Oleh: James Faot**
Seperti apa karakter suatu
bangsa selalu mencerminkan ideologi kelas dominan. Domonasi kapitalisme di
bangsa ini, menunjukkan bahwa ia mengusai alat-alat kebudayaan untuk mereproduksi
nilai-nilainya, yang pada ujungnya hanya berurusan dengan perkara akumulasi
modal. Inilah akibatnya, jika produksi budaya diabdikan sepenuhnya pada
kepentingan materialistik yang pragmatis, maka nilai-nilainya merupakan sarana
eksploitasi dan hegemonik semata. Hubungan manusia dengan sesamanya dilihat
dari kaca mata ekonomis. Solidaritas, seringkali ditafsirkan sebagai investasi
yang menguntungkan. Di bawah imperialisme budaya, bangsa Indonesia tidak akan
pernah mencapai cita-citanya sebagai bangsa berdaulat, mandiri, dan
berkepribadian. Bangsa ini butuh suatu alternatif. Di sinilah, Pancasila dan
Trisakti Bung Karno, relevan untuk dijadikan sebagai ideologi pemandu dan model
pembangunan karakter. Tugas Kaum Muda adalah mengoptimalkan potensi-potensinya
dalam mencipta, mengontrol, memanfaatkan secara efektif kekuasaan dan alat-alat
kebudayaan dan menjadikan itu sebagai platfrom perjungan bersama.
Imperialisme Budaya di
Indonesia
Sebelum
membicarakan soal peran dan partisipasi pemuda dalam membangun karakter bangsa,
penting untuk memberikan gambaran di lapangan budaya nasional. Hal ini
dilakukan demi membentangkan kondisi objektif, yang memberikan arah dalam
menawarkan alternatif karakter bangsa seperti apa dan untuk tujuan apa kita
membangunnya.
Istilah “imperialisme
budaya” yang digunakan di sini sama sekali tidak berarti ada pemahan bahwa imperialisme di sekitar dominasi politik, dominasi ekonomi, atau
dominasi kebudayaan.
Juga, tidak mengartikan
bentuk-bentuk dominasi tersebut
tidak terlalu berhubungan atau terpisah sama sekali. Justru, penggunaan istilah imperialisme budaya sekadar
menunjukkan bahwa “imperialisme sebagai tahap paling maju dari kapitalisme
(kapitalisme monopoli),”[1]
di mana ia berupaya untuk mengontrol/menguasai jiwa dari suatu bangsa. Jika, kebudayaannya dapat diubah, maka berubah pula jiwa dari bangsa itu. Jadi,
imperialisme budaya secara lugas berarti penetrasi imperialis dalam sektor
kebudayaan guna menguasai jiwa suatu bangsa, sehingga juga mengusai segala-galanya dari
bangsa itu.[2]
Bukti-bukti historis kita
menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana imperialisme di Indonesia, mampu
merekonstruksi kebudayaan masyarakat sesuai kepentingan-kepentingannya. Menurut
Subangan,[3]
Bung Karno, dalam risalah Menuju
Indondonesia Merdeka, mengidentifikasi nilai-nilai yang berusaha
direproduksi imperialisme dalam kehidupan rakyat nusantara, misalnya, 1) politik memecah-belah (divide
et impera); 2) mental “nrima,”
rendah pengetahuan, lembek kemauannya, hilang keberaniannya; 3) inferior; 4)
manipulasi, kepentingan rakyat akan sejalan dengan kepentingan imperialisme. Mulai
dari militer, sistim/corak produksi, birokrasi, agama, pendidikan, pers, intelektual,
dll., adalah penggunaan aparatus-aparatus kebudayaan kapitalis dioperasikan
untuk membangun mentalitas inlander[4]
pada masyarakat nusantara.
Dalam
Manifesto Politik Partai Rakyat Demokratik (PRD), Menuju Masyarakat Adil Makmur Tanpa
Penindasan Manusia Atas Manusia Dan Bangsa Atas Bangsa, mengambarkan bahwa memasuki masa kemardekaan Indonesia,
Bung Karno, berupaya melaksanakan proyek kebudayaan nasional yakni membangun
nation dan karakter bangsa (nation and character building).[5]
Akan tetapi, kerena penjatuhannya oleh kolaborasi imperialisme dengan Soeharto, bangsa Indonesia mengalami “penghancuran
karakter bangsa” (nation and
character destruction).
Dengan penghancuran itu, Indonesia mengalami titik
balik dari proyek besar pembangunan nasional dan karakter bangsa. Ini berarti tak ada cita-cita Indonesia yang bedaulat di bidang politik, tak
ada cita-cita berdikari di bidang ekonomi serta tak ada pula cita-cita berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Sebaliknya, yang ada hanyalah
menerima
kembali kolonialisme. Pembantaian rakyat,
reduksi peran parpol dan partisipasi politik rakyat (massa mengambang), pemilu dibuat untuk
menampilkan wajah demokrasi, sekaligus digunakan sebagi alat legitimasi kekuasaan politik
Soeharto, intimidasi, bahkan pancasila dijadikan alat membungkam kesadaran kritis rakyat
terhadap pemerintah Soeharto dengan tuduhan anti pembangunan dan anti
Pancasila.
Cokro,
dalam artikelnya Kediktatoran Kelas Dan Asal-Usul Pemerintah Orde Baru, terkait
teori negara, berdasarkan persepektif Marxisme, menyimpulkan bahwa di bahwa rezim Soehatro, “Indonesia berusaha
mengembangkan kebudayaan elitis, kosmopolitanisme ala Indonesia….[6]
Imperilaisme budaya pasca reformasi, PRD dalam Catatan Akhir Tahun 2010 (Sosial dan
Budaya), memberikan kesimpulan bahwa “neoliberalisme telah
menargetkan penghancuran terhadap kehidupan sosial dan budaya, untuk
mempetahankan kekuasaanya di bangsa Indonesia.”[7]
Di lapangan kehidupan sosial misalnya, masyarakat teratomisasi dan terpisah
satu sama lain, demoralisasi dan secara sosial tidak berdaya. Dalam kondisi kemiskinan
dan kesenjangan sosial yang sangat lebar, masyarakat yang sudah tidak berdaya
ini dikonflikkan satu sama lain, bahkan terkadang dengan membakar sentimen
etnis, pribumi dan pendatang, agama, dan lain-lain. Kondisi ini menjelaskan
kepada kita bahwa di bawah neoliberalisme, imperilisasi budaya telah mengubah manusia
menjadi “pasif, nihilis, dan tidak berdaya”. Fragmentasi sosial yang demikian,
sulit mendorong masyarakat untuk mengejar kepentingan-kepentingan sosialnya,
apalagi berbicara soal kepentingan nasionalnya. Dengan demikian, untuk menjajah
jiwa dan kepribadian, neoliberalisme memiliki sebuah pedang dengan kedua
sisinya yang sangat tajam; individualisme dan konsumtivisme. Individualisme
disebarkan melalui pola dan gaya hidup, dan metode fragmentasi sosial; proses
penghancuran bentuk-bentuk kolektifisme dan komunalitas. Konsumtifisme mendorong
masyarakat pada perilaku materialistik, boros dan hedonis.
Gambaran di atas, menjelaskan
kepada kita, sekurang-kurangnya 2 (dua) persoalan, yakni: pertama, imperialisme budaya oleh kaum kapitalis dimaksudkan untuk menghancurkan
jiwa dan karakter bangsa, sehingga bangsa Indonesia tidak punya lagi
kebanggan nasional, tidak punya lagi jiwa dan karakter sebagai sebuah bangsa. Singkatnya,
tidak memiliki martabat dan kehilangan kehormatan sebagai sebuah bangsa. Kedua, imperialisme budaya pada prinsipnya memiliki motif dasar,
yakni ekonomi. Imperialisasi tersebut diabdikan pada kepentingan akumulasi
kapital. Dengan kata lain, iperialisme kultur adalah cara di mana kapitalisme
mempersiapkan basis budaya untuk memuluskan proses eksploitasi guna
melipatgandakan modal/kapital.
Membangun Karakter Bangsa
Trotsky,
dalam salah satu altikelnya,[8]
memberikan analisis fundamental tentang pembangunan budaya. Dalam kajiannya, ia
mengajukan satu tesis, yakni “kita [kelas ploretariat]
harus, pertama kali, merebut kepemilikan, secara politis, elemen terpenting
budaya lama, sampai satu tingkatan, setidaknya, mampu untuk mengahaluskan jalan
bagi sebuah kebudayaan baru.” Tesis ini kemudian dielaborasi berdasarkan
perkembangan kondisi material (sejarah), baik, kaum borjuis dan ploretarial,
yang pada prinsip bermaksud menunjukan syarat-syarat menuju sebuah kebudayaan
ploretar, kebudayaan baru.
Kita,
dapat menggunakan tesis Trotsky, guna mencari kebutuhan-kebutuhan apa yang kita
perlukan dalam konteks perjuangan pemuda dalam kerangka membangun karakter bangsa
Indonesia. Kita harus merekonstruksi budaya hasil reporoduksi imperialisme. Disinilah peran dan
partisipasi pemuda didudukan.
1.
Alat
Politik
Kami memandang bahwa sejarah gerakan
perubahan atau revolusi dimanapun selalu menjelasakan bahwa kita butuh sebuah
organisasi politik (front/blok politik) yang mampu untuk: pertama, memajukan sebuah program nasional alternatif sebagai bahan
perekat terhadap berbagai sektor kerakyatan yang berbeda, dan; kedua, mampu mengkonsentrasikan kekuatan
dalam satu jaringan untuk menyerang bagian terlemah dari musuh.
Untuk maksud itu, kita harus secara kreatifitas dalam mencipta
alat-alat politik, mengontrol dan memanfaatkannya secara optimal. Organisasi-organisasi
rakyat (pemuda, mahasiswa, buruh, tani, kaum miskin kota, sekolah-sekolah
rakyat, dll), yang didalamnya isi dengan pencerdasan-pencerdasan politik. Kita
harus membebaskan mereka atau diri kita sendiri dari “alergi politik” yang
sengaja dijalankan oleh kapitalisme atau antek-anteknya. Diperlukan pula usaha
untuk merebut alat-alat kebudayaan. Partai politik, media massa,
lembaga-lembaga pendidikan, lembaga agama, LSM, dan lain sebagainya. Demikian
pula, kita harus melatih dengan memobilisasi, baik melalui advokasi, aksi massa atau rapat-rapat
akbar..
Pada sisi lain, “perbedaan-perbedaan kita” harus dikesampingkan terlebih dahulu, guna
kepentingan kita yang lebih besar. Ini merupakan salah satu syarat penyatuan
kekuatan politik. Seringkali, kita tidak dapat bersatu karena terlalu
mengedepankan kepentingan individu atau kelopok, di atas kepentingan besama.
Pelajaran dari sejarah penyatuan pemuda pada 1928 (Sumpah Pemuda), merupakan
referensi pentingan untuk menyatukan alat-alat politik yang sekarang kita
miliki. Bahwa “kesamaan nasib” lantaran kolonialisme, telah mengikat mereka
menjadi satu kekuatan yang menentukan bangsa ini merebut kemerdekaan. Sebagai
catatan tambahan, penyatuan kekuatan pemuda kala itu, mampu merumuskan manifesto
“bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu,” gunu menuju masyarakat
Indonesia adil dan makmur.
2.
Platfrom
Perjuangan
Pemuda perlu merumuskan
strategi bersama sebagai alternatif, berdasarkan sejarah perjuangan rakyat
Indonesia terhadap reproduksi budaya imperialisme. Mengapa demikian, karena
kami memandang bahwa kita belum memiliki suatu platfrom perjuangan bersama
untuk membangun karakter bangsa. Dalam kesempatan ini, kami menawarkan
Pancasila sebagai ideologi pemandu dan Triksakti Bung Karno sebagai model
pembangunan karakter bangsa. Rasionalisasinya, kami kemukakan sebagai landasan
pertimbangan.
Pertama, Pancasila dan Trisakti Bung
Karno, merupakan hasil menyelami samudra nusantara untuk menemukan proses-proses
fundamental perkembangan budaya perjuangan masyarakat Indonesia. Kedua, nilai-nilai ini telah mengalami
proses pengkristalan dalam kehidupan masyarakat, sehingga lebih memungkinkan ia
tumbuh subur sebagai suatu padangan hidup bersama sekaligus cita-cita bangsa. Ketiga, nilai-nilai ini merupakan
anti-tesa terhadap kapitalisme—bukan nilai yang terbuka sebagaimana dibelokan
oleh rezim Soeharto.
a. Pancasila
sebagai Ideologi Pemandu
Pancasila adalah “ideologi terbuka,” merupakan bias
dari praktek kekuasaan kosmopolitanisme rezim Soeharto. Karena itu, kami
mengajukan “Pancasila 1 Juni 1945” atau yang kemudian sering disebut sebagai
“Pidato Lahirnya Pancasila”. Dalam pidato tersebut, antara lain, Bung Karno
‘memeras’ Panca-Sila menjadi Tri-Sila yang berisi: Socio-nasionalisme,
Socio-democratie, dan Ketuhanan, sebelum kemudian ‘memerasnya’ lagi menjadi
Eka-Sila: Gotong Royong.[9] Namun, dalam
kesempatan ini, kami hanya memberikan garis besar konsepsi dasar, yang relevan
dengan kebutuhan perjuangan hingga kini.
Sosio-nasionalisme
Mengapa
negara Indonesia harus dibangun di atas asas pancasila. Dalam pandangan Bung
Karno, tentang Socio-nasonalisme, misalnya, pembangunan negara Indonesia harus
berdiri pada asas “kebangsaan” dan “kemanusiaan.” Baginya, kebangsaan Indonesia
merupakan wujud “persatuan orang dan tempat,” yang memiliki “kehendak untuk
bersatu” dan terikat karena “persatuan nasib” serta “aspek perkembangan
sosio-ekonomi sebagai hukum objektif yang membentuk suatu nasion.” Namun,
semangat kebangsaan atau nasoinalisme itu tidak sempit atau chauvinis. Bangsa
Indonesia harus tetap hidup dalam perdamaian dan persaudaraan dunia. Dengan
kata lain, Bung Karno meyakini bahwa internasionalisme hanya akan tumbuh subur
apabila, ia berakar di dalam bumi nasionalis. Jadi, prinsip kemanusiaan atau internasionalisme hanya akan
bermakna apabila kita memulai dengan mengubah situasi bangsa menjadi lebih
baik. Kerenanya, di atas dasar kebangsaan dan kemanusiaan (Sosio-nasionalisme)
inilah, Indonesia akan tetap memiliki progresifitas dalam membangun
kehidupannya, yang dilandasi keinginan
untuk mencapai kesetaraan dengan bangsa-bangsa lain di dunia, sekaligus
keinginan untuk lepas dari penindasan bangsa lain.
Sosio-demokrasi
Bung Karno, juga menambahkan konsep socio-demokrasi. Ini menandakan adanya pemahaman bahwa kemerdekaan bagi bangsa saja, seperti diuraikan dalam konsep
socio-nasionalisme, tidak lah cukup. Karenanya,
untuk mengatur rumah tangga Indonesia secara berdaulat dan menghapus
eksploitasi “bangsa atas bangsa,” dan “eksploitasi
manusia atas manusia,” maka Socio-demokrasi
harus menjadi asas selanjutnya. Bagi Bung Karno, socio-demokrasi ialah mufakat
atau demokrasi atau kedaulatan rakyat, dengan kesejahteraan sosial atau
keadilan sosial. Dalam mufakat
merujuk pada tradisi “perjuangan faham” masyarakat nusantara, sementara dalam
prinsip kesejahteraan sosial atau keadilan sosial menekankan tujuannya,
yakni “tidak akan ada kemiskinan di bumi Indonesia Merdeka”. Menurut Bung Karno,
konsep keadilan sosial, masyarakat adil dan makmur, dapat ditemui dalam
kesadaran Bangsa Indonesia sendiri. Dengan demikian, konsep socio-demokrasi
yang dianut Bung Karno, kedaulatan rakyat mendapat tempat tertinggi di lapangan
politik dan ekonomi sekaligus.
Ketuhanan
Bung
Karno menegaskan dengan sangat lantang bahwa “Prinsip
Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri.”[10]
Tingkah
dan perilaku masyarakat Indonesia, sebagai bangsa yang ber-Tuhan, nyata melalui
peri dan tingkah laku orang-perorang sebagai individu yang ber-Tuhan. Perilaku dan
tingkahlaku inilah akan mencerminkan jati diri orang Indonesia sebagai orang
ber-Tuhan dan bangsa yang ber-Tuhan.
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang pluralis dalam agama dan kepercayaan, tetapi
mereka disatukan dalam keyakinan sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Setiap orang
harus mendapatkan kebebasan untuk mengekspresikan keyakinan keberagamaannya
sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Tidak boleh ada arogansi, pembatasan dan
pemaksaan. Yang harus dilakukan ialah memberikan toleransi terhadap sesama yang
memiliki keyakinan atau kepercayaan yang berbeda. Demikian, Bung Karno berkata:
“Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara
Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan
cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni
dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia atau Negara yang
ber-Tuhan!”[11]
Kerena
itu, pemuda dalam membangun karakter bangsa, ketakwaan dan kesalehan dalam
keyakin keberagamaan adalah komitmen untuk menjalani hidup sebagai anak bangsa
yang berbudaya, terutama juga memberikan penghormatan kepada mereka yang
berbeda agama atau keyakinannya. Janganlah mudah diprofokasi oleh berbagai isu
yang menyulut perpecahan dan konflik. Sebab, tindakan demikian justru
menunjukan bahwa kita jauh dari perilaku dan tindakan sebagai individu dan
bangsa yang ber-Tuhan.
Inilah
perilaku Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti
yang luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Dan, disinilah, dalam pengakuan prinsip Ketuhanan, maka segenap
agama yang ada di Indonesia mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara
kita akan ber-Tuhan
pula.
b. Trisakti
sebagai Model Membangun Karakter
Konsep Trisakti Bung Karno,
yakni: “Berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan
berkepribadian di bidang budaya. Konsep ini merupakan salah satu inti dari
ajaran Bung Karno. Pada masanya Trisakti itu pula yang dijadikan prinsip oleh
Bung Karno untuk membangun Indonesia.[12]
Kita dapat memahami, bagaimana Ia mempersiapkan implementasi Trisakti melalui
apa yang telah disinggung sebelumnya, yakni pembangunan notion dan karakter
bangsa (nation and character building).
Menurut Soenarko, “di tengah
desakan penyeragaman politik, ekonomi dan budaya, keteguhan sikap pemimpin dan
rakyat Indonesia untuk kembali kepada ajaran Trisakti merupakan sebuah
keharusan untuk menyejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut
menjaga ketertiban dunia seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang Undang
Dasar 1945.”
Bagaimana Indonesia Berdaulat dalam
bidang politik adalah “segala pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara
harus didasarkan pada mandat rakyat.” Prinsipnya ialah kedaulatan politik
dibangun dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bukan demikian seperti yang
ditunjukkan rezim SBY-Boediono, di mana negara ini diatur oleh pihak asing.
Indonesia yang Berdikari dalam
ekonomi adalah “pengaturan peri kehidupan ekonomi harus didasarkan pada tujuan
akhir menyejahterakan seluruh Rakyat Indonesia.” Ini berarti, eksploitasi dan
penguasaan sumber daya alam Indonesia oleh pihak asing secara besar-besaran dan
serampangan harus dihentikan. Kita tidak anti asing, tetapi perlu menuntut
mereka agar membangun kerja sama dibidang ekonomi dan investasi, misalnya secara
adil dan saling menguntungkan.
Indonesia yang Berkepribadian di bidang budaya adalah wujud
perilaku asah, asih, asuh, dan tepo sliro.
Maknanya adalah sikap saling memberitahu, saling memperhatikan, melakukan
dengan senang hati dan tidak semena-mena. Bagi Bung Karno, kepribadian adalah persoalan
fundamental yang harus diajarkan kepada masyarakat Indonesia sejak dini.
Penutup
Mencermati situasi perlawanan
rakyat akhir-akhir ini, telah mengarah pada pengenalan musuh pokok, yakni
kapitalisme-neoliberalisme. Harus ada usaha yang semakin intensif serta masif
untuk mendelegitimasi sistim yang terbukti membawa kehancuran bangsa dan
penderitaan rakyat. Mempertahan dan meningkatkan perluasan alat-alat dan front-front
politik strategis serta mengkampayekan secara luas platfrom perjuangan budaya
adalah keharusan. Kita harus optimis akan membangun budaya kita sendiri!
Terima Kasih.
*
|
Diseminarkan dalam acara seminar sehari dengan thema
: “Peran Dan Partisipasi Pemuda Dalam Membangun Karakter Bangsa,” yang diselenggarakan oleh organisasi Perhimpunan
Pemuda Katolik Indonesia Cabang Kupang (PMKRI Cab. Kupang), di Hotel Rhomyta
Kupang, pada Senin, 23 April 2012.
|
**
|
Ketua Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratik Nusa Tenggara
Timur (KPW PRD NTT). Berdomisili di Kota Kupang.
|
[1] Lihat, Anto Sangaji, “Relevansi Teori Imperialisme,” (2010),
http://indoprogres.com. Menurut Sangaji, teori-teori sosial Marxis jelas memandang imperialisme
tidak terpisah dari kapitalisme. Dengan kata lain, imperialisme adalah
kapitalisme,
hal.1. Diunduh pada: 27 Desember 2010.
[2] http://wilikipedia.org. hal.3. Sumber asli: Soebantardjo, Sari Sedjarah Jilid I: Asia - Afrika, Penerbit BOPKRI,
Yogyakarta, 1960. Diunduh pada: Selasa, 17 Maret 2012.
[3] Timur Subangun, Bung
Karno dan Empat Strategi Melawan Imperialisme, 2012, http://berdikarionline.com. Hal.1. Diunduh
pada: Minggu, 5 Februari 2012.
[4] Ibid. Dalam sejarah kolonialisme di
Indonesia, istilah “inlander” merupakan cacian yang disepadamkan dengan makian
“anjing”, “kerbau”, dan lain-lain. hal.2.
[5]
KPP-PRD, Manifesto Politik Partai Rakyat
Demokratik: Menuju Masyarakat Adil Makmur Tanpa Penindasan Manusia Atas Manusia Dan
Bangsa Atas Bangsa, 2010, hal.3.
[6] Cokro, Kediktatoran Kelas Dan Asal-Usul Pemerintah
Orde Baru,1999, hal.6. “Kosmopolitanisme” atau paham
yang tidak mengakui adanya
kebangsaan. Penganur
paham ini, hanya mengakui internasionalisme atau kemanusiaan saja, sehingga
tidak berakar di bumi yang bernama bangsa.
[8] Leon, Trotsky, Apakah
Budaya Proletar itu, dan Mungkinkah Ada? Sumber asli: Leon Trotsky: "What Is Proletarian Culture, and Is It
Possible?" (1923), Versi Online: Situs Indo-Marxist
(http://come.to/indomarxist), Desember 2001,
Penerjemah: Dewey Setiawan.
[9] KPP PRD, Socio-Nasionalisme dan Socio-Demokrasi dalam Pidato Lahirnya Pancasila, 2012. Lihat juga, Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 (Lahirnya
Pancasila),
http://berdikari online.com.
[11] Ibid.
[12] Prof. Dr. Soenarko, M.Pd, Terapkan Trisakti Bung
Karno Agar Indonesia Eksis di Era Globalisasi, http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=114.