Kamis, 10 Mei 2012

Pendidikan Indonesia: Wadah Pertarungan Ideologi (bagian I)


            Oleh: James Faot, dkk.





Pengantar

I
ntelektual pendidikan kritis Indonesia, Mansour Fakih (dalam O’neil, 2001), pernah mengemukakan bahwa para praktisi pendidikan, buruh, petani maupun rakyat, [dan atau mahasiswa] banyak yang tidak sadar bahwa ia tengah terlibat dalam suatu pergumulan politik dan ideologi melalui arena pendidikan. Menurutnya, umumnya orang memahami pendidikan sebagai suatu kegiatan mulai yang selalu mengandung kebijakan dan senantiasa berwatak netral. Fakih menjelaskan bahwa dunia pendidikan terkejut, ketika asumsi di atas mendapatkan kritik mendasar dari Paulo Freire dan Ivan Illich, yang menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini hampir dianggap sakral, penuh kebijakan tersebut ternyata mengandung juga penindasan.  

Media Sosialisasi: Subordinasi Kekuasaan
U
ntuk memahami tesis di atas, kita membutuhkan suatu perangkat teoritik yang handal, di mana pendekatannya mampu memperlakukan realistas alam dan masyarakat sebagai totalitas yang bersifat saling berkaitan, dialektis, serta dapat dijelaskan kerena berlandaskan dasar material konkret yang terjadi dalam masyarakat. Sebab, pendidikan merupakan proses historis. Sebagai proses historis, ia sangat ditentukan oleh perkembangan masyarakat, terutama perkembangan material-ekonominya. Dengan kata lain, hanya dengan cara pandang menyeluruh, dialektis dan didasarkan pada bukti-bukti material, barulah kita memiliki pemahaman yang objektif¾bukan subjektif¾terhadap persolan pendidikan di atas.

Menjawab kebutuhan ini, maka dipilih perangkat teoritik Materialisme Dialektika Historis (MDH),  dari filsuf, sejarawan dan ekonom termasyur, Kalr Marx. Karenanya, pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan yang dipengaruhi oleh pandangan Marxisme, terutama dalam memahami realitas pendidikan.  

Menurut Soyomukti (2010), Marx menempatkan pendidikan pada wilayah struktur atas (superstruktur) yang disangga oleh (ditentukan) oleh ekonomi (hubungan produksi dan alat-alat produksi) sebagai struktur bawah (basis struktur) yang merupakan fondasi perkembangan masyarakat. Dikarenakan pendidikan juga merupakan proses yang mana filsafat, ide(ologi), agama dan seni diajarkan.

Mengacu pada pandangan Marx, maka pendidikan  (sebagaimana pula agama, media massa, politik-ideologi) merupakan media sosialisasi pandangan hidup atau nilai-nilai pihak penguasa. Dengan tujuan,  memastikan adanya legitimasi serta loyalitas masyarakat terhadap sistim dan struktur kekuasaan. Fungsi demikian, menegaskan bahwa pendidikan terintegrasi dengan politik sebagai superstruktur, sekaligus ia sendiri bersifat politis, bukan a politik.

Contoh konkrit pendidikan sebagai media sosialisasi nilai penguasa yang selalu bersifat politis, nampak pada kebijakan-kebijakan (pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya, dll.), yang hakekatnya adalah produk politik. Karenaya, dunia pendidikan adalah wilayah pertarungan kepentingan. Sebagai demikian, maka pendidikan merepresentasi kepentingan kelas berkuasa. Dan ini berarti, pendidikan merupakan subordinasi kekuasaan.

Jadi, jelas bagi kita bahwa pendidikan adalah wilayah  historis, tidak netral, tidak bebas kepentingan dan tidak selalu bertujuan mulai/sakral, tetapi ia adalah wadah pertarungan politik-ideologi¾untuk mengakomodasi kepentingan kelas penguasa.

Ideologi-Ideologi Pendidikan

S
ecara etimologis ideologi berasal dari dua suku kata, yakni “ideos” yang berarti ide atau konsep dan “logos” yang berarti ilmu. Demikian maka ideologi diartikan ilmu yang mempelajari ide manusia, atau ilmu tentang ide-ide (Rohman, 2009). Sedangkan, menurut Sargent (dalam O’neil, 2001), secara terminologis, ideologi diartikan sebagai”

…sistim nilai atau keyakinan yang diterima suatu kelompok masyarakat. Ia tersusun dari serangkaian sikap terhadap lembanga serta proses masyarakat. Ia menyediakan sebuah potret dunia sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya dunia itu bagi mereka yang meyakininya. Dan, dengan melakukan itu, ia mengorganisir kerumitan atau kompleksitas yang besar di dunia menjadi sesuatu yang cukup sederhana dan bisa dipahami […].
 
Ideologi memiliki fungsi praktis yakni bagaimana memandu perilaku pengikutnya untuk bertindak dan mencapai tujuan-tujuan yang mereka yakini. Dengan kata lain, ideologi merupakan suatu pola gagasan-gagasan yang berfungsi sebagai pengarah perilaku atau diniatkan terutama untuk mengarahkan tindakan sosial, dan bukan sekadar menjernihkan ataupun menata pengetahuan. Pada sisi lainnya, ideologi juga dipandang sebagai sebab sekaligus akibat dari perubahan sosial yang mendasar (O’neil, 2001).

Dalam pembahasan ini, ideologi-ideologi pendidikan yang dibahas mengikuti pemetaan ideologi pendidikan menurut Henry Goroux dan Aronowitz (1985, dalam Fakih, 2001). Mereka membagi ideologi pendidikan menjadi 3 (tiga) aliran, yakni: konservatif, liberal, dan kritis.    


Konservatif

Menurut Fakih, dkk. (2000), ideologi konservatif memandang bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan hukum keharusan alami. Ketidaksederajatan ini adalah suatu hal yang mustahil dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah. Perubahan sosial bagi penganut paham ini bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia bertambah sengsara saja.

Salah satu keyakinan klasik dari kelompok ini ialah mereka berkeyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak dapat merencanakan perubahan atau paling tidak mempengaruhi perubahan sosial (Rohman, 2009). Itulah mengapa secara intrinsik kaum konservatif  memandang sikap pasif/vatalis terhadap takdir merupakan cara paling benar dalam menunggu perubahan¾karena perubahan akan jatuh dari langit? 
 
Menurut Fakih, dkk. (2000), dalam perkembangannya kaum konservatif menyalahkan subjeknya. Kaum ini memandang bahwa masyarakat yang menderita, orang miskin, buta huruf, tertindas, dll., menjadi demikian kesalahan mereka sendiri. Mereka menuduh bahwa kondisi demikian merupakan akibat logis yang ditimbul karena kurang berusaha. Mengapa demikian, karena basis kesadaran kaum konservatik bersifat “mejikal,” sehingga mereka cenderung mengabsoludkan faktor transenden sebagi penentu keberhasilan dan ketidakberhasilan (Faot, 2011).

Dengan demikian, kaum konservatif tidak mengaggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi, melainkan menerima (Rohman, 2009). Bagi kaum ini, tujuan pendidikan ialah menjaga terpeliharanya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik dan kontradiksi. Implikasinya, kaum konservatik bersikap anti-intelektual, otoritarian, pro status quo (O’neil, 2002) dan memperlakukan pendidikan sebagai a politik (Fakih, dkk., 2000). 

Liberal
Sedikit berbeda dengan kaum konservatif, kaum liberal berkeyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat, tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi (Fakih, dkk., 2000). Bagi kaum ini, tugas pendidikan juga tidak ada hubungannya dengan persoalan politik dan ekonomi.

Namun, pada sisi lain, inkonsistensi paradigmatik ini nampak pada kaum liberal. Sebab, mereka selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan melalui usaha reformasi struktural, termasuk dalam pendidikan.

Kaum ini sering berbicara misalnya, untuk meningkatkan mutu pendidikan, sekolah harus memiliki guru professional, sarana pendidikan yang mutahkir (komputerisasi, internetisasi, loboratorium, dll.). Pembelajran harus berlangsung dengan metodologi yang mendorong efektifitas dan efisiensi hasil belajar, dll.

Akar dari pendidikan ini adalah liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita -cita Barat tentang individualisme.
Salah satu pengaruh yang paling buruk dari pengaruh liberalisme dalam pendidikan individualis yakni adanya angapan bahwa manusia adalah atomistik dan otonom. Menempatkan individu secara atomistik, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil (Soyomukti, 2010).

Dengan demikian, maka kaum liberal dan konservatif sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah a-politik dan excellence haruslah merupakan target utama penyelenggaraan pendidikan.

Kritis

Kaum kritis memahami bahwa pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Kaum ini menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada. Bagi kaum kritis, penindasan kelas dan diskriminasi dalam mayarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan.

Dalam paradigma kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Oleh karena itu, tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistim dan sruktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistim sosial yang lebih adil.

Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap obyektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistim dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistim sosial baru dan lebih adil. Singkatnya, bagi kaum kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial.

Pendidikan Indonesia: Siklus Pertarungan Ideologis

P
roblem pokok pendidikan Indonesia ialah sepanjang perkembangan sejarahnya, ia relatif tidak pernah terbebas dari cengkraman kapitalisme global (Faot, 2010). Frasa “relatif” di sini mengacu pada pengertian bahwa pada fase tertentu dalam sejarah Indonesia, baik pada masa politik etis terjadi pertarungan ideologis antara kaum muda Indonesia dari kalangan priyai terpelajar dengan penjajah Belanda, dan terutama di era Bung Karno, diupayakan penyelenggaraan pendidikan Indonesia yang menjadikan ideologi Pancasila sebagai ideologi pemandu pembangunan bangsa, sekaligus anti-tesa terhadap ideologi liberalisme-kapitalisme.


Kolonial (1900-1930)


Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia pada masa kolonial (akhir abad 20), bukan merupakan wujud keprihatinan dan kebaikan hati kolonial untuk memajukan pengetahuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia  (Sparague, 2010). Pendidikan kala itu merupakan paket agenda politik etis kolonial dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja terdidik dan terampil agar mampu mengelola industri-industri Belanda (Oktovianus, 2009). Jadi, pendidikan kolonial merupakan skenario penciptaan basis dasar industrialisasi, seiring dengan perkembangan kapitalisme dan perubahan geopolitik ekonomi global. Singkatnya, “pendidikan era kolonialisme adalah ekspresi ekonomi kapitalis” (Sparague, 2010).

Dari politik etis kolonial, tumbuh gerakan perlawanan dan perebutan kemerdekaan Indonesia yang dimotori oleh kaum Nasionalis, Marxis, dan Islam. Menurut Mike Tyas (2011), pada 1908 Budi Utomo, menggagas Studiofont (beasiswa) untuk membantu para pelajar Jawa yang kurang mampu. Pada 1921 Tan Malaka S.I. School (Sarekat Islam) untuk membantu kaum miskin memperoleh pendidikan. Demikian pula, Mohamad Syafei mendirikan Indonesia Nederlanse School (INS) di Sumatra Barat pada 1926; Ki Hajar Dewantara Nationaal Ondewijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Tinggi taman Siswa) pada 1922; serta Kyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi agama islam pada 1912 di Yokyakarta, yang kemudian berkembang menjadi pendidikan muhammadiyah.
Walaupun, terdapat perbedaan aliran politik, namun konteks perjuangan melalui pendidikan Indonesia di masa kolonial, memiliki cara pandang yang sama terhadap pendidikan dan tujuannya, yakni pendidikan sebagai alat perjuangan merebut kemerdekaan. Ketiga aliran politik ini (nasionalis, agamais dan marxisme), kemudian disintesa oleh Bung Karno dan dijadikan sebagai ideologi bangsa Indonesia, yakni Pancasila (Hartono, 2010).    

Orla (1945-1965)

Pada masa Orde Lama (Orla), pendidikan di bawah kekuasaan Soekarno. Ini merupakan satu faset kekuasaan, yang mana ideologi dan politik pemerintahan memiliki kedaulatannya (Faot, 2011). Moh Yamin (2009), konsep pendidikan Soekarno berasaskan sosialisme menjadi tajuk dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk, dijalankan dan dilakoni sedemikian rupa demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia yang akan datang. Konsep pendidikan sosialisme memiliki prinsip dasar egalitarian, yakni pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial apapun serta  memberikan penghargaan setinggi-tingginya terhadap derajat yang sama di depan hukum dan kemanusiaan, sehingga tidak membeda-bedakan faktor suku, ras dan agama. Melalui pendidikan, pemerintah berupaya membangun semangat anti-kolonialisme dan neokolonialisme serta nation and character building.
Orba  (1966-1998)

Di era Orde Baru (Orba) dominasi liberalisme jauh lebih konkret. Pasca kudeta Presiden Seokarno oleh Soeharto yang didalangi Cenral Intelligence Agency (CIA), model pembangunan Indonesia di bawah doktrin “Pembangunanisme” jelas merepresentasi kepentingan kapitalisme. Secara politis, pembangunanisme adalah proyek neo-kolonialisme oleh kapitalisme terhadap negara-negara Dunia Ketiga (Fauzi Rahman, 2010). Ini adalah ideologi teknokratik yang menekankan nilai-nilai efisiensi, efektifitas, harmoni, dan konsensus sebagai prasyarat penting dalam pembangunan ekonomi serta terwujudnya stabilitas politik (Rohman, 2009). Itulah mengapa, Soeharto berupaya membangun bangsa ini melalui dana hutang luar negeri dan liberalisasi ekonomi serta kontrol militer (otoriter). Sebagaimana dikemukakan Oktovianus (2009), dalam artikelnya, Akumulasi Kapital dan Human Capital, bahwa hasil kebijakan pendidikan Orba, dari sisi penambahan human capital menunjukkan “pola piramida,” di mana tenaga kerja terbanyak memiliki tinggkat pendidikan SD ke bawah, lalu diikuti dengan SMP dan SMA dan yang paling sedikit ialah tenaga kerja dengan tingkat pendidikan tinggi seperti Diploma dan Sarjana. Kerenaya, kebijakan pendidikan Orba merepresentasi kepentingan politik ekonomi kapitalis dalam rangka menciptakan basis tenaga kerja murah guna menopang, terutama kebutuhan industri manufaktur dan infrastruktur yang dibiayai dengan hutang.

Reformasi (1998-Sekarang)

Era ini adalah era yang paling terbuka, di mana kekuatan ideologi dominan liberal-kapitalis mendeterminasi kebijakan pendidikan Indonesia. Hal ini nampak jelas pada produk-produk kebijakan itu sendiri. Penandatangan hutang luar negeri oleh Presiden Habibie dengan IMF, yang salah satu syaratnya ialah liberalisasi dan privatisasi pendidikan, dapat dikatakan sebagai babak baru dominasi serta hegemoni neo-liberalisme terhadap dunia pendidikan Indonesia. Pasalnya, pasca penandatangan ini, kebijakan-kebijakan pendidikan yang dinilai kontroversial dirumuskan dan diimplementasi.

Menurut Tilaar (2010), Trend Korporatisasi Pendididik  di Indonesia, antara lain: Badan Hukum Milik Negara (BHMN); UU RI No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025; Sekolah Bertaraf Internasional; Word Class University; PP No. 22 Tahun 2007 Mengenai penanaman Modal Asing; Vokasionalisasi Pendidikan Tinggi; Manajemen Berbasis Sekolah (MBS); Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dan terakhir, RUU PT, yang pada salah satu pasalnya (pasal 90) memberikan izin penyelenggaraan PT Asing. Sejumlah kalangan yang menolak RUU PT, menilai pemerintah berupaya mendorong liberalisasi dan meng-komersialisasi PT (Agus Mulyadi, http://kompas.com/16/10/11).

Berdasarkan testimony, Eva Kusumandari, politisi dari PDIP, bahwa 76 produk UU yang draftnya disusun oleh pihak asing, seperti Bank Dunia, IMF dan USAID, telah berlangsung selama 12 tahun era reformasi. Dua diantaranya yang terkait langsung dengan pendidikan ialah UU Pendidikan Nasional No.20 tahun  2003 dan UU Penanaman Modal No.25 tahun 2007. (Darmayana, 2010). 

***

Daftar Pustaka

Darmayana, Hiski. 2010. Imperialisme Dibalik Undang-Undang. http://berdikari.online.com.
Faot, James. 2011. Mengurai Benang Kusut Kebijakan Pembangunan Pendidikan di NTT.  Makalah, diseminarkan di Kampus Unwira Kupang, pada 22 Oktober 2011.

     2011. Problem Pokok Pendidikan Indonesia (Makalah, tidak dipublikasi).

     2011. Kajian Akademik Kurikulum Sanggar Anak Rakyat. Serikat Rakyat Miskin Kota Kupang.

Fakih, Mansour, Dkk. 2000. Pendidikan Populer. Yokyakarta: Insist.

Hartono, Rudi. 2010. Bung Karno dan Konsep Persatuannya. http://berdikari.online.com/10/11/10.

Mulyadi, Agus. 2011. Perguruan Tinggi Asing Bisa Berdiri di Indonesia. http:// kompas.com/16 10/2011.

O’neil, F. William. 2002. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.

Oktovianus,  Dominggus. 2009. Akumulasi Kapital dan Human Capital, http://arahkiri.blogspot.com.

Rahman, N, Fauzi. 2010. Penjaga Malam Yang Takluk pada Mekanisme Pasar. Indoprogress.com.

Rohman, Arif. 2009. Politik Ideologi Pendidikan. Yokyakarta: Laksbang.

Soyomukti, Nurani. 2010.  Teori-Teori Pendidikan (Tradisonal, Neoliberal, Marxis-Sosialis, Postmodern). AR-RUZZ-MEDIA.

Sparague, Ted. 2010. Sejarah Perkembangan Kapitalisme Indonesia. http://indopregress.com.

Tilaar, H.A.R. 2009. Kekuasaan dan Pendidikan (Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan). Jakarta: Rineka Cipta.

Tyas, Wike. 2011. Refleksi Historis Pendidikan Indonesia,” dalam Safa, dkk., “Restorasi Pendidikan Indonesia” (Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya). Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.

Yamin, Moh. 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia (Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara). Yogyakarta: AR-ARUZZ MEDIA.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar