Oleh:
James Faot, dkk.
I
|
ntelektual pendidikan kritis
Indonesia, Mansour Fakih (dalam O’neil, 2001), pernah mengemukakan bahwa para
praktisi pendidikan, buruh, petani maupun rakyat, [dan atau mahasiswa] banyak
yang tidak sadar bahwa ia tengah terlibat dalam suatu pergumulan
politik dan ideologi melalui arena pendidikan. Menurutnya, umumnya orang
memahami pendidikan sebagai suatu kegiatan mulai yang selalu mengandung
kebijakan dan senantiasa berwatak netral. Fakih menjelaskan bahwa dunia
pendidikan terkejut, ketika asumsi di atas mendapatkan kritik mendasar dari
Paulo Freire dan Ivan Illich, yang menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan
yang selama ini hampir dianggap sakral, penuh kebijakan tersebut ternyata
mengandung juga penindasan.
Media Sosialisasi: Subordinasi Kekuasaan
U
|
ntuk memahami tesis di atas, kita
membutuhkan suatu perangkat teoritik yang handal, di mana pendekatannya mampu memperlakukan
realistas alam dan masyarakat sebagai totalitas yang bersifat saling berkaitan,
dialektis, serta dapat dijelaskan kerena berlandaskan dasar material konkret
yang terjadi dalam masyarakat. Sebab, pendidikan merupakan proses historis. Sebagai proses historis, ia sangat ditentukan oleh
perkembangan masyarakat, terutama perkembangan material-ekonominya. Dengan kata
lain, hanya dengan cara pandang menyeluruh, dialektis dan didasarkan pada
bukti-bukti material, barulah kita memiliki pemahaman yang objektif¾bukan subjektif¾terhadap
persolan pendidikan di atas.
Menjawab kebutuhan ini, maka
dipilih perangkat teoritik Materialisme
Dialektika Historis (MDH), dari filsuf,
sejarawan dan ekonom termasyur, Kalr Marx. Karenanya, pendekatan yang digunakan
dalam tulisan ini adalah pendekatan yang dipengaruhi oleh pandangan Marxisme,
terutama dalam memahami realitas pendidikan.
Menurut Soyomukti (2010), Marx
menempatkan pendidikan pada wilayah struktur
atas (superstruktur) yang disangga
oleh (ditentukan) oleh ekonomi (hubungan produksi dan alat-alat produksi)
sebagai struktur bawah (basis struktur) yang merupakan fondasi perkembangan
masyarakat. Dikarenakan pendidikan juga merupakan proses yang mana filsafat,
ide(ologi), agama dan seni diajarkan.
Mengacu pada pandangan Marx, maka
pendidikan (sebagaimana pula agama,
media massa, politik-ideologi) merupakan media
sosialisasi pandangan hidup atau nilai-nilai pihak penguasa. Dengan
tujuan, memastikan adanya legitimasi serta
loyalitas masyarakat terhadap sistim dan struktur kekuasaan. Fungsi demikian,
menegaskan bahwa pendidikan terintegrasi dengan politik sebagai superstruktur, sekaligus
ia sendiri bersifat politis, bukan a politik.
Contoh konkrit pendidikan sebagai
media sosialisasi nilai penguasa yang selalu bersifat politis, nampak pada kebijakan-kebijakan
(pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya, dll.), yang hakekatnya adalah
produk politik. Karenaya, dunia pendidikan adalah wilayah pertarungan
kepentingan. Sebagai demikian, maka pendidikan merepresentasi kepentingan kelas berkuasa. Dan ini
berarti, pendidikan merupakan subordinasi
kekuasaan.
Jadi, jelas bagi kita bahwa pendidikan
adalah wilayah historis, tidak netral, tidak bebas
kepentingan dan tidak selalu
bertujuan mulai/sakral, tetapi ia adalah wadah pertarungan politik-ideologi¾untuk
mengakomodasi kepentingan kelas penguasa.
Ideologi-Ideologi
Pendidikan
S
|
ecara etimologis ideologi berasal
dari dua suku kata, yakni “ideos” yang berarti ide atau konsep dan
“logos” yang berarti ilmu. Demikian
maka ideologi diartikan ilmu yang
mempelajari ide manusia, atau ilmu tentang ide-ide (Rohman, 2009).
Sedangkan, menurut Sargent (dalam O’neil, 2001), secara terminologis, ideologi
diartikan sebagai”
…sistim nilai atau keyakinan yang
diterima suatu kelompok masyarakat. Ia tersusun dari serangkaian sikap terhadap
lembanga serta proses masyarakat. Ia menyediakan sebuah potret dunia
sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya dunia itu bagi mereka yang
meyakininya. Dan, dengan melakukan itu, ia mengorganisir kerumitan atau
kompleksitas yang besar di dunia menjadi sesuatu yang cukup sederhana dan bisa
dipahami […].
Ideologi memiliki fungsi praktis
yakni bagaimana memandu perilaku pengikutnya untuk bertindak dan mencapai
tujuan-tujuan yang mereka yakini. Dengan kata lain, ideologi merupakan suatu
pola gagasan-gagasan yang berfungsi sebagai pengarah perilaku atau diniatkan
terutama untuk mengarahkan tindakan sosial, dan bukan sekadar menjernihkan
ataupun menata pengetahuan. Pada sisi lainnya, ideologi juga dipandang sebagai
sebab sekaligus akibat dari perubahan
sosial yang mendasar (O’neil, 2001).
Dalam pembahasan ini, ideologi-ideologi
pendidikan yang dibahas mengikuti pemetaan ideologi pendidikan menurut Henry Goroux
dan Aronowitz (1985, dalam Fakih, 2001). Mereka membagi ideologi pendidikan
menjadi 3 (tiga) aliran, yakni: konservatif, liberal, dan kritis.
Konservatif
Menurut Fakih, dkk. (2000),
ideologi konservatif memandang bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan hukum keharusan alami. Ketidaksederajatan
ini adalah suatu hal yang mustahil dihindari serta sudah merupakan ketentuan
sejarah. Perubahan sosial bagi penganut paham ini bukanlah sesuatu yang harus
diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia bertambah sengsara
saja.
Salah satu keyakinan klasik dari
kelompok ini ialah mereka berkeyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak
dapat merencanakan perubahan atau paling tidak mempengaruhi perubahan sosial
(Rohman, 2009). Itulah mengapa secara intrinsik kaum konservatif memandang sikap pasif/vatalis terhadap takdir merupakan cara paling benar dalam
menunggu perubahan¾karena perubahan akan jatuh dari
langit?
Menurut
Fakih, dkk. (2000), dalam perkembangannya kaum konservatif menyalahkan
subjeknya. Kaum ini memandang bahwa masyarakat yang menderita, orang miskin,
buta huruf, tertindas, dll., menjadi demikian kesalahan mereka sendiri. Mereka menuduh bahwa kondisi demikian merupakan
akibat logis yang ditimbul karena kurang berusaha. Mengapa demikian, karena
basis kesadaran kaum konservatik bersifat “mejikal,” sehingga mereka cenderung mengabsoludkan
faktor transenden sebagi penentu keberhasilan dan ketidakberhasilan (Faot,
2011).
Dengan
demikian, kaum konservatif tidak mengaggap rakyat memiliki kekuatan atau
kekuasaan untuk merubah kondisi, melainkan menerima (Rohman, 2009). Bagi kaum
ini, tujuan pendidikan ialah menjaga terpeliharanya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik dan kontradiksi.
Implikasinya, kaum konservatik bersikap anti-intelektual, otoritarian, pro status quo (O’neil, 2002) dan
memperlakukan pendidikan sebagai a
politik (Fakih, dkk., 2000).
Liberal
Sedikit
berbeda dengan kaum konservatif, kaum liberal berkeyakinan bahwa memang ada
masalah di masyarakat, tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan
persoalan politik dan ekonomi (Fakih, dkk., 2000). Bagi kaum ini, tugas
pendidikan juga tidak ada hubungannya dengan persoalan politik dan ekonomi.
Namun, pada
sisi lain, inkonsistensi paradigmatik
ini nampak pada kaum liberal. Sebab, mereka selalu berusaha untuk menyesuaikan
pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan
jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan melalui usaha
reformasi struktural, termasuk dalam pendidikan.
Kaum ini
sering berbicara misalnya, untuk meningkatkan mutu pendidikan, sekolah harus
memiliki guru professional, sarana pendidikan yang mutahkir (komputerisasi,
internetisasi, loboratorium, dll.). Pembelajran harus berlangsung dengan
metodologi yang mendorong efektifitas dan efisiensi hasil belajar, dll.
Akar dari
pendidikan ini adalah liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan
pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan
sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep
pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita -cita Barat tentang
individualisme.
Salah satu
pengaruh yang paling buruk dari pengaruh liberalisme dalam pendidikan
individualis yakni adanya angapan bahwa manusia adalah atomistik dan otonom.
Menempatkan individu secara atomistik, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan
masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil
(Soyomukti, 2010).
Dengan
demikian, maka kaum liberal dan konservatif sama-sama berpendirian bahwa
pendidikan adalah a-politik dan excellence haruslah merupakan target
utama penyelenggaraan pendidikan.
Kritis
Kaum kritis
memahami bahwa pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Kaum ini menghendaki perubahan struktur
secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada.
Bagi kaum kritis, penindasan kelas dan diskriminasi dalam mayarakat tercermin
pula dalam dunia pendidikan.
Dalam
paradigma kritis, urusan pendidikan adalah melakukan
refleksi kritis terhadap the dominant
ideology ke arah transformasi sosial.
Oleh karena itu, tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistim dan sruktur
ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistim sosial
yang lebih adil.
Pendidikan
tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral,
bersikap obyektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistim dominan
sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta
sistim sosial baru dan lebih adil. Singkatnya, bagi kaum kritis, pendidikan harus
mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas
dan kritis untuk transformasi sosial.
Pendidikan Indonesia:
Siklus Pertarungan Ideologis
P
|
roblem
pokok pendidikan Indonesia
ialah sepanjang perkembangan sejarahnya, ia relatif tidak pernah terbebas dari
cengkraman kapitalisme global
(Faot, 2010).
Frasa “relatif” di sini mengacu pada pengertian bahwa pada fase tertentu dalam
sejarah Indonesia, baik pada masa politik etis terjadi pertarungan ideologis
antara kaum muda Indonesia dari kalangan priyai terpelajar dengan penjajah
Belanda, dan terutama di era Bung Karno, diupayakan penyelenggaraan pendidikan
Indonesia yang menjadikan ideologi Pancasila
sebagai ideologi pemandu pembangunan
bangsa, sekaligus anti-tesa terhadap
ideologi liberalisme-kapitalisme.
Kolonial (1900-1930)
Penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia pada masa kolonial (akhir abad 20), bukan merupakan wujud
keprihatinan dan kebaikan hati kolonial untuk memajukan pengetahuan dan
kesejahteraan rakyat Indonesia
(Sparague, 2010). Pendidikan kala itu merupakan paket agenda politik etis kolonial dalam rangka mempersiapkan
tenaga kerja terdidik dan terampil agar mampu mengelola industri-industri Belanda
(Oktovianus, 2009). Jadi, pendidikan kolonial merupakan skenario penciptaan
basis dasar industrialisasi, seiring dengan perkembangan kapitalisme dan perubahan
geopolitik ekonomi global. Singkatnya, “pendidikan era kolonialisme adalah
ekspresi ekonomi kapitalis” (Sparague, 2010).
Dari politik etis kolonial, tumbuh
gerakan perlawanan dan perebutan kemerdekaan Indonesia yang dimotori oleh kaum
Nasionalis, Marxis, dan Islam. Menurut Mike Tyas (2011), pada 1908 Budi Utomo,
menggagas Studiofont (beasiswa) untuk
membantu para pelajar Jawa yang kurang mampu. Pada 1921 Tan Malaka S.I. School
(Sarekat Islam) untuk membantu kaum miskin memperoleh pendidikan. Demikian
pula, Mohamad Syafei mendirikan Indonesia Nederlanse School (INS) di Sumatra
Barat pada 1926; Ki Hajar Dewantara Nationaal Ondewijs Instituut Taman Siswa
(Perguruan Tinggi taman Siswa) pada 1922; serta Kyai Ahmad Dahlan mendirikan
organisasi agama islam pada 1912 di Yokyakarta, yang kemudian berkembang
menjadi pendidikan muhammadiyah.
Walaupun, terdapat perbedaan aliran
politik, namun konteks perjuangan melalui pendidikan Indonesia di masa
kolonial, memiliki cara pandang yang sama terhadap pendidikan dan tujuannya,
yakni pendidikan sebagai alat perjuangan merebut kemerdekaan. Ketiga aliran politik ini (nasionalis,
agamais dan marxisme), kemudian disintesa oleh Bung Karno dan dijadikan sebagai
ideologi bangsa Indonesia, yakni Pancasila (Hartono, 2010).
Orla (1945-1965)
Pada masa Orde Lama (Orla), pendidikan di bawah kekuasaan
Soekarno. Ini merupakan satu faset kekuasaan, yang mana ideologi dan politik
pemerintahan memiliki kedaulatannya
(Faot, 2011). Moh Yamin (2009), konsep
pendidikan Soekarno berasaskan sosialisme
menjadi tajuk dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk, dijalankan dan dilakoni
sedemikian rupa demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia yang akan
datang. Konsep
pendidikan sosialisme memiliki prinsip dasar egalitarian, yakni pendidikan
merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial apapun serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya
terhadap derajat yang sama di depan hukum dan kemanusiaan, sehingga tidak
membeda-bedakan faktor
suku, ras dan agama. Melalui pendidikan, pemerintah berupaya membangun semangat
anti-kolonialisme dan neokolonialisme
serta nation and character building.
Orba
(1966-1998)
Di era Orde Baru (Orba) dominasi
liberalisme jauh lebih konkret. Pasca kudeta Presiden Seokarno oleh Soeharto yang
didalangi Cenral Intelligence Agency (CIA),
model pembangunan Indonesia di bawah doktrin “Pembangunanisme” jelas
merepresentasi kepentingan kapitalisme. Secara politis, pembangunanisme adalah proyek neo-kolonialisme oleh
kapitalisme terhadap negara-negara Dunia Ketiga (Fauzi Rahman, 2010). Ini adalah
ideologi teknokratik yang
menekankan nilai-nilai efisiensi, efektifitas, harmoni, dan konsensus sebagai
prasyarat penting dalam pembangunan ekonomi serta terwujudnya stabilitas
politik (Rohman, 2009). Itulah mengapa, Soeharto berupaya membangun bangsa ini
melalui dana hutang luar negeri dan liberalisasi ekonomi serta kontrol militer
(otoriter). Sebagaimana dikemukakan Oktovianus (2009), dalam artikelnya, Akumulasi Kapital dan Human Capital, bahwa
hasil kebijakan pendidikan Orba, dari sisi penambahan human capital menunjukkan “pola piramida,” di mana tenaga kerja terbanyak
memiliki tinggkat pendidikan SD ke bawah, lalu diikuti dengan SMP dan SMA dan
yang paling sedikit ialah tenaga kerja dengan tingkat pendidikan tinggi seperti
Diploma dan Sarjana. Kerenaya, kebijakan pendidikan Orba merepresentasi
kepentingan politik ekonomi kapitalis dalam rangka menciptakan basis tenaga
kerja murah guna menopang, terutama kebutuhan industri manufaktur dan
infrastruktur yang dibiayai dengan hutang.
Reformasi (1998-Sekarang)
Era ini adalah era yang paling terbuka, di mana
kekuatan ideologi dominan liberal-kapitalis mendeterminasi kebijakan pendidikan
Indonesia. Hal ini nampak jelas pada produk-produk kebijakan itu sendiri. Penandatangan
hutang luar negeri oleh Presiden Habibie dengan IMF, yang salah satu syaratnya
ialah liberalisasi dan privatisasi pendidikan, dapat dikatakan
sebagai babak baru dominasi serta
hegemoni neo-liberalisme terhadap dunia pendidikan Indonesia. Pasalnya, pasca
penandatangan ini, kebijakan-kebijakan pendidikan yang dinilai kontroversial
dirumuskan dan diimplementasi.
Menurut Tilaar (2010), Trend Korporatisasi Pendididik
di Indonesia, antara lain: Badan Hukum Milik Negara (BHMN); UU RI No. 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025; Sekolah
Bertaraf Internasional; Word Class
University; PP No. 22 Tahun 2007 Mengenai penanaman Modal Asing;
Vokasionalisasi Pendidikan Tinggi; Manajemen Berbasis Sekolah (MBS); Badan
Hukum Pendidikan (BHP). Dan terakhir, RUU PT, yang pada salah satu pasalnya
(pasal 90) memberikan izin penyelenggaraan PT Asing. Sejumlah kalangan yang
menolak RUU PT, menilai pemerintah berupaya mendorong liberalisasi dan meng-komersialisasi
PT (Agus Mulyadi, http://kompas.com/16/10/11).
Berdasarkan testimony, Eva Kusumandari,
politisi dari PDIP, bahwa 76 produk UU yang draftnya disusun oleh
pihak asing, seperti Bank Dunia, IMF dan USAID, telah berlangsung selama 12
tahun era reformasi. Dua diantaranya yang terkait langsung dengan pendidikan
ialah UU Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003 dan UU Penanaman Modal
No.25 tahun 2007. (Darmayana, 2010).
***
Daftar Pustaka
Darmayana, Hiski. 2010.
Imperialisme Dibalik Undang-Undang.
http://berdikari.online.com.
Faot, James. 2011. Mengurai Benang Kusut Kebijakan Pembangunan Pendidikan di NTT. Makalah, diseminarkan di Kampus Unwira Kupang,
pada 22 Oktober 2011.
2011. Problem Pokok Pendidikan Indonesia (Makalah,
tidak dipublikasi).
2011. Kajian
Akademik Kurikulum Sanggar Anak Rakyat. Serikat Rakyat Miskin Kota Kupang.
Fakih,
Mansour, Dkk. 2000. Pendidikan Populer.
Yokyakarta: Insist.
Mulyadi, Agus.
2011. Perguruan
Tinggi Asing Bisa Berdiri di Indonesia. http://
kompas.com/16 10/2011.
O’neil, F. William. 2002. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahman, N,
Fauzi. 2010. Penjaga Malam Yang Takluk
pada Mekanisme Pasar. Indoprogress.com.
Rohman, Arif.
2009. Politik Ideologi Pendidikan.
Yokyakarta: Laksbang.
Soyomukti,
Nurani. 2010. Teori-Teori Pendidikan (Tradisonal, Neoliberal, Marxis-Sosialis,
Postmodern). AR-RUZZ-MEDIA.
Sparague, Ted. 2010. Sejarah Perkembangan Kapitalisme Indonesia. http://indopregress.com.
Tilaar, H.A.R.
2009. Kekuasaan dan Pendidikan
(Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan). Jakarta: Rineka Cipta.
Tyas, Wike.
2011. Refleksi
Historis Pendidikan Indonesia,” dalam Safa, dkk., “Restorasi Pendidikan Indonesia” (Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya).
Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Yamin, Moh. 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia (Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara). Yogyakarta: AR-ARUZZ
MEDIA.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar