya, terutama pada tahun 1905-1920, 1925,
1926 dan 1927 dan sumber inspirasi bagi perjuangan-perjuangan revolusioner
setelahnya, yang bermuara pada proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Karenanya, pemahaman konteks revolusioner hanya dapat dijelaskan dengan
mengenali situasi objektif dari perjuangan pemuda di masa-masa tersebut.
Sebelum
Sumpah pemuda dikrarkan pada 1928, ada beberapa momentum sejarah yang amat
penting, di mana momentum-momentu itu merupakan bangian integral dari sejarah
perjuangan pemuda.
Kita
memahami bahwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 berlangsung
dalam Kongres Pemuda Indonesia Ke-II di Indonesische
Clubgebouw,[4] Ia pada dasarnya adalah hasil keputusan kongres
Ke-I pada tahun 1926.[5] Dari
sini, kita memiliki rujukan untuk menelusuri konteks revolusioner Sumpah
Pemuda.
Menurut Sejahrawan Sartono Kartodiharjo, yang menjadi latar
belakang munculnya pergerakan pemuda, berawal dari kesadaran akan penderitaan
rakyat selama tiga abad di bawah kaki Belanda. Kondisi ini mendorong munculnya
kaum terpelajar, hingga pada abad ke-20 di Indonesia mengalami keadaan yang
disebut Zaman Kemajuan. Disebut
demikian, karena segala bidang yang ada mulai maju, terutama dalam bidang
pendidikan.[6]
Memasuki
abad ke-20, perjuangan rakyat ditandai dengan lahirnya kesadaran berorganisasi
dan melakukan aksi-aksi perjuangan yang lebih maju dan terorganisasikan mulai
dari pemogokan sampai perjuangan rakyat bersenjata. Momentum ini telah dipandang sebagai bukti kebangkitan semangat
nasionalisme, terutama di kalangan pemuda dan pelajar serta bangkitnya kekuatan
klas buruh teroganisasi di pabrik-pabrik Belanda, sejak 1905-1920.[7]
Kebangkitan ini dicirikan dengan adanya syarat penting dalam sebuah perjuangan,
yakni pemuda kala itu telah memiliki alat perjuangan independent yang
berorientasi politis dan kritis melawan kolonialisme.[8]
Pada sisi lain, kebangkitan berbagai gerakan progresif
anti-kolonial itu, telah turut mempengaruhi cara pandang pemuda nusantara dalam
berjuang. Tumbuh lagi alat-alat perjuangan pemuda dalam bentuk
organisasi-organisasi, yang walaupun masih bersifat etno-nasionalisme (Jong
Java (1915), Jong Sumatra Bond (1917), Jong Ambon, Jong Celebes, dll), namun semuanya
bertolak dari satu motivasi dasar yakni melawan kolonialisme Belanda.
Pada 1925, di tanah Nederland,
para pemuda Indonesia membentuk Perhimpunan Indonesia (PI).[9]
Salah satu pemimpinnya adalah Moh Hatta.[10] Mereka
membaca secara baik kelemahan perjuangan pemuda yang bersifat etno-nasionalisme
itu. PI bahkan mendeklarasikan Manifesto Politik 1925,[11]
yang bertujuan untuk “mengarahkan gerakan-gerakan etno-nasionalisme menjadi
gerakan ke arah Indonesia merdeka.”[12]
Dalam
pembahasan tentang Manifsto tersebut, Sejahrawan Sartono Kartokartodirjo, berpendapat bahwa konsep
“kesatuan” merupakan usaha mentransendensi etnisitas dan regionalisme menjadi
suatu kesatuan aksi melawan kolonialisme Belanda. Karenanya, melalui media perjuangan
(majalah) Indonesia Merdeka,
PI bermaksud mengilhami dan mendorong agar kalangan pemimpin pemuda terutama di
Jawa, untuk semakin bersatu dan menghapuskan label kesukuan pada organisasi
mereka.[13]
Inspirasi
dari semangat dan prinsip perjuangan (unity
(persatuan), equality (kesetaraan),
dan liberty (kemerdekaan)) PI tahun
1925, telah mendorong pemuda menggalang konsolidasi strategis. Pada 1926,
dilakukan Kongres Pemuda Ke-I. Tujuan kongres adalah untuk menanamkan semangat
kerja sama antar perkumpulan pemuda untuk menjadi dasar persatuan Indonesia
dalam arti yang lebih luas. Namun, usaha menggalang persatuan dan kesatuan itu
belum terwujud, karena rasa kedaerahan masih kuat, misalnya masih a lot perdebatan mengenai Bahasa
Melayu atau Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.[14] Karena
itu, sidang merekomendasikan dilakukan
kongres Pemuda Ke-II, yang kemudian dilaksanakan pada 27-28 Oktober 1928 dengan
mengikrarkan Sumpah Pemuda.
Akan tetapi, para pelajar di
Jakarta dan Bandung melihat adanya dua kepentingan yang bertentangan dalam
penjajahan, yang mereka sebut sebagai antithesis kolonial yang sangat merugikan
pihak Indonesia. Antithesis ini akan dihapus apabila penjajahan sudah lenyap.
Untuk itu, maka para pelajar dari berbagai daerah pada bulan September 1926
mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) di Jakarta. PPPI
memperjuangkan Indonesia merdeka.
Peristiwa pemberontakan Partai
Komunis Indonesia (PKI) terhadap kolonialisme Belanda pada 1926 juga tidak
dapat di kesempingkan sebagai bagian penting dalam mentukan signfikansi Sumpah
Pemuda. Menurut Umar Said, “Sumpah Pemuda dilangsungkan dalam tahun
1928 ketika suasana di kalangan berbagai gerakan anti penjajahan Belanda,
terutama di kalangan angkatan mudanya, terpengaruh oleh akibat atau dampak
pembrontakan PKI tahun 1926 melawan kolonialisme Belanda…”[15]
Ketika pemberontakan PKI pada 1926 itu gagal, maka Soekarno
mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927. Sebagaimana dikemukan
Umar Said, bahwa Soekarno menyebutnya sebagai kelanjutan dari perjuangan
revolusioner melawan kolonialisme dan imperialisme. Setahun setelah pendirian
PNI, yang telah turut mendorong terealisasinya rekomendasi pelaksanaan Kongres
Pemuda Ke-II dan menghasilkan Sumpah Pemuda pada 1928, maka pada 1929 pihak
Belanda menangkap dan memenjarakan Soekarno karena mengangap PNI sebagai bagian
dari gerakan revolusioner.[16]
Gambaran situasi objektif pergerakan pemuda, pelajar dan
klas buruh Indonesia ini menjelaskan kepada kita bahwa sebenarnya Sumpah Pemuda
adalah bagian integral sekaligus kelanjutan yang berdimensi maju menuju
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Ini menegaskan juga bahwa Sumpah Pemuda
tahun 1928 adalah sumber atau cikal-bakal lahirnya pedoman-pedoman besar bangsa
Indonesia, yaitu Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Dan karenanya bisa juga dikatakan
bahwa Sumpah Pemuda berorientasi kiri
dan revolusioner.
Selanjutnya, Sumpah Pemuda menjadi inpirasi dalam perjuangan
pemuda menuju kemerdekaan. Para pemuda itu merasa, sekalipun mereka berasal
dari beragam pulau, suku, agama, dan aliran politik, namun ada hal yang
mempersatukan mereka: kesamaan nasib.
Mereka sama-sama ditindas ratusan tahun oleh kolonialisme. Karena itu, mereka
pun membayangkan sebuah komunitas bersama yang merdeka, dimana rakyat di
dalamnya bisa hidup adil dan makmur. Dari pembahasan konteksnya, Umar Said,
menyebut Sumpah Pemuda sebagai “platfrom
pluralis yang revolusioner.”
Penutup
Inilah yang dimaksudkan dengan konteks revolusioner dari
sumpah pemuda, yakni ialah lahir dari konteks sejarah perjuangan yang
anti-kolonialisme/imperialisme. Jiwa dan praktik perjuangannya bersifat
patriotik dan revolusioner serta terfokus pada musuh pokok yakni
kolonialisme/imperialisme. Dan bukannya berseteru di antara sesama saudara, dan
seturusnya. Singkatnya, mempelajari konteks revolusioner Sumpah Pemuda, maka
kita mempelajari tentang jiwa revolusoner dalam perjuangan pemuda Indonesia
yang mengalami titik kematangannya, terutama dalam pengenalan musuh pokok dan
kawan pokok dalam perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.
Bersmbung ke bagian
2…
[1] Max Lane. Mencari Indonesia Babak Ketiga. 2011,
hal. 1. http://indoprogress.com. Diakses
pada: November 2011.
[2]
Informasi tentang A. Umar Said, bisa
kunjungi personal web-nya: http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/
[3] A. Umar Said. Kembalikan
Jiwa Revolusioner Sumpah Pemuda; 2009, hal. 1. http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/Kembalikan%20jiwa%20revolusioner%20Sumpah%20Pemuda.htm. Diakes pada: Jumat, 25 Oktober 2012.
[4] Rudi Hartono. Sejarah
Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda; 2011, hal. 1. http://www.berdikarionline.com/lipsus/menuju-kongres-pemuda-pergerakan/20110520/sejarah-kongres-pemuda-dan-sumpah-pemuda.html. Diakes pada: Jumat, 28 Oktober 2011.
[5] Ibid.
[6]
Sebagai contoh,
didirikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum wanita yang bernama Hoofdenschool,
kemudian Sekolah Dokter Jawa (STOVIA). Lihat Fazar S.K. Fathah, Pergerakan Pemuda Indonesia Pada Masa
Pemerintahan Hindia Belanda,
http://banjarcyberschool.blogspot.com/2012/04/pergerakan-pemuda-indonesia-pada-masa.html. Diakes pada: Jumat, 25 Oktober 2012.
[7]
Bisa di baca dalam Perjalanan Perjuangan Pemuda Indonesia. Misalnya, Organisasi Buruh Kereta Api Staats
Spoorwegen (SS) Bond (1905); VSTP (Vereniging van Spoor–en Tram Personeel)
(1908); Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB) di Yogyakarta (1916); Persatuan Guru keluaran Kweekschool/Sekolah
Guru (1917) di Yogyakarta; Perhimpunan Kaum Buruh dan Tani (PKBT) (1918); Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) (1919);
Perserikatan Guru Bantu (PGB) di Solo, Personeel Fabrieks Bond (PFB) di
Yogyakarta, dan Kaum Buruh Pekerjaan Umum Mendirikan VIPBOW di Mojokerto
(1920).
[8]
Ibid. Kebangkitan ini dilatarbelangi oleh
pertemuan kamu pemuda terpelajar dengan
berbagai teori-teori dari negeri-negeri Barat, terutama tentang perjuangan
rakyat di berbagai negeri untuk mendapatkan kemerdekaannya seperti Revolusi
Prancis ataupun tentang Revolusi Industri, Teori-Teori Marxis dan juga situasi
tentang perkembangan internasional seperti revolusi besar Oktober 1917 di
Rusia. Hal ini telah memberikan inspirasi tersendiri bagi mereka untuk menuangkan
ide-ide akan perubahan dalam kenyataan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia di
bawah penindasan kaum kolonial Belanda.
[9]
Pada awal berdirinya
PI berawal dari didirikannya Indische Vereniging pada tahun 1908 di Belanda,
organisasi ini bersifat moderat. Sebagai perkumpulan social mahasiswa Indonesia
di Belanda untuk memperbincangkan masalah dan persoalan tanah air. Ibid,
Fazar….hal. 3.
[10] Selain Moh.
Hatta, unsur pimpinan PI lainnya adalah
JB Sitanala, Iwa Kusuma Sumantri, Sastromulyono, dan D. Mangunkusumo.
Lihat: Krisno Winarno. Manifesto Politik 1925 dan Sumpah Pemuda.2011,
hal. 2.
http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/Kembalikan%20jiwa%20revolusioner%20Sumpah%20Pemuda.htm. Diakes pada: Jumat, 25 Oktober 2012.
[11] Ibid. Manifesto
Politik 1925 berisi prinsip perjuangan, yakni unity (persatuan), equality
(kesetaraan), dan liberty
(kemerdekaan). Ia memiliki 4 (empat) pokok perjuangan, yakni: Persatuan
Nasional mengesampingkan perbedaan dan membentuk aksi melawan
Belanda serta menciptakan Negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu.
Solidaritas
yang disebabkan adanya pertentang kepentingan di antara penjajah dan
terjajah serta tajamnya konflik diantara kulit putih dan sawo matang. Non-Kooperasi
yaitu kemerdekaan bukan Hadiah Belanda, tetapi harus direbut dengan
mengandalkan kekuatan sendiri. Swadaya mengandalkan
kekuatan sendiri dengan mengembangkan struktur alternative dalam kehidupan
nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum yang sejajar dengan administrasi
kolonial. Selengkapnya bisa dibaca di alamat ini: http://nadyarama.wordpress.com/2012/04/11/peran-manifesto-politik-tahun-1925-dalam-proses-pembentukan-identitas-kebangsaan-indonesia/. Diakes pada: Jumat, 25 Oktober 2012.
[12] Ibid.
[13] Ibid. Karena
tuduhan penghasutan untuk pemberontakan terhadap Belanda, maka tahun 1927
tokoh-tokoh PI diantaranya M. Hatta, Nasir Pamuncak, Abdul Majid Djojonegoro
dan Ali Sastroamidjojo ditangkap dan diadili. Selengkapanya bisa di baca dalam
tulisan: Fazar S.K.
Fathah, Pergerakan
Pemuda Indonesia Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda,
http://banjarcyberschool.blogspot.com/2012/04/pergerakan-pemuda-indonesia-pada-masa.html. Diakes pada: Jumat, 25 Oktober 2012.
[14]
Op.Cit, Rudi Hartono. Tabrani Soerjowitjitro,
salah satu tokoh penting dari kongres pertama, peserta kongres pertama sudah
bersepakat menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan. Akan tetapi, pada
saat itu, Tabrani mengaku tidak setuju dengan gagsan Yamin tentang penggunaan
bahasa melayu. Menurut Tabrani, kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu
bernama Indonesia, maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan
bahasa Melayu, walaupun unsur-unsurnya Melayu.
[15]
Op.Cit. Umar said…
Makalah disampaikan dalam
acara Seminar Sehari dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928, dengan tema: “Peran Generasi Muda
Dalam Menghayati Nilai-nilai Sumpah Pemuda.” Diselenggarakan Oleh Dewan
Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI)
Cabang Kupang St. Fransiskus Xaverius, di Hotel Rhomyta, pada: Selasa, 30
Oktober 2012.
Aktivis Politik dari Dewan Pengurus Cabang Partai Kebangkitan Bangsa -
Kota Kupang (DPC PKB – Kota Kupang) dan Koordinator Umum di Jaringan Advokasi
Kesehatan (JAK).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar