Jumat, 31 Agustus 2012

Peran Dan Partisipasi Pemuda Dalam Membangun Karakter Bangsa*

Oleh: James Faot**

Seperti apa karakter suatu bangsa selalu mencerminkan ideologi kelas dominan. Domonasi kapitalisme di bangsa ini, menunjukkan bahwa ia mengusai alat-alat kebudayaan untuk mereproduksi nilai-nilainya, yang pada ujungnya hanya berurusan dengan perkara akumulasi modal. Inilah akibatnya, jika produksi budaya diabdikan sepenuhnya pada kepentingan materialistik yang pragmatis, maka nilai-nilainya merupakan sarana eksploitasi dan hegemonik semata. Hubungan manusia dengan sesamanya dilihat dari kaca mata ekonomis. Solidaritas, seringkali ditafsirkan sebagai investasi yang menguntungkan. Di bawah imperialisme budaya, bangsa Indonesia tidak akan pernah mencapai cita-citanya sebagai bangsa berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Bangsa ini butuh suatu alternatif. Di sinilah, Pancasila dan Trisakti Bung Karno, relevan untuk dijadikan sebagai ideologi pemandu dan model pembangunan karakter. Tugas Kaum Muda adalah mengoptimalkan potensi-potensinya dalam mencipta, mengontrol, memanfaatkan secara efektif kekuasaan dan alat-alat kebudayaan dan menjadikan itu sebagai platfrom perjungan bersama. 

Imperialisme Budaya di Indonesia

Sebelum membicarakan soal peran dan partisipasi pemuda dalam membangun karakter bangsa, penting untuk memberikan gambaran di lapangan budaya nasional. Hal ini dilakukan demi membentangkan kondisi objektif, yang memberikan arah dalam menawarkan alternatif karakter bangsa seperti apa dan untuk tujuan apa kita membangunnya.

Istilah “imperialisme budaya” yang digunakan di sini sama sekali tidak berarti ada pemahan bahwa imperialisme di sekitar dominasi politik, dominasi ekonomi, atau dominasi kebudayaan. Juga, tidak mengartikan bentuk-bentuk dominasi tersebut tidak terlalu berhubungan atau terpisah sama sekali. Justru, penggunaan istilah imperialisme budaya sekadar menunjukkan bahwa “imperialisme sebagai tahap paling maju dari kapitalisme (kapitalisme monopoli),”[1] di mana ia berupaya untuk mengontrol/menguasai jiwa dari suatu bangsa. Jika, kebudayaannya dapat diubah, maka berubah pula jiwa dari bangsa itu. Jadi, imperialisme budaya secara lugas berarti penetrasi imperialis dalam sektor kebudayaan guna menguasai jiwa suatu bangsa, sehingga juga mengusai segala-galanya dari bangsa itu.[2]
Bukti-bukti historis kita menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana imperialisme di Indonesia, mampu merekonstruksi kebudayaan masyarakat sesuai kepentingan-kepentingannya. Menurut Subangan,[3] Bung Karno, dalam risalah Menuju Indondonesia Merdeka, mengidentifikasi nilai-nilai yang berusaha direproduksi imperialisme dalam kehidupan rakyat nusantara, misalnya, 1) politik memecah-belah (divide et impera); 2) mental “nrima,” rendah pengetahuan, lembek kemauannya, hilang keberaniannya; 3) inferior; 4) manipulasi, kepentingan rakyat akan sejalan dengan kepentingan imperialisme. Mulai dari militer, sistim/corak produksi, birokrasi, agama, pendidikan, pers, intelektual, dll., adalah penggunaan aparatus-aparatus kebudayaan kapitalis dioperasikan untuk membangun mentalitas inlander[4] pada masyarakat nusantara.

Dalam Manifesto Politik Partai Rakyat Demokratik (PRD), Menuju Masyarakat Adil Makmur Tanpa Penindasan Manusia Atas Manusia Dan Bangsa Atas Bangsa, mengambarkan bahwa memasuki masa kemardekaan Indonesia, Bung Karno, berupaya melaksanakan proyek kebudayaan nasional yakni membangun nation dan karakter bangsa (nation and character building).[5] Akan tetapi, kerena penjatuhannya oleh kolaborasi imperialisme dengan Soeharto, bangsa Indonesia mengalami “penghancuran karakter bangsa” (nation and character destruction).

Dengan penghancuran itu, Indonesia mengalami titik balik dari proyek besar pembangunan nasional dan karakter bangsa. Ini berarti tak ada cita-cita Indonesia yang bedaulat di bidang politik, tak ada cita-cita berdikari di bidang ekonomi serta tak ada pula cita-cita berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Sebaliknya, yang ada hanyalah menerima kembali kolonialisme. Pembantaian rakyat, reduksi peran parpol dan partisipasi politik rakyat (massa mengambang), pemilu dibuat untuk menampilkan wajah demokrasi, sekaligus digunakan sebagi alat legitimasi kekuasaan politik Soeharto, intimidasi, bahkan pancasila dijadikan alat membungkam kesadaran kritis rakyat terhadap pemerintah Soeharto dengan tuduhan anti pembangunan dan anti Pancasila.
Cokro, dalam artikelnya Kediktatoran Kelas Dan Asal-Usul Pemerintah Orde Baru, terkait teori negara, berdasarkan persepektif Marxisme, menyimpulkan bahwa di bahwa rezim Soehatro, “Indonesia berusaha mengembangkan kebudayaan elitis, kosmopolita­nisme ala Indonesia….[6]

Imperilaisme budaya pasca reformasi, PRD dalam Catatan Akhir Tahun 2010 (Sosial dan Budaya), memberikan kesimpulan bahwa “neoliberalisme telah menargetkan penghancuran terhadap kehidupan sosial dan budaya, untuk mempetahankan kekuasaanya di bangsa Indonesia.”[7] Di lapangan kehidupan sosial misalnya, masyarakat teratomisasi dan terpisah satu sama lain, demoralisasi dan secara sosial tidak berdaya. Dalam kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial yang sangat lebar, masyarakat yang sudah tidak berdaya ini dikonflikkan satu sama lain, bahkan terkadang dengan membakar sentimen etnis, pribumi dan pendatang, agama, dan lain-lain. Kondisi ini menjelaskan kepada kita bahwa di bawah neoliberalisme, imperilisasi budaya telah mengubah manusia menjadi “pasif, nihilis, dan tidak berdaya”. Fragmentasi sosial yang demikian, sulit mendorong masyarakat untuk mengejar kepentingan-kepentingan sosialnya, apalagi berbicara soal kepentingan nasionalnya. Dengan demikian, untuk menjajah jiwa dan kepribadian, neoliberalisme memiliki sebuah pedang dengan kedua sisinya yang sangat tajam; individualisme dan konsumtivisme. Individualisme disebarkan melalui pola dan gaya hidup, dan metode fragmentasi sosial; proses penghancuran bentuk-bentuk kolektifisme dan komunalitas. Konsumtifisme mendorong masyarakat pada perilaku materialistik, boros dan hedonis.

Gambaran di atas, menjelaskan kepada kita, sekurang-kurangnya 2 (dua) persoalan, yakni: pertama, imperialisme budaya oleh kaum kapitalis dimaksudkan untuk menghancurkan jiwa dan karakter bangsa, sehingga bangsa Indonesia tidak punya lagi kebanggan nasional, tidak punya lagi jiwa dan karakter sebagai sebuah bangsa. Singkatnya, tidak memiliki martabat dan kehilangan kehormatan sebagai sebuah bangsa. Kedua, imperialisme budaya pada prinsipnya memiliki motif dasar, yakni ekonomi. Imperialisasi tersebut diabdikan pada kepentingan akumulasi kapital. Dengan kata lain, iperialisme kultur adalah cara di mana kapitalisme mempersiapkan basis budaya untuk memuluskan proses eksploitasi guna melipatgandakan modal/kapital.

Membangun Karakter Bangsa

Trotsky, dalam salah satu altikelnya,[8] memberikan analisis fundamental tentang pembangunan budaya. Dalam kajiannya, ia mengajukan satu tesis, yakni “kita [kelas ploretariat] harus, pertama kali, merebut kepemilikan, secara politis, elemen terpenting budaya lama, sampai satu tingkatan, setidaknya, mampu untuk mengahaluskan jalan bagi sebuah kebudayaan baru.” Tesis ini kemudian dielaborasi berdasarkan perkembangan kondisi material (sejarah), baik, kaum borjuis dan ploretarial, yang pada prinsip bermaksud menunjukan syarat-syarat menuju sebuah kebudayaan ploretar, kebudayaan baru.

Kita, dapat menggunakan tesis Trotsky, guna mencari kebutuhan-kebutuhan apa yang kita perlukan dalam konteks perjuangan pemuda dalam kerangka membangun karakter bangsa Indonesia. Kita harus merekonstruksi budaya hasil reporoduksi imperialisme. Disinilah peran dan partisipasi pemuda didudukan.  

1.      Alat Politik

Kami memandang bahwa sejarah gerakan perubahan atau revolusi dimanapun selalu menjelasakan bahwa kita butuh sebuah organisasi politik (front/blok politik) yang mampu untuk: pertama, memajukan sebuah program nasional alternatif sebagai bahan perekat terhadap berbagai sektor kerakyatan yang berbeda, dan; kedua, mampu mengkonsentrasikan kekuatan dalam satu jaringan untuk menyerang bagian terlemah dari musuh.

Untuk maksud itu, kita harus secara kreatifitas dalam mencipta alat-alat politik, mengontrol dan memanfaatkannya secara optimal. Organisasi-organisasi rakyat (pemuda, mahasiswa, buruh, tani, kaum miskin kota, sekolah-sekolah rakyat, dll), yang didalamnya isi dengan pencerdasan-pencerdasan politik. Kita harus membebaskan mereka atau diri kita sendiri dari “alergi politik” yang sengaja dijalankan oleh kapitalisme atau antek-anteknya. Diperlukan pula usaha untuk merebut alat-alat kebudayaan. Partai politik, media massa, lembaga-lembaga pendidikan, lembaga agama, LSM, dan lain sebagainya. Demikian pula, kita harus melatih dengan memobilisasi, baik  melalui advokasi, aksi massa atau rapat-rapat akbar..  

Pada sisi lain, “perbedaan-perbedaan kita”  harus dikesampingkan terlebih dahulu, guna kepentingan kita yang lebih besar. Ini merupakan salah satu syarat penyatuan kekuatan politik. Seringkali, kita tidak dapat bersatu karena terlalu mengedepankan kepentingan individu atau kelopok, di atas kepentingan besama. Pelajaran dari sejarah penyatuan pemuda pada 1928 (Sumpah Pemuda), merupakan referensi pentingan untuk menyatukan alat-alat politik yang sekarang kita miliki. Bahwa “kesamaan nasib” lantaran kolonialisme, telah mengikat mereka menjadi satu kekuatan yang menentukan bangsa ini merebut kemerdekaan. Sebagai catatan tambahan, penyatuan kekuatan pemuda kala itu, mampu merumuskan manifesto “bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu,” gunu menuju masyarakat Indonesia adil dan makmur.

2.      Platfrom Perjuangan   

Pemuda perlu merumuskan strategi bersama sebagai alternatif, berdasarkan sejarah perjuangan rakyat Indonesia terhadap reproduksi budaya imperialisme. Mengapa demikian, karena kami memandang bahwa kita belum memiliki suatu platfrom perjuangan bersama untuk membangun karakter bangsa. Dalam kesempatan ini, kami menawarkan Pancasila sebagai ideologi pemandu dan Triksakti Bung Karno sebagai model pembangunan karakter bangsa. Rasionalisasinya, kami kemukakan sebagai landasan pertimbangan.

Pertama, Pancasila dan Trisakti Bung Karno, merupakan hasil menyelami samudra nusantara untuk menemukan proses-proses fundamental perkembangan budaya perjuangan masyarakat Indonesia. Kedua, nilai-nilai ini telah mengalami proses pengkristalan dalam kehidupan masyarakat, sehingga lebih memungkinkan ia tumbuh subur sebagai suatu padangan hidup bersama sekaligus cita-cita bangsa. Ketiga, nilai-nilai ini merupakan anti-tesa terhadap kapitalisme—bukan nilai yang terbuka sebagaimana dibelokan oleh rezim Soeharto.

a.      Pancasila sebagai Ideologi Pemandu

Pancasila adalah “ideologi terbuka,” merupakan bias dari praktek kekuasaan kosmopolitanisme rezim Soeharto. Karena itu, kami mengajukan “Pancasila 1 Juni 1945” atau yang kemudian sering disebut sebagai “Pidato Lahirnya Pancasila”. Dalam pidato tersebut, antara lain, Bung Karno ‘memeras’ Panca-Sila menjadi Tri-Sila yang berisi: Socio-nasionalisme, Socio-democratie, dan Ketuhanan, sebelum kemudian ‘memerasnya’ lagi menjadi Eka-Sila: Gotong Royong.[9] Namun, dalam kesempatan ini, kami hanya memberikan garis besar konsepsi dasar, yang relevan dengan kebutuhan perjuangan hingga kini.

Sosio-nasionalisme

Mengapa negara Indonesia harus dibangun di atas asas pancasila. Dalam pandangan Bung Karno, tentang Socio-nasonalisme, misalnya, pembangunan negara Indonesia harus berdiri pada asas “kebangsaan” dan “kemanusiaan.” Baginya, kebangsaan Indonesia merupakan wujud “persatuan orang dan tempat,” yang memiliki “kehendak untuk bersatu” dan terikat karena “persatuan nasib” serta “aspek perkembangan sosio-ekonomi sebagai hukum objektif yang membentuk suatu nasion.” Namun, semangat kebangsaan atau nasoinalisme itu tidak sempit atau chauvinis. Bangsa Indonesia harus tetap hidup dalam perdamaian dan persaudaraan dunia. Dengan kata lain, Bung Karno meyakini bahwa internasionalisme hanya akan tumbuh subur apabila, ia berakar di dalam bumi nasionalis. Jadi, prinsip kemanusiaan atau internasionalisme hanya akan bermakna apabila kita memulai dengan mengubah situasi bangsa menjadi lebih baik. Kerenanya, di atas dasar kebangsaan dan kemanusiaan (Sosio-nasionalisme) inilah, Indonesia akan tetap memiliki progresifitas dalam membangun kehidupannya, yang dilandasi keinginan untuk mencapai kesetaraan dengan bangsa-bangsa lain di dunia, sekaligus keinginan untuk lepas dari penindasan bangsa lain.

Sosio-demokrasi

Bung Karno, juga menambahkan konsep socio-demokrasi. Ini menandakan adanya pemahaman bahwa kemerdekaan bagi bangsa saja, seperti diuraikan dalam konsep socio-nasionalisme, tidak lah cukup. Karenanya, untuk mengatur rumah tangga Indonesia secara berdaulat dan menghapus eksploitasi “bangsa atas bangsa,” dan “eksploitasi manusia atas manusia, maka Socio-demokrasi harus menjadi asas selanjutnya. Bagi Bung Karno, socio-demokrasi ialah mufakat atau demokrasi atau kedaulatan rakyat, dengan kesejahteraan sosial atau keadilan sosial. Dalam mufakat merujuk pada tradisi “perjuangan faham” masyarakat nusantara, sementara dalam prinsip kesejahteraan sosial atau keadilan sosial menekankan tujuannya, yakni “tidak akan ada kemiskinan di bumi Indonesia Merdeka”. Menurut Bung Karno, konsep keadilan sosial, masyarakat adil dan makmur, dapat ditemui dalam kesadaran Bangsa Indonesia sendiri. Dengan demikian, konsep socio-demokrasi yang dianut Bung Karno, kedaulatan rakyat mendapat tempat tertinggi di lapangan politik dan ekonomi sekaligus.

Ketuhanan

Bung Karno menegaskan dengan sangat lantang bahwa “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri.[10]

Tingkah dan perilaku masyarakat Indonesia, sebagai bangsa yang ber-Tuhan, nyata melalui peri dan tingkah laku orang-perorang sebagai individu yang ber-Tuhan. Perilaku dan tingkahlaku inilah akan mencerminkan jati diri orang Indonesia sebagai orang ber-Tuhan dan bangsa yang ber-Tuhan.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralis dalam agama dan kepercayaan, tetapi mereka disatukan dalam keyakinan sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Setiap orang harus mendapatkan kebebasan untuk mengekspresikan keyakinan keberagamaannya sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Tidak boleh ada arogansi, pembatasan dan pemaksaan. Yang harus dilakukan ialah memberikan toleransi terhadap sesama yang memiliki keyakinan atau kepercayaan yang berbeda. Demikian, Bung Karno berkata:  

Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia atau Negara yang ber-Tuhan![11]

Kerena itu, pemuda dalam membangun karakter bangsa, ketakwaan dan kesalehan dalam keyakin keberagamaan adalah komitmen untuk menjalani hidup sebagai anak bangsa yang berbudaya, terutama juga memberikan penghormatan kepada mereka yang berbeda agama atau keyakinannya. Janganlah mudah diprofokasi oleh berbagai isu yang menyulut perpecahan dan konflik. Sebab, tindakan demikian justru menunjukan bahwa kita jauh dari perilaku dan tindakan sebagai individu dan bangsa yang ber-Tuhan.

Inilah perilaku Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Dan, disinilah, dalam pengakuan prinsip Ketuhanan, maka segenap agama yang ada di Indonesia mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan ber-Tuhan pula.

b.      Trisakti sebagai Model Membangun Karakter

Konsep Trisakti Bung Karno, yakni: “Berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya. Konsep ini merupakan salah satu inti dari ajaran Bung Karno. Pada masanya Trisakti itu pula yang dijadikan prinsip oleh Bung Karno untuk membangun Indonesia.[12] Kita dapat memahami, bagaimana Ia mempersiapkan implementasi Trisakti melalui apa yang telah disinggung sebelumnya, yakni pembangunan notion dan karakter bangsa (nation and character building).

Menurut Soenarko, “di tengah desakan penyeragaman politik, ekonomi dan budaya, keteguhan sikap pemimpin dan rakyat Indonesia untuk kembali kepada ajaran Trisakti merupakan sebuah keharusan untuk menyejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut menjaga ketertiban dunia seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945.”

Bagaimana Indonesia Berdaulat dalam bidang politik adalah “segala pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada mandat rakyat.” Prinsipnya ialah kedaulatan politik dibangun dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bukan demikian seperti yang ditunjukkan rezim SBY-Boediono, di mana negara ini diatur oleh pihak asing.

Indonesia yang Berdikari dalam ekonomi adalah “pengaturan peri kehidupan ekonomi harus didasarkan pada tujuan akhir menyejahterakan seluruh Rakyat Indonesia.” Ini berarti, eksploitasi dan penguasaan sumber daya alam Indonesia oleh pihak asing secara besar-besaran dan serampangan harus dihentikan. Kita tidak anti asing, tetapi perlu menuntut mereka agar membangun kerja sama dibidang ekonomi dan investasi, misalnya secara adil dan saling menguntungkan.

Indonesia yang  Berkepribadian di bidang budaya adalah wujud perilaku asah, asih, asuh, dan tepo sliro. Maknanya adalah sikap saling memberitahu, saling memperhatikan, melakukan dengan senang hati dan tidak semena-mena. Bagi Bung Karno, kepribadian adalah persoalan fundamental yang harus diajarkan kepada masyarakat Indonesia sejak dini.

Penutup

Mencermati situasi perlawanan rakyat akhir-akhir ini, telah mengarah pada pengenalan musuh pokok, yakni kapitalisme-neoliberalisme. Harus ada usaha yang semakin intensif serta masif untuk mendelegitimasi sistim yang terbukti membawa kehancuran bangsa dan penderitaan rakyat. Mempertahan dan meningkatkan perluasan alat-alat dan front-front politik strategis serta mengkampayekan secara luas platfrom perjuangan budaya adalah keharusan. Kita harus optimis akan membangun budaya kita sendiri!

Terima Kasih.



 
*
Diseminarkan dalam acara seminar sehari dengan thema : “Peran Dan Partisipasi Pemuda Dalam Membangun Karakter Bangsa,” yang  diselenggarakan oleh organisasi Perhimpunan Pemuda Katolik Indonesia Cabang Kupang (PMKRI Cab. Kupang), di Hotel Rhomyta Kupang, pada Senin, 23 April 2012.
**
Ketua Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratik Nusa Tenggara Timur (KPW PRD NTT). Berdomisili di Kota Kupang.




[1] Lihat, Anto Sangaji, “Relevansi Teori Imperialisme,” (2010), http://indoprogres.com. Menurut Sangaji, teori-teori sosial Marxis jelas memandang imperialisme tidak terpisah dari kapitalisme. Dengan kata lain, imperialisme adalah kapitalisme, hal.1. Diunduh pada: 27 Desember 2010.   
[2] http://wilikipedia.org. hal.3. Sumber asli: Soebantardjo, Sari Sedjarah Jilid I: Asia - Afrika, Penerbit BOPKRI, Yogyakarta, 1960. Diunduh pada: Selasa, 17 Maret 2012.
[3] Timur Subangun, Bung Karno dan Empat Strategi Melawan Imperialisme, 2012, http://berdikarionline.com. Hal.1. Diunduh pada: Minggu, 5 Februari 2012.  
[4] Ibid. Dalam sejarah kolonialisme di Indonesia, istilah  inlander” merupakan cacian yang disepadamkan dengan makian “anjing”, “kerbau”, dan lain-lain. hal.2.
[5] KPP-PRD, Manifesto Politik Partai Rakyat Demokratik: Menuju Masyarakat Adil Makmur Tanpa Penindasan Manusia Atas Manusia Dan Bangsa Atas Bangsa, 2010, hal.3.   
[6] Cokro, Kediktatoran Kelas Dan Asal-Usul Pemerintah Orde Baru,1999, hal.6. “Kosmopolitanisme” atau paham  yang  tidak mengakui adanya kebangsaan. Penganur paham ini, hanya mengakui internasionalisme atau kemanusiaan saja, sehingga tidak berakar di bumi yang bernama bangsa.
[7] KPP PRD, Catatan Akhir Tahun 2010 (Sosial dan Budaya), http://berdikarionline.com.
[8] Leon, Trotsky, Apakah Budaya Proletar itu, dan Mungkinkah Ada? Sumber asli: Leon Trotsky: "What Is Proletarian Culture, and Is It Possible?" (1923), Versi Online: Situs Indo-Marxist (http://come.to/indomarxist), Desember 2001, Penerjemah: Dewey Setiawan.

[9] KPP PRD, Socio-Nasionalisme dan Socio-Demokrasi dalam Pidato Lahirnya Pancasila, 2012. Lihat juga, Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 (Lahirnya Pancasila), http://berdikari online.com.
[10] Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 (Lahirnya Pancasila), http://berdikari online.com.
[11] Ibid.
[12] Prof. Dr. Soenarko, M.Pd, Terapkan Trisakti Bung Karno Agar Indonesia Eksis di Era Globalisasi, http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=114.