Oleh: James Faot
Suatu ciri khas rezim neoliberal
adalah bahwa sistim harus dirancang untuk mempersiapkan jalan mulus akumulasi
kapital. Karena, sektor pendidikan tidak terpisahkan sektor lainnya, maka
kebijakan rezim akan diupayakan sedemikian rupa agar sistim-sistim ini menjadi
koheren dan sinergis, sehingga memastikan adanya dukungan maksimum untuk
menyelenggarakan negara berdasarkan selera atau tepatnya kepentingan mereka. Ini
mengartikan bahwa kita telah kehilangan kedaulataan untuk mengurus diri
sendiri.
Kebijakan
Pendidikan: Milik Siapa yang Berkuasa
Kebijakan pendidikan merupakan
kebijakan publik. Ia bersangkut paut dengan kepentingan manusia untuk
mencerdaskan diri serta membangun harkat dan martabatnya. Karenaya, pendidikan
merupakan wahana pengembangan potensi semua manusia.
Namun, “pendidikan bukanlah
wilayah yang terpisah dari perkembangn ekonomi dan politik yang ada”[i]
dalam masyarakat. Hal ini nampak jelas
berlaku dalam konteks perumusan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik,
yang selalu terkait dengan proses perumusan dan implementasi keputusan politik.
Oleh karena itu, dalam perumusan kebijakan, tidak terhindarkan pertarungan
kepentingan. Dengan perkataan lain, pertarungan politik dan ideologi memang
berlangsung melalui arena pendidikan.[ii]
Sehingga, seperti apa sebuah kebijakan pendidikan dihasilkan, selalu
mencerminkan pandangan ideologis pihak yang berkuasa.
Inilah mengapa ketika Indonesia
jatuh dalam cengkraman neoliberal, kebijakan publik¾termasuk kebijakan pendidikan¾sangat mewakili kepentingan
kapitalis sebagai kelas dominan.
I.
Indonesia Kehilangan Kedaulatan Mengurus
Pendidikan
1. Orba:
Pendidikan alat kekuasan melindungi kepentingan modal
Pasca
reformasi politik 1998, diikuti dengan tuntutan untuk mereformasi sistim
pendidikan nasional semakin menguat. Krisis multidimensi Indonesia mengandaikan
merosotnya kepercayaan terhadap sistem budaya, sosial, politik serta sistem
pendidikan yang lama. Sebab, sistem-sistem tersebut tidak lagi mampu mencerna
masalah dan mengakomodasi aspirasi dan tuntutan kontekstual yang baru. [iii]
Krisis ini tentu bukan tanpa
sebab, tentu saja ia memiliki proses historis, terutam tentang bagaimana rezim
Orba di bawah pimpinan Soeharto memadukan doktrin-doktrin ideologi
“Pembangunanisme” dan doktrin “Dwifungsi ABRI.”[iv]
“Pembangunanisme” adalah ideologi
teknokratik yang yang menekankan nilai-nilai efisiensi, efektifitas, harmoni,
dan konsensus sebagai prasyarat penting dalam pembangunan ekonomi serta
terwujudnya stabilitas politik. Secara lebih lugas, “Pembangunanisme” atau Developmentalism merupakan suatu proyek
investasi pasa-perang dunia kedua terhadap negara-negara “dunia ketiga” yang
berkembang dalam dekolonialisasi dan perang dingin (cold war). Sedangkan, “Dwifungsi ABRI” adalah suatu doktrin yang
membenarkan sekaligus mengesahkan peran militer dalam urusan-urusan
non-militer.
Di masa Orba, hubungan negara dan
pendidikan bersifat timpang, yang menyebabkan dependensial pendidikan terhadap negara. Bahkan, tragisnya hubungan
bersifat eksploitatif dari negara terhadap pendidikan. Karenanya, pendidikan
dijadikan sebagai alat kepentingan
kekuasaan negara, terutama dalam mengamankan kepentingan modal asing[v]
dan praktek kroni ekonomi Soeharto.
Gambaran konkritnya ialah
pembangunanisme merupakan pintu masuk ekspansi modal internasional dalam bentuk
hutang luar negeri yang menghasilkan booming pada sektor industri, terutama
sektor manufaktur dan infrastruktur.[vi]
Cara bagaimana kapitalisme memperoleh basis tenaga kerja murah selalu
dikendalikan melalui hutang. Kebijakan anggaran pendidikan Orba hanya berkisar
8%.[vii]
Minimnya alokasi anggaran, merupakan akibat langsung dari tekanan hutang,
dimana negara harus memprioritaskan dan mengalokasikan lebih besar APBN untuk
pembayaran hutang luar negeri serta minimnya penguasan negara atas
sumber-sumber produksi vital, misalnya migas. Terbatasnya lembaga pendidikan
negeri terutama (SMP dan SMA) serta rendahnya kualitas pelayanan pendidikan
merupakan proses logis dan penciptaan basis tenaga kerja murah di Indonesia.
Namun, pada sisi, lain Orba berupaya membangun indikator palsu (pencitraan)
keberhasilan pembangunan melalui bidang pendidikan dengan penentuan kelulusan
[cenderung] 100%.[viii]
Cara lain mempersiapkan tenaga kerja terdidik namun murah, terlihat dalam
penerapan konsep “Ling and Match” dan D1, D2, D3.[ix]
Sementara, doktrin Dwifungsi ABRI
memberikan mereka ruang politik yang terlampau kuat untuk melegalkan praktek
otoritarianisme, terutama untuk membendung kelompok kiri dan pertumbuhan
kesadaran kritis rakyat terhadap rezim. Ini adalah pola lazim ketika kapitalisme
mengendalikan militer.
Dengan demikian, kebijakan
pendidikan di masa Orba tentu harus kita tolak. Alasannya telah dikemukakan di
atas. Namun, apabila kita mencermati kebijakan-kebijakan pendidikan pasca
reformasi 1998, nampak bahwa cengkraman kapitalisme dalam muncul dengan wajah
baru, massif dan komrehensif. Hal ini tentunya terletak pada karakteristik
kekuasaan yang berlangsung di sebuah negara; Orba militeristik dan otoriter dan
Reformasi yang sipil dan demokratis.
2.
Reformasi:
Paradigma Baru Pendidikan atau Neoliberalisme
Pendidikan?
Perubahan rezim otoritarianisme
ke rezim sipil, mengusung suatu konsep politik yang kita kenal sebagai
“demokrasi.” Bahwa Indonesia pasca Orba adalah negara demokrasi. Isu politik
ini sedemikian kuat mempengaruhi dunia bangsa ini, sehingga pemerintah,
politikus, akademisi, para intelektual pendidikan, akitivis NGO, aktifis
mahasiswa bahkan masyarakat umumnya.
Demokrasi merupakan diskursus rakyat Indonesia.
Sampai-sampai dalam wacana
reformasi pendidikan, alternatif pembangunan pendidikan di Indonesia, mengusung
demokrasi sebagai tuntutan yang pertama. Anwar Arivin, misalnya, dalam tulisan
berjudul Memahami
Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS, mengemukakan bahwa beberapa konsep mendasar perubahan paradigma
pendidikan dalam UU No. 20/2033 tentang Sisdiknas; Pertama, Demokrasi dan Desentralisasi Pendidikan (Otonomi
Daerah); kedua, Peran Serta
Masyarakat; ketiga, Tantangan
Globalisasi; keempat, Kesetaraan dan
Keseimbangan, kelima, Jalur
pendidikan.[x]
H.A.R Tilaar dalam bukumya Kekuasaan dan Pendidikan (Manajemen
Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan), pada bagian pengantar, ia
mengemukakan bahwa “…Pendidikan tidak terlepas dari kancah pemupukan kekuasaan
dalam politik praktis. Cetakan I buku ini dipicu oleh percaturan kekuasaan di
dalam DPR pada waktu itu dalam penyusunan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim pendidikan
Nasional.”[xi]
Jika, kita
sedikit menoleh pada kebelang (± mendekati tiga dekade), pada rezim Orba, maka
kita mendapati bahwa “Paradigma Baru Pendidikan” merupakan rangkaian proyek
liberalisasi pendidikan Indonesia, yang dilaksanakan pada tahap III (1996-205)
proyek liberalisasi ini dituangkan jelas dalam Program Jangka Panjang
Pendidikan Tinggi tahun 1975-2010.[xii]
Sementara itu, ketika B.J Habibie menggantikan Seoharto sebagai persisden RI,
ia telah menandatangani Surat Perjanjian
Hutang (Leters of Intens) dengan IMF, yang dalam salah satu pasalnya¾sebagai syarat pemberian hutang¾menegaskan supaya pemerintah Indonesia meliberalisasi sektor pendidikannya.[xiii]
Tentu, kita
memahami bahwa kapitalisme tidak ingin kehilangan kendali atas sektor pendidikan
Indonesia, sehingga pasca lengsernya Soeharto, mereka mengikat presiden baru,
yakni B.J. Habibie untuk melanjutkan proyek ini.
Pasca penandatangan hutang oleh Habibie,
kebijakan-kebijakan pendidikan yang dinilai kontroversial dirumuskan dan diimplementasi.
Menurut Tilaar, “Trend Korporatisasi Pendididik” di Indonesia, antara lain: Badan Hukum Milik
Negara (BHMN); UU RI No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang 2005-2025; Sekolah Bertaraf Internasional; Word Class University; PP No. 22 Tahun 2007 Mengenai penanaman
Modal Asing; Vokasionalisasi Pendidikan Tinggi; Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS); Badan Hukum Pendidikan (BHP).[xiv]
Bisa dikatakan bahwa dari beberapa
kebijakan di atas, UU BHP adalah produk kebijakan yang paling mendapatkan
perlawanan sebagaian besar rakyat Indonesia dan akhirnya ditolak Mahkamah Konstitusi karena di pandang
bertentangan Jiwa UUD 1945 . Namun, pemerintah kembali mengajukan RUU PT, yang
pada salah satu pasalnya (pasal 90) memberikan izin penyelenggaraan PT Asing.
Sejumlah kalangan yang menolak RUU PT, menilai pemerintah berupaya mendorong
liberalisasi dan mengkomersialisasi PT.[xv]
Menyedihkan, apabila alternatif pembangunan
pendidikan, justru terbajak oleh kepentingan neoliberal. Neoliberalisme awalnya adalah teori tentang praktek ekonomi politik yang
meyakini bahwa kesejahteraan umat manusia dapat ditingkatkan sebaik mungkin
dengan membebaskan kemerdekaan berusaha dan keahlian individu dalam kerangka
institusional yang bercirikan hak milik pribadi yang kuat, pasar bebas, dan
perdagangan bebas. Peran negara adalah menciptakan dan melindungi kerangka
institusional yang tepat untuk praktek tersebut.[xvi]
Sedangkan, pada rezim
neolib, seperti Indonesia hari ni, basis sosial neoliberal¾basis utama penopang rejim ini tidak berubah
ialah militer,
polisi, birokrasi, kapitalis lokal dan kelas menengah.[xvii]
Menurut
Priyono,[xviii]
dalam perkembangannya, neoliberalisme menjadi proyek pengaturan ulang hubungan
manusia dan masyarakat. Artinya, penerimaan akan neoliberalisme menuntut
pengaturan ulang bidang-bidang kegiatan politik, hukum, budaya, hubungan kerja,
dan sebagainya. Termasuk di dalamnya, pendidikan, kesehatan, dan prasarana
publik lainnya. Itulah mengapa agenda neoliberal menuntut agar bidang-bidang
publik, seperti kesehatan dan pendidikan ditata ulang dengan langkah
privitisasi. Jadi, privatisasi merupakan sarana dan tujuan neoliberal.
Kondisi ini tercipta karena dimungkinkan
oleh sistim politik Indonesia yang bersifat oligarkhis. Terbukti bahwa kontrol kekuasaan dan
kontrol terhadap sumber daya ekonomi hanya berada di tangan segelintir elit
politik. Mereka memgang peranan ganda, yakni sebagai pemimpin partai politik
besar dan pemimpin terdepan dalam kehidupan bisnis dan perdagangan.[xix]
Sistim yang demikian mempermudah
kapitalisme melakukan kolaborasi dengan para
elite politik guna merumuskan-kebijakan pendidikan yang berwatak
neoliberalisme. Sebagai bukti, pernyataan Eva Kusumandari, politisi dari PDIP,
bahwa adanya 76 produk undang-undang yang draftnya disusun
oleh pihak asing, yakni (Bank Dunia, IMF dan USAID). Dan ini telah berlangsung selama 12 tahun era
reformasi. Puluhan undang-undang tersebut merupakan regulasi yang meliputi
berbagai macam sektor, seperti perbankan, pendidikan, energi, kesehatan serta
politik.[xx]
Beberapa undang-undang yang disinyalir merupakan pesanan pihak asing ialah UU
Sumber Daya Air No.7 tahun 2004, UU Kelistrikan No.20 tahun 2002, UU
Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003, UU Migas No.22 tahun 2001, UU
BUMN No.19 tahun 2003, UU Penanaman Modal No.25 tahun 2007 serta UU
Pemilu No.10 tahun 2008. Tentu saja bahwa semua produk undang-undang yang diback-up
oleh pihak asing tersebut sangat kental bernuansa liberalisasi.
Dengan demikian, neoliberalisme berupaya
menggunakan/mengendalikan kekuatan
politik oligarkhi,
untuk memuluskan usaya mengusai
sektor-sektor publik sebagai milik privit dalam rangka melipat-gandakan
kekutungan. Propaganda semagat demokratisasi adalah sesuatu yang palsu (pseudo
democracy. Namun, kepalsuan (pencitraan) adalah senjata efektif untuk
menarik simpatik rakyat. Inilah ciri khas rezim neolib dalam pemerintahan
sipil. Sementara, elit politk begitu sukses merebut kekuasaan, untuk
mengembangkan struktur baru hubungan yang bersifat tergantung, hubungan
kolonial.
James Petras, memberikan
penjelasan bahwa “di bawah pemerintahan sipil, kebijakan
neoliberal diterapkan secara terselubung dan dipaksakan melalui mandat pemilu
palsu. Legitimasi palsu (pseudo-legitimacy) dari rejim neoliberal
menyandarkan dirinya pada asumsi palsu bahwa pemerintah ‘dipilih secara bebas.’
Tetapi politikus hasil pemilu hanya merupakan wakil sebuah posisi yang
dipertahankan di depan umum.”[xxi]
3. Kebijakan
Pendidikan NTT: Menjalankan Kebijakan yang Kusut!
Pembahasan pada bagian-bagian
sebelumya cukup menunjukkan bahwa persolan kebijakan pendidikan dan kebijakan
publik lainnya takluk di bawah dominasi neoliberalisme. Untuk itu, bagian ini
juga disinggung beberapa aspek kebijakan pemerintah daerah NTT, yang memang mengikuti
selera neoliberalisme, termasuk kebijakan pendidikan daerah. Sehingga, apa yang
dijalankan merupakan kebijakan-kebijakan yang memang kusut.
Implementasi desentralisasi
pendidikan berimplikasi pada menurunnya anggaran pendidikan daerah, sebab ia
dibebankan pula untuk membiayai penyelenggaraan pendidikannya. Banyak yang
berpandangan bahwa desentralisasi merupakan tuntutan logis dari tuntutan
reformasi politik 1998, di mana ada ketidakpuasan yang luas terhadap
sentaralisme dan otoritarianisme Orba.
Pandangan ini, sah-sah saja
karena demikian adanya. Akan tetapi, harus juga dipikirkan bahwa kebijakan
otonomi daerah lahir sejalan dengan upaya modal internasional untuk menaklukan
kembali kekuatan politik oligarkhi. Rekomendasi Komite Reformasi Pendidikan
(KRP) dari revisi UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), yang
dinilai sangat sentralistik, kemudian menghasilkan regulasi baru sebagai hasil
reformasi yakni UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dan, diperkuat
dengan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut UU
No. 22/1999, pendidikan termasuk salah satu bidang pemerintahan yang
didesentralisasikan.
Yang menarik ialah rekomendasi ini
bersamaan dengan kebijakan Otonomi Kampus melalui PP No. 60 yang mencakup
perubahan administrasi institusi PT, yakni pembentukan PT sebagai badan Hukum
(PT. Badan Hukum Milik Nagara/PT-BHMN).
Wajar apabila, kritik dilontarkan
oleh masyarakat. Darmaningtyas,[xxii]
misalnya mempertanyakan sumber pembiayaan daerah (terutama daerah miskin),[xxiii]
ketidakjelasan jenis otonomi dan perhelatan kekuasaan antara pusat dan daerah.
Selain itu, dalam konteks kepentingan kapital, otonomi diperlukan sebagai
bentuk memimalisir keuangan negara (APBN) untuk membangun wilayah-wilayah
negara dan kebutuhan publik. Serta, mempermudah akses untuk mengeksploitasi
sumber daya alam di daerah-daerah. Ini adalah bentuk penaklukan teritorial
ekonomi a la imperialisme.[xxiv]
Beberapa persoalan kebijakan
pendidikan di NTT ialah lahirnya
kebijakan-kebijakan reaksioner, pragmatis dan cenderung bias dari substansi
persoalan pendidikan. Beberapa diantaranya; 1) Siaga UN pada 2011 sebagai respons pemerintah rendahnya hasil UN
2010 di mana NTT menempati posisi juru kunci, 33 dari 33 provinsi. Kurang lebih
dana yang digelontorkan sebesar 801 miliar, untuk merealisasikan program ini
sekaligus program peningkatan kualitas pendidikan lainnya.[xxv] 2) Gong
Belajar, dengan sasaran
sekolah yang hasil Ujian Nasional (UN) tahun ajaran 2010/2011 rendah. Ini salah
kaprah! Justru yang perlu dilakukan pemerintah adalah meningkatkan mutu
pemebelajaran di sekolah-sekolah (infastruktur, guru, sumber belajar, dll), dan
bukannya mengarahkan siswa pada tuntutan UN, yang prakmatis, dan tentu saja
merupakan bagain dari paket agenda neoliberalisme dalam dunia pendidikan.
Pemerintah seharusnya merumuskan
kebijakan strategis untuk menyelesaikan persoalan pendidikan yang lebih mendasar
karena terkait secara langsung dengan berbagai aspek dasar/vital dari kehidupan
masyarakat. Misalnya, pada 2009, Dinas P&K NTT, melaporkan bahwa terdapat
40.000 anak NTT yang putus sekolah; [xxvi]
36.533 anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah;[xxvii]
23.103 anak di bawah umur berstatus pekerja anak; 12.012 pengangguran terbuka
dan 29.135 setengah pegangguran dari kalangan PT; serta berbagai problem
seperti kemiskinan,
rawan pangan, kelaparan, sanitasi, penyakit, TKI, dan rupa-rupa problem sosial
ekonomi lainnya.
Pemerintah dapat saja, mengartikulasikan
kekuasaan politik dalam kerangka otonomi, dengan mengubah paradigma dan haluan
politiknya dan mewujutkannya, sebagai perwujudan tindakan politik; dari neoliberal menuju paradigma kerakyatan
yang berdaulatan, mandiri dan berkepribadian Inidonesia. Namun, dalam kondisi mentalistas rezim-rezim lokal
yang “doyan berburu rente,” baik dari pemerintah pusat dan modal asing,
nampaknya tawaran ideologis sangat tidak
mungkin.
Lihat saja, bagaiman pemerintah
bertindak: kebijakan obral murah sumber daya alam di sektor ekstrasi atau re-jagungnisasi NTT
bersandar pada bibit unggul/benih-benih
steril yang dihasilkan perusahaan-perusahaan asing. Contoh ini, memberikan gambaran
bahwa pemerintah membuat kebijakan ekonomi yang sangat kontra produktif. Sebab,
selain pengerukan kekayaan ke luar negeri, ketergantungan pasar, NTT juga gagal
mempersiapkan basis pertanian yang memadai, karena hancur dan hilangnya
lahan-lahan pertaniannya akaibat penghancuran ekologis. Bagaimana pendidikan
kita akan terbagun?
II.
Belajar dari Politik Pendidikan Bung Karno
Sebuah kebijakan tidak serta
merta bijaksana! Kita memerlukan kebijakan yang bijaksana, sehingga kebijakan
tersebut dapat menjadi panduan yang membantu kita menyelesaikan
persoalan-persolan krusial bangsa. Singkatnya kita butuh “benang baru: benang
politik ideologi pengganti neoliberalisme.”
Kebijakan pendidikan pada era Seokarno
menunjukkan artikulasi kekuasaan (politik dan indeologi) yang konsisten dan
memiliki daya integrasi terhadap perubahan zaman. Dapat dikatakann bahwa amanat
UUD 45, adalah perwujudan politik ideologi asali Indonesia. Hal ini, tentu
sudah jelas dalam amanah UUD 45, bahwa: a) pendidikan merupakan wahana mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan; b) pendidikan adalah hak seluruh rakyat.
Amanah ini sama sekali bukan bersifat
personal, melainkan kolektif.
Oleh karena itu, pendidikan harus
menjadi wahana pencerdasan seluruh rakayat agar mereka menjadi suatu
kolektifitas manusia Indonesia yang mampu membangun bangsa ini secara bersama.
Negara bertanggung jawab agar memastikan bahwa setiap rakyat Indonesia
memperoleh ekses atas haknya secara setara.
Apabila, diskriminasi atau negasi
terhadap kesempatan dan hak atas pendidikan itu terjadi dalam penyelenggaraan
pendidikan Indonesia, maka pertaruhannya ialah tujuan kolektif: “terancam ambruk” Indonesia sebagai bangsa yang
merdeka, berdaulat dan berkepribadian, berkeadilan, sejahtera serta cita-cita
luhur lainnya yang ingin diwujudkan seiring perjalan/pembangunan bangsa
ini. Jadi, penyelenggaraan pendidikan
Indonesia ibarat “motor” dan nilai-nilai sosialisme Indonesia ibarat “bahan
bakar” yang membawa kolektifitas rakyat Indonesia menuju pada penuntasan
revolusi.
Untuk mendukung penyelenggraan
pendidikan Indonesia agar sampai pada tujuan pencerdasan, maka negara menguasai
bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat!
Saya,
pikir semangat kedaulatan ini harus dibangkitkan kembali, terutama bagi kita
generasi muda. Bagian ini menawarkan “Benang Baru” alias platfrom alternatif: “Gerakan
Pasal 33: Kembalikan Bumi, Air, dan Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya
untuk Kemakmuran Rakyat!”
***
Catatan akhir:
[i]
Nurani Soyomukti, 2010, Teori-Teori
Pendidikan (Tradisonal, Neoliberal, Marxis-Sosialis, Postmodern),
AR-RUZZ-MEDIA, hal. 358.
[ii] Mansur
Fakih, Ideologi dalam Pendidikan (Sebuah Pengantar), dalam buku “Ideologi-Ideologi
Pendidikan” karangan William F. O’neil (YokyakartA, Pustaka Pelajar), 2002,
hal. x.
[iii] Makmuri
Sukarno dalam Refleksi Atas Beberapa Isu Kebijakan Pendidikan (Jakarta,
Pusat Penelitian Kependudukan-LIPI), 2007, hal. 2.
[iv]
Arif Rohman, Politik Ideologi Pendidikan,
Laksbang Yokyakarta, 2009. Hal. 177-189.
[v] Di sektor Migas,
dari 137 perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, hanya 20 perusahaan
dalam negari. Inipun, hanya merupakan partner junior dan atau milik pertamina
dari sumur-sumur tua yang ditinggalkan Belanda. Disektor perbankan nasional,
mayoritas juga dikuasai asing. Termasuk bank-bank yang menikmati subsidi dari
negara yaitu bank-bank pemegang obligasi rekapitulasi perbankan yang totalnya
mencapai Rp. 430 triliun. Menurut Kwik Kian Gie, bunga yang harus dibayar
dengan APBN akan menghabiskan Rp. 600 triliun. Sektor otomotif, kapitalis asing
mendominasi melalui kapitalis dalam negeri yang diberikan hak agena/lisensi.
Sedangkan, menurut Kwik Kian Gie, asing mencuri hasil laut, pasir dan kayu Indonesia
senilai UU$ 9 milyar. Materi Pendidikan Dasar PAPERNAS.
[vi]
Dominggus Oktovianus, Akumulasi Kapital
dan Human Capital, http://arahkiri.blogspot.com
[viii]
Moh. Yamin
dalam “Menggugat Pendidikan Indonesia” (Belajar dari Paulo Freire dan Ki
Hajar Dewantara), Yokyakarta, AR-RUZZMEDIA, 2009, hal. 94.
[ix]
Litbang LMND, Op.Cit.
[x] Prof.
Doktor Anwar Arifin dalam Makalah Memahami Paradigma Baru Pendidikan
Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS, POKSI VI FPG DPR RI, 2003, http://wahyucp.blogspot.com/2008/08.
[xi]
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan (Manajemen Pendidikan
Nasional dalam Pusaran Kekuasaan), Rineka Cipta, jakarta, 2009, hal. vii.
[xii]
Program Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 1975-2010. http:liemhar.blogspot.com.
[xiv]
Prof.
Dr. H.A.R. Tilaar…Op.Cit. hal. 40-45.
[xv] Agus
Mulyadi, Perguruan
Tinggi Asing Bisa Berdiri di Indonesia,
Minggu, http:// kompas.com/16 10/2011. hal 1.
[xvii] Coen Husain
Pontoh, Basis Sosial Rejim Kapitalisme-Neoliberal. http://indoproggress.com. H.1.
[xx] Iperialisme Undang-Undang, http:berdikari.online.com.
[xxi] James Petras, Siklus
Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan
Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 5).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirhtEppWXC7jpsey1YB-1Ofv9QjeKvtTSmKphYH32pWiaM0-1I0MGNZWAnXC0-akqrKLQprkgNLT6p4RRqfvuQcj3NbpbIFwX5A5pJhjS156kMQCKUOx67Kf0c3zA0mMlAw3atcf4_sEVr/s750/newipbanner.gif. Diterjemahkan
oleh: Coen Husain Pontoh. Hal. 19.
[xxii] Darmaningtyas,
Pendidikan Rusak-Rusakan, Liks-Yokyakarta, hal. 161.
[xxiii] NTT Misalnya, mendapat tambahan dana untuk mendukung percepatan
pembangunan pendidikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Perubahan Tahun 2011 senilai Rp 324.494.356.000. “NTT Dapat Tambahan Dana Rp
324 M.” http://www.timorexpress.com/index.php/09/07/2011.
NTT
juga memperoleh bantuan dana Bansos dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas). Anggaran ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan
rehabilitasi gedung sekolah. Besar
bantuan kepada 20 sekolah/lembaga pendidikan tersebut bervariasi antara Rp 15
juta sampai Rp 25 juta. “Total
Bantuan Rp 415 juta: 20 Sekolah Di NTT Dapat Bansos. http://www.timorexpress.com/index.php/13/10/2011.
Contoh ini merupakan fakta bahwa otonomi daerah merupakan
bentuk liberalisasi birokrasi yang dipaksakan dengan tujuan meminimalisir
tanggung jawab negara dalam membangun wilayah-wilayahnya. Minimalisasini, dalam
agenda neoliberalisme, pada hakekatnya ialah upaya untuk memprioritaskan APBN
guna pembayaran hutang luar negeri. Inilah mengapa, ketidakmampuan NTT
membiayai berbagai kebutuhan pembangunannya, termasuk dunia pendidikan, turut
mempengaruhi mutu pendidikannya.
[xxv] Frans Lebu Raya menyebutkan bahwa
dari total 71.192 guru di NTT (40.598 guru PNS dan 30.594 guru non PNS), hanya
18.460 (25,91 %) guru mencapai gelar S1? D4, selebihnya adalah D3 kebawah atau
sebanyak 52.732 guru belum S1/D4. Terbanyak guru yang tersebar di NTT masih
berkualisifikasi pendidikan SMA sebanyak 31.953 orang. Menurutnya, Dari total
jumlah guru di NTT itu, yang sudah mengikuti program sertifikasi guru sejak
2006 hingga 2010 baru mencapai 8.351 guru (10,59%). Ini artinya, sebanyak 88,27
% guru di NTT bbelum mengikuti program sertifikasi, dan dari 19.108 guru
yang berkualifikasi S1/S2/S3, sebanyak 56,30 % belum memiliki sertifikasi
pendidikan. Guru terbanyak yang sudah lulus sertifikasi ada di Kabupaten
Kupang (1.429 orang) dan Kota Kupang (1.079 orang). http://nttprov.go.id/provntt/index.php?option=com_frontpage&Itemid=1.
[xxvi] 40 Ribu Siswa di NTT Putus Sekolah, http:// vivanews.com/17/04/2009.
[xxvii] Rinciannya, laki-laki 15.333 dan perempuan sebanyak 7.770 anak. Mereka
dipaksa bekerja karena masalah ekonomi keluarga. Sedangkan, untuk ukuran
nasional, masih terdapat 232 ribu anak yang
belum bersekolah. http://temporaktif.com.
Lembaga Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa di NTT jumlah pekerja anak di bawah umur per Mei 2010
mencapai 23.103 orang. Rinciannya laki-laki 15.333 anak dan perempuan
sebanyak 7.770 anak. Dari jumlah tersebut terdapat 13.369 anak terlantar,
gelandangan 195.000 anak, dan sebagai pekerja seks sebanyak 1.335 anak. Dari
aspek pendidikan sebanyak 18,91 persen anak tak pernah sekolah, 40,45 persen belum
tamat sekolah dasar (SD), 39,29 persen tidak tamat SMP dan 1,35 persen tamat
SMP. Sementara data BPS tahun 2009 menyebutkan, sekitar 80 persen penduduk NTT
hanya lulus SD dan SMP. Itu menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah di NTT
masih sangat rendah. http://ntt.online.com/5/062010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar