Kamis, 10 Mei 2012

Mengurai Benang Kusut Kebijakan Pembangunan Pendidikan di NTT


Oleh: James Faot






Pengantar



Suatu ciri khas rezim neoliberal adalah bahwa sistim harus dirancang untuk mempersiapkan jalan mulus akumulasi kapital. Karena, sektor pendidikan tidak terpisahkan sektor lainnya, maka kebijakan rezim akan diupayakan sedemikian rupa agar sistim-sistim ini menjadi koheren dan sinergis, sehingga memastikan adanya dukungan maksimum untuk menyelenggarakan negara berdasarkan selera atau tepatnya kepentingan mereka. Ini mengartikan bahwa kita telah kehilangan kedaulataan untuk mengurus diri sendiri.



Kebijakan Pendidikan: Milik Siapa yang Berkuasa



Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik. Ia bersangkut paut dengan kepentingan manusia untuk mencerdaskan diri serta membangun harkat dan martabatnya. Karenaya, pendidikan merupakan wahana pengembangan potensi semua manusia.

Namun, “pendidikan bukanlah wilayah yang terpisah dari perkembangn ekonomi dan politik yang ada”[i] dalam masyarakat.  Hal ini nampak jelas berlaku dalam konteks perumusan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik, yang selalu terkait dengan proses perumusan dan implementasi keputusan politik. Oleh karena itu, dalam perumusan kebijakan, tidak terhindarkan pertarungan kepentingan. Dengan perkataan lain, pertarungan politik dan ideologi memang berlangsung melalui arena pendidikan.[ii] Sehingga, seperti apa sebuah kebijakan pendidikan dihasilkan, selalu mencerminkan pandangan ideologis pihak yang berkuasa.

Inilah mengapa ketika Indonesia jatuh dalam cengkraman neoliberal, kebijakan publik¾termasuk kebijakan pendidikan¾sangat mewakili kepentingan kapitalis sebagai kelas dominan.


I.    Indonesia Kehilangan Kedaulatan Mengurus Pendidikan


1.      Orba: Pendidikan alat kekuasan melindungi kepentingan modal

Pasca reformasi politik 1998, diikuti dengan tuntutan untuk mereformasi sistim pendidikan nasional semakin menguat. Krisis multidimensi Indonesia mengandaikan merosotnya kepercayaan terhadap sistem budaya, sosial, politik serta sistem pendidikan yang lama. Sebab, sistem-sistem tersebut tidak lagi mampu mencerna masalah dan mengakomodasi aspirasi dan tuntutan kontekstual yang baru. [iii]

Krisis ini tentu bukan tanpa sebab, tentu saja ia memiliki proses historis, terutam tentang bagaimana rezim Orba di bawah pimpinan Soeharto memadukan doktrin-doktrin ideologi “Pembangunanisme” dan doktrin “Dwifungsi ABRI.”[iv]

“Pembangunanisme” adalah ideologi teknokratik yang yang menekankan nilai-nilai efisiensi, efektifitas, harmoni, dan konsensus sebagai prasyarat penting dalam pembangunan ekonomi serta terwujudnya stabilitas politik. Secara lebih lugas, “Pembangunanisme” atau Developmentalism merupakan suatu proyek investasi pasa-perang dunia kedua terhadap negara-negara “dunia ketiga” yang berkembang dalam dekolonialisasi dan perang dingin (cold war). Sedangkan, “Dwifungsi ABRI” adalah suatu doktrin yang membenarkan sekaligus mengesahkan peran militer dalam urusan-urusan non-militer.

Di masa Orba, hubungan negara dan pendidikan bersifat timpang, yang menyebabkan dependensial pendidikan terhadap negara. Bahkan, tragisnya hubungan bersifat eksploitatif dari negara terhadap pendidikan. Karenanya, pendidikan dijadikan sebagai alat kepentingan kekuasaan negara, terutama dalam mengamankan kepentingan modal asing[v] dan praktek kroni ekonomi Soeharto.

Gambaran konkritnya ialah pembangunanisme merupakan pintu masuk ekspansi modal internasional dalam bentuk hutang luar negeri  yang menghasilkan booming pada sektor industri, terutama sektor manufaktur dan infrastruktur.[vi] Cara bagaimana kapitalisme memperoleh basis tenaga kerja murah selalu dikendalikan melalui hutang. Kebijakan anggaran pendidikan Orba hanya berkisar 8%.[vii] Minimnya alokasi anggaran, merupakan akibat langsung dari tekanan hutang, dimana negara harus memprioritaskan dan mengalokasikan lebih besar APBN untuk pembayaran hutang luar negeri serta minimnya penguasan negara atas sumber-sumber produksi vital, misalnya migas. Terbatasnya lembaga pendidikan negeri terutama (SMP dan SMA) serta rendahnya kualitas pelayanan pendidikan merupakan proses logis dan penciptaan basis tenaga kerja murah di Indonesia. Namun, pada sisi, lain Orba berupaya membangun indikator palsu (pencitraan) keberhasilan pembangunan melalui bidang pendidikan dengan penentuan kelulusan [cenderung] 100%.[viii] Cara lain mempersiapkan tenaga kerja terdidik namun murah, terlihat dalam penerapan konsep “Ling and Match” dan D1, D2, D3.[ix]

Sementara, doktrin Dwifungsi ABRI memberikan mereka ruang politik yang terlampau kuat untuk melegalkan praktek otoritarianisme, terutama untuk membendung kelompok kiri dan pertumbuhan kesadaran kritis rakyat terhadap rezim. Ini adalah pola lazim ketika kapitalisme mengendalikan militer.

Dengan demikian, kebijakan pendidikan di masa Orba tentu harus kita tolak. Alasannya telah dikemukakan di atas. Namun, apabila kita mencermati kebijakan-kebijakan pendidikan pasca reformasi 1998, nampak bahwa cengkraman kapitalisme dalam muncul dengan wajah baru, massif dan komrehensif. Hal ini tentunya terletak pada karakteristik kekuasaan yang berlangsung di sebuah negara; Orba militeristik dan otoriter dan Reformasi yang sipil dan demokratis.

2.      Reformasi: Paradigma Baru Pendidikan atau Neoliberalisme  Pendidikan?

Perubahan rezim otoritarianisme ke rezim sipil, mengusung suatu konsep politik yang kita kenal sebagai “demokrasi.” Bahwa Indonesia pasca Orba adalah negara demokrasi. Isu politik ini sedemikian kuat mempengaruhi dunia bangsa ini, sehingga pemerintah, politikus, akademisi, para intelektual pendidikan, akitivis NGO, aktifis mahasiswa bahkan masyarakat umumnya.  Demokrasi merupakan diskursus rakyat Indonesia.

Sampai-sampai dalam wacana reformasi pendidikan, alternatif pembangunan pendidikan di Indonesia, mengusung demokrasi sebagai tuntutan yang pertama. Anwar Arivin, misalnya, dalam tulisan berjudul Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS, mengemukakan bahwa beberapa konsep mendasar perubahan paradigma pendidikan dalam UU No. 20/2033 tentang Sisdiknas; Pertama, Demokrasi dan Desentralisasi Pendidikan (Otonomi Daerah); kedua, Peran Serta Masyarakat; ketiga, Tantangan Globalisasi; keempat, Kesetaraan dan Keseimbangan, kelima, Jalur pendidikan.[x]

H.A.R Tilaar dalam bukumya Kekuasaan dan Pendidikan (Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan), pada bagian pengantar, ia mengemukakan bahwa “…Pendidikan tidak terlepas dari kancah pemupukan kekuasaan dalam politik praktis. Cetakan I buku ini dipicu oleh percaturan kekuasaan di dalam DPR pada waktu itu dalam penyusunan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim pendidikan Nasional.”[xi]

Jika, kita sedikit menoleh pada kebelang (± mendekati tiga dekade), pada rezim Orba, maka kita mendapati bahwa “Paradigma Baru Pendidikan” merupakan rangkaian proyek liberalisasi pendidikan Indonesia, yang dilaksanakan pada tahap III (1996-205) proyek liberalisasi ini dituangkan jelas dalam Program Jangka Panjang Pendidikan Tinggi tahun 1975-2010.[xii] Sementara itu, ketika B.J Habibie menggantikan Seoharto sebagai persisden RI, ia  telah menandatangani Surat Perjanjian Hutang (Leters of Intens) dengan IMF, yang dalam salah satu pasalnya¾sebagai syarat pemberian hutang¾menegaskan supaya pemerintah Indonesia meliberalisasi sektor pendidikannya.[xiii]

Tentu, kita memahami bahwa kapitalisme tidak ingin kehilangan kendali atas sektor pendidikan Indonesia, sehingga pasca lengsernya Soeharto, mereka mengikat presiden baru, yakni B.J. Habibie untuk melanjutkan proyek ini.  

Pasca penandatangan hutang oleh Habibie, kebijakan-kebijakan pendidikan yang dinilai kontroversial dirumuskan dan diimplementasi. Menurut Tilaar, “Trend Korporatisasi Pendididik”  di Indonesia, antara lain: Badan Hukum Milik Negara (BHMN); UU RI No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025; Sekolah Bertaraf Internasional; Word Class University; PP No. 22 Tahun 2007 Mengenai penanaman Modal Asing; Vokasionalisasi Pendidikan Tinggi; Manajemen Berbasis Sekolah (MBS); Badan Hukum Pendidikan (BHP).[xiv]

Bisa dikatakan bahwa dari beberapa kebijakan di atas, UU BHP adalah produk kebijakan yang paling mendapatkan perlawanan sebagaian besar rakyat Indonesia dan akhirnya ditolak  Mahkamah Konstitusi karena di pandang bertentangan Jiwa UUD 1945 . Namun, pemerintah kembali mengajukan RUU PT, yang pada salah satu pasalnya (pasal 90) memberikan izin penyelenggaraan PT Asing. Sejumlah kalangan yang menolak RUU PT, menilai pemerintah berupaya mendorong liberalisasi dan mengkomersialisasi PT.[xv]
Menyedihkan, apabila alternatif pembangunan pendidikan, justru terbajak oleh kepentingan neoliberal. Neoliberalisme awalnya adalah teori tentang praktek ekonomi politik yang meyakini bahwa kesejahteraan umat manusia dapat ditingkatkan sebaik mungkin dengan membebaskan kemerdekaan berusaha dan keahlian individu dalam kerangka institusional yang bercirikan hak milik pribadi yang kuat, pasar bebas, dan perdagangan bebas. Peran negara adalah menciptakan dan melindungi kerangka institusional yang tepat untuk praktek tersebut.[xvi] Sedangkan, pada rezim neolib, seperti Indonesia hari ni, basis sosial neoliberal¾basis utama penopang rejim ini tidak berubah ialah militer, polisi, birokrasi, kapitalis lokal dan kelas menengah.[xvii]

Menurut Priyono,[xviii] dalam perkembangannya, neoliberalisme menjadi proyek pengaturan ulang hubungan manusia dan masyarakat. Artinya, penerimaan akan neoliberalisme menuntut pengaturan ulang bidang-bidang kegiatan politik, hukum, budaya, hubungan kerja, dan sebagainya. Termasuk di dalamnya, pendidikan, kesehatan, dan prasarana publik lainnya. Itulah mengapa agenda neoliberal menuntut agar bidang-bidang publik, seperti kesehatan dan pendidikan ditata ulang dengan langkah privitisasi. Jadi, privatisasi merupakan sarana dan tujuan neoliberal. 

Kondisi ini tercipta karena dimungkinkan oleh sistim politik Indonesia yang bersifat oligarkhis. Terbukti bahwa kontrol kekuasaan dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi hanya berada di tangan segelintir elit politik. Mereka memgang peranan ganda, yakni sebagai pemimpin partai politik besar dan pemimpin terdepan dalam kehidupan bisnis dan perdagangan.[xix]

Sistim yang demikian mempermudah kapitalisme melakukan kolaborasi dengan para elite politik guna merumuskan-kebijakan pendidikan yang berwatak neoliberalisme. Sebagai bukti, pernyataan Eva Kusumandari, politisi dari PDIP, bahwa adanya 76 produk  undang-undang yang draftnya disusun oleh pihak asing, yakni (Bank Dunia, IMF dan USAID).  Dan ini telah berlangsung selama 12 tahun era reformasi. Puluhan undang-undang tersebut merupakan regulasi yang meliputi berbagai macam sektor, seperti perbankan, pendidikan, energi, kesehatan serta politik.[xx] Beberapa undang-undang yang disinyalir merupakan pesanan pihak asing ialah UU Sumber Daya Air No.7 tahun 2004, UU Kelistrikan No.20 tahun 2002, UU Pendidikan Nasional No.20 tahun  2003, UU Migas No.22 tahun 2001, UU BUMN No.19 tahun 2003, UU Penanaman Modal No.25 tahun 2007 serta UU Pemilu No.10 tahun 2008. Tentu saja bahwa semua produk undang-undang yang diback-up oleh pihak asing tersebut sangat kental bernuansa liberalisasi.

Dengan demikian, neoliberalisme berupaya menggunakan/mengendalikan kekuatan  politik oligarkhi, untuk  memuluskan usaya mengusai sektor-sektor publik sebagai milik privit dalam rangka melipat-gandakan kekutungan. Propaganda semagat demokratisasi adalah sesuatu yang palsu (pseudo democracy. Namun, kepalsuan (pencitraan) adalah senjata efektif untuk menarik simpatik rakyat. Inilah ciri khas rezim neolib dalam pemerintahan sipil. Sementara, elit politk begitu sukses merebut kekuasaan, untuk mengembangkan struktur baru hubungan yang bersifat tergantung, hubungan kolonial. 

James Petras, memberikan penjelasan bahwa “di bawah pemerintahan sipil, kebijakan neoliberal diterapkan secara terselubung dan dipaksakan melalui mandat pemilu palsu. Legitimasi palsu (pseudo-legitimacy) dari rejim neoliberal menyandarkan dirinya pada asumsi palsu bahwa pemerintah ‘dipilih secara bebas.’ Tetapi politikus hasil pemilu hanya merupakan wakil sebuah posisi yang dipertahankan di depan umum.”[xxi]



3.      Kebijakan Pendidikan NTT: Menjalankan Kebijakan yang Kusut!

Pembahasan pada bagian-bagian sebelumya cukup menunjukkan bahwa persolan kebijakan pendidikan dan kebijakan publik lainnya takluk di bawah dominasi neoliberalisme. Untuk itu, bagian ini juga disinggung beberapa aspek kebijakan pemerintah daerah NTT, yang memang mengikuti selera neoliberalisme, termasuk kebijakan pendidikan daerah. Sehingga, apa yang dijalankan merupakan kebijakan-kebijakan yang memang kusut.

Implementasi desentralisasi pendidikan berimplikasi pada menurunnya anggaran pendidikan daerah, sebab ia dibebankan pula untuk membiayai penyelenggaraan pendidikannya. Banyak yang berpandangan bahwa desentralisasi merupakan tuntutan logis dari tuntutan reformasi politik 1998, di mana ada ketidakpuasan yang luas terhadap sentaralisme dan otoritarianisme Orba.

Pandangan ini, sah-sah saja karena demikian adanya. Akan tetapi, harus juga dipikirkan bahwa kebijakan otonomi daerah lahir sejalan dengan upaya modal internasional untuk menaklukan kembali kekuatan politik oligarkhi.  Rekomendasi Komite Reformasi Pendidikan (KRP) dari revisi UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), yang dinilai sangat sentralistik, kemudian menghasilkan regulasi baru sebagai hasil reformasi yakni UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dan, diperkuat dengan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut UU No. 22/1999, pendidikan termasuk salah satu bidang pemerintahan yang didesentralisasikan.

Yang menarik ialah rekomendasi ini bersamaan dengan kebijakan Otonomi Kampus melalui PP No. 60 yang mencakup perubahan administrasi institusi PT, yakni pembentukan PT sebagai badan Hukum (PT. Badan Hukum Milik Nagara/PT-BHMN).

Wajar apabila, kritik dilontarkan oleh masyarakat. Darmaningtyas,[xxii] misalnya mempertanyakan sumber pembiayaan daerah (terutama daerah miskin),[xxiii] ketidakjelasan jenis otonomi dan perhelatan kekuasaan antara pusat dan daerah. Selain itu, dalam konteks kepentingan kapital, otonomi diperlukan sebagai bentuk memimalisir keuangan negara (APBN) untuk membangun wilayah-wilayah negara dan kebutuhan publik. Serta, mempermudah akses untuk mengeksploitasi sumber daya alam di daerah-daerah. Ini adalah bentuk penaklukan teritorial ekonomi a la imperialisme.[xxiv]

Beberapa persoalan kebijakan pendidikan di NTT  ialah lahirnya kebijakan-kebijakan reaksioner, pragmatis dan cenderung bias dari substansi persoalan pendidikan. Beberapa diantaranya; 1) Siaga UN pada 2011 sebagai respons pemerintah rendahnya hasil UN 2010 di mana NTT menempati posisi juru kunci, 33 dari 33 provinsi. Kurang lebih dana yang digelontorkan sebesar 801 miliar, untuk merealisasikan program ini sekaligus program peningkatan kualitas pendidikan lainnya.[xxv]  2) Gong Belajar, dengan sasaran sekolah yang hasil Ujian Nasional (UN) tahun ajaran 2010/2011 rendah. Ini salah kaprah! Justru yang perlu dilakukan pemerintah adalah meningkatkan mutu pemebelajaran di sekolah-sekolah (infastruktur, guru, sumber belajar, dll), dan bukannya mengarahkan siswa pada tuntutan UN, yang prakmatis, dan tentu saja merupakan bagain dari paket agenda neoliberalisme dalam dunia pendidikan.

Pemerintah seharusnya merumuskan kebijakan strategis untuk menyelesaikan persoalan pendidikan yang lebih mendasar karena terkait secara langsung dengan berbagai aspek dasar/vital dari kehidupan masyarakat. Misalnya, pada 2009, Dinas P&K NTT, melaporkan bahwa terdapat 40.000 anak NTT yang putus sekolah; [xxvi] 36.533 anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah;[xxvii] 23.103 anak di bawah umur berstatus pekerja anak; 12.012 pengangguran terbuka dan 29.135 setengah pegangguran dari kalangan PT; serta berbagai problem seperti kemiskinan, rawan pangan, kelaparan, sanitasi, penyakit, TKI, dan rupa-rupa problem sosial ekonomi lainnya.

Pemerintah dapat saja, mengartikulasikan kekuasaan politik dalam kerangka otonomi, dengan mengubah paradigma dan haluan politiknya dan mewujutkannya, sebagai perwujudan tindakan politik; dari neoliberal menuju paradigma kerakyatan yang berdaulatan, mandiri dan berkepribadian Inidonesia. Namun,  dalam kondisi mentalistas rezim-rezim lokal yang “doyan berburu rente,” baik dari pemerintah pusat dan modal asing, nampaknya tawaran ideologis  sangat tidak mungkin.

Lihat saja, bagaiman pemerintah bertindak: kebijakan obral murah sumber daya alam di sektor ekstrasi atau re-jagungnisasi NTT bersandar pada bibit unggul/benih-benih steril yang dihasilkan perusahaan-perusahaan asing. Contoh ini, memberikan gambaran bahwa pemerintah membuat kebijakan ekonomi yang sangat kontra produktif. Sebab, selain pengerukan kekayaan ke luar negeri, ketergantungan pasar, NTT juga gagal mempersiapkan basis pertanian yang memadai, karena hancur dan hilangnya lahan-lahan pertaniannya akaibat penghancuran ekologis. Bagaimana pendidikan kita akan terbagun? 



II.       Belajar dari Politik Pendidikan Bung Karno



Sebuah kebijakan tidak serta merta bijaksana! Kita memerlukan kebijakan yang bijaksana, sehingga kebijakan tersebut dapat menjadi panduan yang membantu kita menyelesaikan persoalan-persolan krusial bangsa. Singkatnya kita butuh “benang baru: benang politik ideologi pengganti neoliberalisme.”

Kebijakan pendidikan pada era Seokarno menunjukkan artikulasi kekuasaan (politik dan indeologi) yang konsisten dan memiliki daya integrasi terhadap perubahan zaman. Dapat dikatakann bahwa amanat UUD 45, adalah perwujudan politik ideologi asali Indonesia. Hal ini, tentu sudah jelas dalam amanah UUD 45, bahwa: a) pendidikan merupakan wahana mencerdaskan kehidupan bangsa, dan; b) pendidikan adalah hak seluruh rakyat.

Amanah ini sama sekali bukan bersifat personal, melainkan kolektif.
Oleh karena itu, pendidikan harus menjadi wahana pencerdasan seluruh rakayat agar mereka menjadi suatu kolektifitas manusia Indonesia yang mampu membangun bangsa ini secara bersama. Negara bertanggung jawab agar memastikan bahwa setiap rakyat Indonesia memperoleh ekses atas haknya secara setara.

Apabila, diskriminasi atau negasi terhadap kesempatan dan hak atas pendidikan itu terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan Indonesia, maka pertaruhannya ialah tujuan kolektif: “terancam ambruk” Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat dan berkepribadian, berkeadilan, sejahtera serta cita-cita luhur lainnya yang ingin diwujudkan seiring perjalan/pembangunan bangsa ini.   Jadi, penyelenggaraan pendidikan Indonesia ibarat “motor” dan nilai-nilai sosialisme Indonesia ibarat “bahan bakar” yang membawa kolektifitas rakyat Indonesia menuju pada penuntasan revolusi.

Untuk mendukung penyelenggraan pendidikan Indonesia agar sampai pada tujuan pencerdasan, maka negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat!

Saya, pikir semangat kedaulatan ini harus dibangkitkan kembali, terutama bagi kita generasi muda. Bagian ini menawarkan “Benang Baru” alias platfrom alternatif: Gerakan Pasal 33: Kembalikan Bumi, Air, dan Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya untuk Kemakmuran Rakyat!

***


Catatan akhir:



[i] Nurani Soyomukti, 2010, Teori-Teori Pendidikan (Tradisonal, Neoliberal, Marxis-Sosialis, Postmodern), AR-RUZZ-MEDIA, hal. 358.  
[ii] Mansur Fakih, Ideologi dalam Pendidikan (Sebuah Pengantar), dalam buku “Ideologi-Ideologi Pendidikan” karangan William F. O’neil (YokyakartA, Pustaka Pelajar), 2002, hal. x.
[iii] Makmuri Sukarno dalam Refleksi Atas Beberapa Isu Kebijakan Pendidikan (Jakarta, Pusat Penelitian Kependudukan-LIPI), 2007, hal. 2.
[iv] Arif Rohman, Politik Ideologi Pendidikan, Laksbang Yokyakarta, 2009. Hal. 177-189.
[v] Di sektor Migas, dari 137 perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, hanya 20 perusahaan dalam negari. Inipun, hanya merupakan partner junior dan atau milik pertamina dari sumur-sumur tua yang ditinggalkan Belanda. Disektor perbankan nasional, mayoritas juga dikuasai asing. Termasuk bank-bank yang menikmati subsidi dari negara yaitu bank-bank pemegang obligasi rekapitulasi perbankan yang totalnya mencapai Rp. 430 triliun. Menurut Kwik Kian Gie, bunga yang harus dibayar dengan APBN akan menghabiskan Rp. 600 triliun. Sektor otomotif, kapitalis asing mendominasi melalui kapitalis dalam negeri yang diberikan hak agena/lisensi. Sedangkan, menurut Kwik Kian Gie, asing mencuri hasil laut, pasir dan kayu Indonesia senilai UU$ 9 milyar. Materi Pendidikan Dasar PAPERNAS.
[vi] Dominggus Oktovianus, Akumulasi Kapital dan Human Capital, http://arahkiri.blogspot.com
[vii] Litbang LMND, Neoliberalisme Dunia pendidikan: Otonomi kampus dan Sekolah, hal. 2.    
[viii] Moh. Yamin dalam “Menggugat Pendidikan Indonesia” (Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara), Yokyakarta, AR-RUZZMEDIA, 2009, hal. 94.
[ix] Litbang LMND, Op.Cit.
[x] Prof. Doktor Anwar Arifin dalam Makalah Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS, POKSI VI FPG DPR RI, 2003, http://wahyucp.blogspot.com/2008/08.
[xi] Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan (Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan), Rineka Cipta, jakarta, 2009, hal. vii.
[xii] Program Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 1975-2010. http:liemhar.blogspot.com.
[xiii] Ibid.
[xiv] Prof. Dr. H.A.R. Tilaar…Op.Cit. hal. 40-45.
[xv] Agus Mulyadi, Perguruan Tinggi Asing Bisa Berdiri di Indonesia, Minggu, http:// kompas.com/16 10/2011. hal 1.
[xvi] David Harvey,  Kata Pengantar "A Brief History of Neoliberalism," http://nefos.org,  h.2.
[xviii] B. Herry Priyono, Sesat Neoliberalisme. Dimuat dalam Kompas, 28 Mei 2009, h. 6.
[xx] Iperialisme Undang-Undang, http:berdikari.online.com.
[xxii] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Liks-Yokyakarta, hal. 161.
[xxiii] NTT Misalnya, mendapat tambahan dana untuk mendukung percepatan pembangunan pendidikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan Tahun 2011 senilai Rp 324.494.356.000. “NTT Dapat Tambahan Dana Rp 324 M.” http://www.timorexpress.com/index.php/09/07/2011
NTT juga memperoleh bantuan dana Bansos dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas). Anggaran ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rehabilitasi gedung sekolah. Besar bantuan kepada 20 sekolah/lembaga pendidikan tersebut bervariasi antara Rp 15 juta sampai Rp 25 juta. “Total Bantuan Rp 415 juta: 20 Sekolah Di NTT Dapat Bansos. http://www.timorexpress.com/index.php/13/10/2011.
Contoh ini merupakan fakta bahwa otonomi daerah merupakan bentuk liberalisasi birokrasi yang dipaksakan dengan tujuan meminimalisir tanggung jawab negara dalam membangun wilayah-wilayahnya. Minimalisasini, dalam agenda neoliberalisme, pada hakekatnya ialah upaya untuk memprioritaskan APBN guna pembayaran hutang luar negeri. Inilah mengapa, ketidakmampuan NTT membiayai berbagai kebutuhan pembangunannya, termasuk dunia pendidikan, turut mempengaruhi mutu pendidikannya.
[xxiv] Anto Sangaji, Relevansi Teori Imperialisme, http://indoprogres.com/27/12/2010. Hal. 5
[xxv] Frans Lebu Raya menyebutkan bahwa dari total 71.192 guru di NTT (40.598 guru PNS dan 30.594 guru non PNS), hanya 18.460 (25,91 %) guru mencapai gelar S1? D4, selebihnya adalah D3 kebawah atau sebanyak 52.732 guru belum S1/D4. Terbanyak guru yang tersebar di NTT masih berkualisifikasi pendidikan SMA sebanyak 31.953 orang. Menurutnya, Dari total jumlah guru di NTT itu, yang sudah mengikuti program sertifikasi guru sejak 2006 hingga 2010 baru mencapai 8.351 guru (10,59%). Ini artinya, sebanyak 88,27 % guru di NTT bbelum mengikuti  program sertifikasi, dan dari 19.108 guru yang berkualifikasi S1/S2/S3, sebanyak 56,30 % belum memiliki sertifikasi pendidikan. Guru terbanyak yang sudah lulus sertifikasi  ada di Kabupaten Kupang (1.429 orang) dan Kota Kupang (1.079 orang). http://nttprov.go.id/provntt/index.php?option=com_frontpage&Itemid=1.

[xxvi] 40 Ribu Siswa di NTT Putus Sekolah, http:// vivanews.com/17/04/2009.

[xxvii] Rinciannya, laki-laki 15.333 dan perempuan sebanyak 7.770 anak. Mereka dipaksa bekerja karena masalah ekonomi keluarga. Sedangkan, untuk ukuran nasional, masih terdapat 232 ribu anak yang belum bersekolah. http://temporaktif.com. Lembaga Perlindungan Anak menyebutkan bahwa di NTT jumlah pekerja anak di bawah umur per Mei 2010 mencapai 23.103 orang. Rinciannya laki-laki 15.333 anak  dan perempuan sebanyak 7.770 anak. Dari jumlah tersebut terdapat 13.369 anak terlantar, gelandangan 195.000 anak, dan sebagai pekerja seks sebanyak 1.335 anak. Dari aspek pendidikan sebanyak 18,91 persen anak tak pernah sekolah, 40,45 persen belum tamat sekolah dasar (SD), 39,29 persen tidak tamat SMP dan 1,35 persen tamat SMP. Sementara data BPS tahun 2009 menyebutkan, sekitar 80 persen penduduk NTT hanya lulus SD dan SMP. Itu menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah di NTT masih sangat rendah. http://ntt.online.com/5/062010.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar