(Sebuah Tawaran SOLIDARITAS untuk Pemuda Jemaat Benyamin Oebufu)
Oleh:
James Faot
[Pemuda & Koordinator Rayon 1 – Jemaat
Benyamin Oebufu]
1 dari 4 bagian
“…Sebab
di planet bumi tidak ada ‘sekoci’ untuk menyelamatkan diri kalau planet ini
tenggelam dalam kehancuran…kalau anda masih bersikap logis saja, belajarlah
untuk juga hidup dengan hati nurani”
(Robert P. Borrong)
Telinga dan
Kepekaan
Salah sejahtera!
Sebenarnya, “Projek SOLIDARITAS Penyelamatan Lingkungan
Pesisir Kali,” yang saya tawarkan melalui tulisan ini sangat dilatarbelakangi
oleh niat untuk berpartisipasi mengisi, sekadar coretan-coretan sederhana,
dalam website Jemaat Benyamin
Oebufu-JBO (www.benyamineobufu.com).
Apa yang mau coret, juga melalui banyak pertimbangan. Bisa jadi, niat untuk
berpartisipasi menjadi tidak relevan dengan kebutuhan pembaca.
Sampai suatu waktu, dalam moment bersantai setelah ibadah
pemuda di rumah salah satu kawan, saya mendengar sepintas sebuah kalimat yang
keluar dari mulut “Seseorang,” yang menurut saya, tidak hanya menarik, tetapi
relevan sekaligus mendesak untuk segera dikerjakan. Kalimat itu, seingat saya
berbunyi demikian:
“Kira-kira, isu apa yang cocok dikembangkan untuk jemaat di
per-kota-an, pada Bulan Keluarga nanti? Isu lingkungan…apakah cocok?”
Kurang lebih, kalimat seperti itu yang saya tangkap.
Entah benar atau tidak, terlanjur klaim ingatan ini telah mendorong saya
memilih isu lingkungan sebagai salah satu isu yang ingin dikembangkan dan
ditawarkan menjelang momentum perayaan Bulan Keluarga di JBO.
Kebetulan saja, saya masih menyimpan beberapa referensi
soal isu lingkungan. Salah satu dan yang paling memengaruhi isi tawaran projek
SOLIDARITAS adalah pemikiran Robert P. Borrong, dalam bukunya berjudul Etika Bumi Baru.
Secara pribadi, pendekatan etika yang digunakan dalam buku itu, masih belum memadai
dalam memberikan kritik terhadap kerusakan lingkungan di era modern. Sebab,
walaupun Robert mengakui bahwa kapitalisme yang dibangun di atas ideologi liberal adalah sistim yang
seharusnya paling bertanggung jawab terhadap kerusakan dan pencemaran
lingkungan global, tetapi, ia justru menawarkan pendekatan etik sebagai
solusinya. Padahal, ia sendiri mengakui bahwa kapitalisme mengendalikan
kekuatan ekonomi-politik dan kerenanya dengan mudah mengendalikan budaya
(termasuk ilmu pengetahuan dan agama), sehingga alternati-alternatif yang
bersifat moral hampir tak berdaya. Karena itu, menurut saya, akan lebih
memadai, jika kita menggunakan sudut pandang kritis, terutama karena pendekatan
ini mengarahkan kritik langsung pada sistim atau struktur kapitalisme sekalu biang pengrusakan dan pencemaran
lingkungan.
Tetapi, mengejutkan sekaligus menakjubkan, dan saya harus
menahan obsesi karena mendengar sebuah kalimat yang luar biasa dari Robert,
tentu saja dari bukunya itu, begini bunyinya: “kalau anda masih bersikap logis saja, belajarlah untuk juga hidup
dengan hati nurani.”
Kata-kata Robert, menggangu pikiran, seolah menggauang
sampai ke dalam gendang telinga. Saya memeriksa kembali keseluruhan buku itu,
bahkan sampai berhari-hari hanya untuk memahami apa yang dimaksudkan Robert.
Dan, saya memahami relevansi pendekatan etika yang digunakan Robert, tidak
ditujukan untuk sekadar memberikan pengetahuan, tetapi kesadaran dan kebajikan
agar manusia, baik individu maupun kelompok menyadari tanggung jawabnya dalam
penyelamatan lingkungan. Moral dan etika harus melengkapi berbagai upaya lain,
termasuk ekonomi, politik, hukum dan berbagai usaha lainnya.
Dengan demikian, “kambing hitam,” yang dicari-cari itu, selain
kapitalisme sebagai kekauatan yang berkontribusi besar dalam merusak dan
mencemari lingkungan, tetapi ia juga adalah diri
kita sendiri; saya, tetapi anda juga!
Ada satu pertanyaan penting yang ingin diajukan dan harus
dijawab dengan jujur. “Apakah telinga
kita men-dengar-kan bisikan kecil dari kembang yang dipetik?”
Sebagai manusia normal, tentu saja kita menjawabnya
“tidak…tidak mendengarnya!” Beberapa orang juga berkata bahwa untuk
mendengarkan suara bisikan semacam itu, yang kita butuhkan adalah indra ke-6
alias telepati. Sayangnya, kita tidak memilikinya.
Namun, satu hal pasti yang kita miliki, kepekaan!
Bersambung ke bagian 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar